Pagi ini Chesta berangkat lebih awal agar tidak terlambat dan juga tak berangkat bersama Gafi, karena beberapa hari ini Gafi terus menunggunya di halte dan memaksanya untuk berangkat bersama. Kemarin Ia berusaha menghindar dan segera naik bis yang lewat tapi Gafi juga ikut menaiki bis tersebut. Entah maunya apa orang itu. Belum lagi jika dia terus mengganggunya di kelas, ia sampai tak bisa belajar dengan fokus karena Gafi terus mengusiknya. Mencoret-coret buku catatannya, meminjam pulpen yang sedang di pakai, mengganggu saat menulis, menarik rambutnya semua hal itu membuatnya tersiksa duduk bersama Gafi.
"Ndra, please loe duduk bareng Gafi. Gue mohon banget." Kali ini Chesta berusaha memohon pada Indra sang ketua kelas untuk mau bertukar posisi. Indra bingung melihat temannya yang memohon-mohon dihadapannya.
"Ndra gue bakal lakuin apa yang loe mau asalkan loe mau duduk sama Gafi. Please." Kali ini Chesta memohon penuh.
"Gue sebenarnya nggak mau, karena gue sedikit takut sama Gafi. Tapi kenapa loe mohon sampai segitunya, gimana kalau gue nyuruh loe beliin tiket ke Bali, atau Beliin motor."
"Hah, apa loe se matre itu?" Kata Chesta kesal. Indra hanya mengangkat bahu lalu pergi menuju tempat duduknya.
"Apa sesulit itu duduk sama Gafi?" tanya Chesta lagi berlari menuju tempat duduk Indra. Ia duduk di sampingnya.
"Lah, loe aja sampai mohon begitu supaya gue duduk sama dia berarti kan duduk sama dia itu emang berat." Chesta masih memohon tapi Indra menggeleng dengan cepat dan Chesta menuju tempat duduknya dengan lesu. Ina, Vita dan Lisa hanya memandang kasihan pada temannya itu.
"Na, loe kan paling berani kenapa loe nggak gantiin gue aja sih." Kali ini pandangannya tertuju ada Ina. Ina menatap Chesta bingung ia tak tahu harus berkata apa karena ia juga tak mau menggantikannya.
"Gue Cuma berani sama Agnes, hehe.." sahutnya. Chesta mengalihkan pandangan pada Lisa dan Vita yang membuat mereka tersenyum dengan arti 'Gue juga nggak berani'. Kali ini Chesta tak bisa berkutik lagi terpaksa Ia harus duduk dengan Gafi yang super usil itu. Beberapa siswa sudah datang lalu Chesta mengambil tasnya dan berlari menuju tempat duduk Indra. Indra sedikit terkejut melihat Chesta yang duduk di dekatnya.
"Loe ngapain disini?" tanya Indra bingung, sementara Chesta hanya tersenyum. Gafi dan yang lainnya baru datang melihat bangku di sebelahnya kosong lalu melihat ke arah meja di sudut depan. Seseorang yang sedang merunduk sambil berdebat dengan Indra disana. Ia lanjut berjalan menuju kursinya dan Chesta dapat bernafas dengan lega. Hingga tiba-tiba sebuah tangan menarik tangannya dari belakang membuat Chesta terkejut saat yang ia lihat adalah orang yang paling ingin Ia hindari.
"Ngapain loe duduk disitu, cepetan balik." Katanya sedikit keras. Chesta menggeleng cepat. Gafi justru menarik kerahnya membuat Chesta berjalan mundur. Arvad yang melihat itu segera melepaskan tangan Gafi dari kerah belakang Chesta.
"Lepasin dia Gaf." Kata Arvad dingin. Gafi menoleh ke arah Arvad heran.
"Kenapa loe belain dia, tumben loe belain orang yang gue usilin." Ledek Gafi.
"Loe boleh ajak dia duduk sama loe tapi jangan kayak gitu caranya. Gue nggak suka." Arvad memandang Chesta yang memegangi lehernya.
"Gue nggak bakal ngapa-ngapain dia kalau dia nurut. Lagian apa susahnya duduk sama gue." Tatapan Gafi terus tertuju pada Arvad begitupun sebaliknya. Eno sedikit takut dengan ketegangan keduanya. Yoga segera menengahi permasalahan ini.
