Berkali-kali Chesta meyakinkan Vita tentang Arleta yang baik dan sudah menolongnya tapi Vita justru menjadi orang yang diam. Arleta terlihat sering bergabung dengan mereka tapi setiap kali Arleta datang Vita justru pamit pergi. Hal itu membuat Arleta merasa tak enak hingga saat jam olahraga tepatnya setelah selesai olahraga beberapa orang bebas menikmati waktunya. Ada yang lanjut bermain basket ada yang bermain lempar bola atau melepas lelah di kantin.
Chesta dan yang lainnya sedang duduk santai di pinggir lapangan dan melihat Arleta sendirian Chesta menghampirinya. Lalu mengajak dia bergabung dengan teman-temannya. Namun saat Chesta datang bersama Arleta Vita berdiri.
"Mau kemana loe?" tanya Chesta.
"Males gue disini, apalagi kalau ada dia." Jawabnya sambil menunjuk Arleta dengan dagu.
"Vit,,Vita.." teriak Chesta tak membuat Vita berhenti melangkah menjauh sampai tak terlihat lagi.
"Udah biarin aja Ches, gue aja yang susulin dia." Kata Ina tersenyum pada Chesta dan Arleta. Sementara Lisa pamit ke toilet, sebenarnya ia tak tahu situasi yang sekarang ini dan ia tak tahu harus berbuat apa. Chesta menyuruh Arleta untuk duduk dan memberikan minuman kepadanya.
"Ches, kehadiran gue salah ya?" tanya Arleta terlihat sendu. Chesta bingung dan berhenti menegguk minumannya kemudian menoleh ke arah lawannya. "Harusnya loe nggak usah ngajak gue gabung sama kalian, lagian gue juga baik-baik aja kok sendirian." Arleta bersiap untuk berdiri tapi terhalang oleh tangan Chesta dan ia juga menggeleng untuk melarangnya pergi.
Tiba-tiba Chesta melihat raut sedih di wajah Arleta. Seperti ada sesuatu yang tersembunyi disana dan juga ada rasa sakit yang membuatnya menjadi dingin, dan lebih suka menyendiri.
"Jangan salahkan kehadiran seseorang tapi ini memang sudah di atur entah keadaan atau sikap kita." Kata Chesta pelan tapi itu membuat Chesta mengingat seseorang, orang yang sebenarnya masih ada di hatinya.
"Ches, kok loe bengong?" tanya Arleta yang melihat Chesta melamun.
"Hah, Oh nggak. Maksud gue loe jangan mikir gitu. Gue yakin Vita nanti pasti bisa nerima loe kok."
"Makasih ya Ches, loe udah mau nerima gue disaat semua orang nggak mau deket sama gue."
"Hah, siapa yang mau nolak orang kaya loe. Kalau mereka nolak tinggal bikin rempeyek aja loe kan jago karate hehe" canda Chesta membuat Arleta tersenyum.
"Termasuk sahabat loe itu?" Arleta tersenyum jahil.
"Eh, kalau dia jangan kasihan nanti gue nangis." Kata Chesta tersenyum.
"Hahaha,,, ya nggak lah." Lalu mereka tertawa dan berhenti sejenak. "Gue nggak tahu kalau kemampuan gue ini bikin mereka menjauh." Chesta hanya diam mendengarkan. "Dulu gue juga punya temen kaya loe yang seru, tapi gue juga pengen ngelindungin mereka makanya gue belajar karate tapi itu justru bikin temen gue celaka dan mereka menjauh. Saat temen gue menjauh keluarga gue juga hancur gue berharap saudara gue tinggal sama gue tapi ternyata nggak sama sekali, gue Cuma tinggal sendirian sekarang." Chesta menatap serius kearah Arleta membuat hatinya trenyuh dengan cerita itu.
"Gue pindah karena selalu bikin onar di sekolah gue yang lama, bodohnnya gue lampiasin semua kemarahan gue dari rumah ke sekolah. Dan gue harap gue bisa memulai dengan yang baru lagi dari sini." Kali ini kata-kata Arleta membuat Chesta tersenyum.
"Ya, walaupun gue sendiri sekarang." Lanjutnya.
"Loe nggak sendiri kali Ar, kan ada gue. Gue, rumah gue dan temen-temen disini selalu ada tenang aja."
"Loe, gue yakin loe selalu ada tapi temen loe. Entahlah." Kata Arleta mengedikkan bahu.
"Sekarang belum tapi nanti pasti." Kali ini keduanya tersenyum ada perasaan senang saat ada seseorang untuknya.
Ina mengejar Vita ke kelas dan kini mereka duduk bersama di bangku milik Vita hanya ada beberapa siswa disana yang masih memakai seragam olahraga. Vita terlihat kesal dan sebenarnya Ina tak begitu paham apa yang membuat Vita tak mau berteman dengan Arleta. Ina diam sejenak memikirkan beberapa kaa untuk dilontarkan.