"Udah ngapain loe berdua kaya mau berantem gitu." Serunya sambil menepuk pundak keduanya. Bu guru datang membuat sedikit ketenangan dan mereka duduk di tempat masing-masing kecuali Chesta yang masih mematung. Ia bingung dan tak punya pilihan hanya tempat duduk di sebelah Gafi yang kosong.
"Chesta kenapa kamu masih berdiri, cepat duduk." Suruh bu guru. Semua mata tertuju padanya dan ia terpaksa harus duduk di dekat Gafi lagi. Tentu saja Gafi memandangnya dengan penuh kemenangan, sementara Chesta memandangnya dengan ketakutan.
"Loe nggak bisa kabur." Kata Gafi tersenyum menatap Chesta yang masih duduk sedikit menjauh. Chesta yang mendengarnya bergidik ngeri. Ia tak mau berada disini, tapi tetap saja tak ada teman yang mau menukar posisinya apa Gafi memang sekejam ini. Lehernya terasa sakit bahkan rasanya seperti tak bisa bernafas dengan lancar. Kali ini Gafi tak mengusiknya ia masih sibuk mencatat tapi pikiran Chesta justru terusik pada sikap Arvad tadi. Fokusnya terpecah hanya karena Arvad tak menyukai kalau Gafi kasar padanya. Chesta memandang Arvad yang terlihat sibuk mencatat, orang itu selalu saja muncul di pikirannya meskipun sudah berulangkali ia menghindar.
"Sorry Ches, kita nggak bisa berbuat apa-apa. Karena..." Kata Vita menyesal. Mereka kini telah di kantin sekolah setelah beberapa jam pelajaran di lalui.
"Gafi serem banget padahal diantara mereka Yoga yang paling sangar." Lanjut Lisa.
"Apa Leher loe masih sakit?" tanya Ina. Chesta hanya memgangi lehernya.
"Rasanya kaya tercekik." Kata-kata Chesta membuat ketiganya terkejut dan kawatir.
"Kalau gitu biar gue ambilin obat, atau kita izin pulang aja, atau ke UKS kalau perlu ke rumah sakit." Lisa terlihat sangat panik.
"Loe minum dulu Ches." Ina menyodorkan minumannya. Chesta memandang teman-temannya dengan kesal. "Maksud gue, duduk dan deket Gafi rasanya kaya di cekik. Gue nggak bisa nafas bebas dia selalu usil gangguin gue, hidup gue dan gue nggak bisa fokus buat belajar." Kali ini Ia menaruh kepalanya di atas meja.
"Emang Gafi ngapain aja sih sampai loe kesel gitu sama dia?" tanya Lisa penasaran. Pertanyaan itu di sambut tatapan kesal oleh Vita dan Ina. "Ngapa loe berdua ngeliatin gue gitu?" Lisa heran karena ia merasa tak tahu apa-apa.
"Heuh... tiap hari Chesta cerita kan, masa loe nggak inget." Kata Ina sedikit kesal.
"Tiap gue mau tidur dia telfonin gue Cuma buat nanyai tugas sama nyuruh gue ngerjain tugas dia. Dan banyak hal lagi, yang bikin Agnes selalu nyamperin gue dengan wajah kesel. Kalian tahu kan gue nggak mau punya musuh." Kata Chesta lemah dengan kepalanya yang masih tersandar di meja. Tiba-tiba seseorang menaruh balsem di dekat kepalanya. Membuat Ia mengangkat kepalanya.
"Biar leher loe enakan." Katanya Lalu pergi. Namun berhenti setelah beberapa langkah "Sorry buat kelakuan temen gue, gue harap loe maafin dia. Dia bukan orang jahat." Lanjutnya lalu pergi.
Jantung Chesta berdetak sangat kencang saat itu, andai itu bukan karena kejadian pagi tadi apa orang itu akan menyapanya di depan umum dan dia kira tak akan. Ina menatapnya heran, sementara Vita dan Lisa penasaran. Dan hanya punggungnya yang bisa Ia lihat, hatinya mulai bergetar lagi selama ini ia sudah berusaha untuk tak menyambutnya tapi ia selalu datang bukan hanya di pikirannya tapi Ia masih ada di hatinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Back To You [END]
Teen FictionTerkadang kau ingin terbang bebas saat dirimu mulai bosan dan lelah dengan keadaan. Tetapi saat kau sudah bebas dari semua hal yang membuatmu terkurung, terkadang kau merindukan itu. apakah rindu membuat sesuatu yang bebas memilih untuk kembali terk...