"Kenapa loe pergi?" tanya Ina setelah memilih kata itu yang harus ia keluarkan. Vita masih diam saja tanpa merespon pertanyaan Ina.
"Apa salah kalau Arleta jadi temen kita, toh dia juga sudah baik banget nolongin Chesta disaat kita nggak ada." Kali ini Vita justru menutup wajahnya dengan kedua tangan dan menangis lalu menelungkupkan di atas meja. Hal ini membuat Ina sedikit bingung dengan reaksi itu.
"Kok loe nangis sih? Vit apa gue salah ngomong? Atau apa?" tanya Ina bingung dan merasa serba salah.
"Huaa...Gue ini sahabat macam apa sih Na. Gue selalu nggak ada saat sahabat gue butuh dan justru orang lain yang ada buat dia. Dia juga nggak nelfon gue saat situasi buruk itu dia Cuma nelfon loe Na." Kali ini Vita mulai bicara sambil menangis. "Gue nggak masalah Arleta gabung sama kita, gue Cuma merasa bodoh banget karena nggak bisa berbuat apa-apa saat sahabat gue dalam bahaya bahkan gue nggak tau." Ina memeluk Vita agar sedikit tenang.
"Gue merasa nggak berguna jadi temen, dia selalu membanggakan Arleta. Apa gue ini masih sahabatnya? Apa gue pantes buat jadi sahabatnya, gue nggak ngelakuin apapun yang buat dia selalu nyebut gue sahabat. Apa pantes gue jadi sahabatnya" kali ini Vita menangis sejadi-jadinya di pelukan Ina tak perduli orang di sekitarnya.
"Loe pantes jadi sahabat gue dan loe masih akan selalu jadi sahabat gue." Suara seseorang membuat pelukan mereka terlepas. Vita mengusap air matanya dan tertunduk malu setelah melihat Chesta, Arleta dan Lisa datang. Chesta menghampiri Vita dan Ina diikuti Arleta dan Lisa.
"Kenapa loe nanya pantes atau nggak, emangnya gue bikin kriteria buat jadiin sahabat?" tanya Chesta sedikit berteriak karena kesal. Ina memelototi Chesta yang terlihat kesal untuk tak membuat situasinya buruk. Tapi sepertinya Chesta yang melihat Ina memberinya kode tak perduli. Vita masih tertunduk.
"Kalau gue punya kriteria sebutin Vit? Sebutin?" Chesta masih kesal dan air matanya hampir terjatuh. "Kita udah temenan lama, harusnya loe tahu gue bukan orang yang suka milih-milih. Gue juga tahu loe bukan orang yang benci sesuatu tanpa sebab." Ucapan terakhir membuat Vita berani mengangkat wajahnya.
"Maafin gue Ches, gue nggak selalu ada buat loe." Ucap Vita.
"Kenapa loe harus minta maaf, harusnya loe seneng karena gue masih ada di sini sama loe." Kali ini Vita tersenyum. "Jangan merasa bersalah Vit, semua udah ada jalannya."
"Gue seneng punya sahabat kaya loe." Kata Vita membuat Chesta memeluk Vita dan Ina, Lisa ikut berpelukan. Vita merenggangkan pelukannya dan menatap Arleta yang masih mematung. "Hei, kenapa loe? Nggak mau meluk temen baru loe?" tanya Vita pada Arleta yang masih berdiri mematung. Arleta sedikit bingung dan ikut bergabung dan mereka berpelukan seperti teletabies. Mereka lupa kalau jam pelajaran sudah berganti dan mereka masih memakai seragam olahraga. Beberapa siswa sudah memasuki kelas bingung dengan tingkah mereka.
"Dasar cewek, udah kaya sinetron aja. Drama mulu." Kata Gafi mengejek.
"Kaya teletabies." Tambah Yoga membuat mereka melepaskan pelukannya.
"Yah, kok udah selesai sih kan gue baru mau meluk yayang Arleta." Kata Eno tersenyum pada Arleta.
"Idih, jijik." Sahut Arleta. Mereka tak menghiraukan ucapan beberapa orang dan pergi menuju ruang ganti. Arleta senang melihat persahabatan mereka yang akur dan mereka juga seru. Meskipun Arleta orang yang dingin diantara mereka tapi tingkah Vita dan Lisa selalu membuatnya tertawa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Back To You [END]
Teen FictionTerkadang kau ingin terbang bebas saat dirimu mulai bosan dan lelah dengan keadaan. Tetapi saat kau sudah bebas dari semua hal yang membuatmu terkurung, terkadang kau merindukan itu. apakah rindu membuat sesuatu yang bebas memilih untuk kembali terk...