Gafi tiduran di tempat tidur sambil memainkan game di ponselnya. Seseorang datang membawa cemilan kesukaanya. Kentang goreng.
"Ini boss,,sudah siap." Ucap seseorang itu dengan wajah seolah menghormati. Gafi hanya tertawa dan beranjak memakan kentang goreng.
"Ngapel sono, ngapain sih gangguin gue bikin komik." Celetuk Arvad kesal. Iya sekarang Gafi memang berada di rumah Arvad dan yang di kunjungi merasa terganggu.
"Males ah, paling kalau gue ngapel di suruh pulang juga."
"Hahaha...kasihan." Arvad tertawa.
"Emang dulu lo nggak gitu?" tanya Gafi penasaran.
"He'em, karena dulu kita backstreet. Lah lo kan nggak." Jawab Arvad sambil meraut pensilnya. Gafi hanya mendengus kesal."Vad, kok lo bisa sama Chesta sih dulu?" tanya Gafi serius.
"Karena Chesta suka sama gue." Arvad nyengir.
"Pede banget lo, paling lo pake pelet mana mau dia sama orang cuek kaya lo." Gafi kesal dengan jawaban Arvad.
"lo nanya ya gue jawab lah." Gafi mendengus kesal dan kembali bermain game. Sementara Arvad hanya termangu pada kertas di hadapannya dan kembali mencoba menggambar. Sedikit senyum tersirat di wajahnya.
Sehari sebelum masuk SMA
Arvad bangun terlambat karena semalam sibuk, sibuk menonton anime. Hatinya sangat kesal karena hari ini juga hari pertama mengikuti MOS. Peralatannya sudah lengkap namun motor yang harusnya ia tunggangi tak ada di garasi melihat garasinya kosong ia segera berlari menuju halte.
Ia tak ada waktu untuk menghubungi teman-temannya meminta jemput karena sudah pasti tak ada yang mengangkat telfonnya. Bis yang datang juga penuh bahkan ia harus berdiri di pintu dengan keadaan terjepit, sungguh tak mengenakkan. Ia hanya berharap bisa cepat sampai sekolah. Bis berhenti di salah satu halte, terlihat seorang perempuan hendak menaiki bis yang sudah cukup sesak. Namun ia justru tak jadi menaiki bis itu ia hanya memberi jalan pada seorang Ibu yang terlihat cukup tua untuk naik. Tapi Arvad bisa melihat wajah khawatirnya, sepertinya dia juga ingin segera sampai tujuan. Ia tak mau menghiraukannya karena dia juga sedang buru-buru sekarang.
Masa Orientasi Siswa memang sangat kejam, banyak perintah yang membuatnya kesal. Ia melihat lagi, perempuan yang tadi sedang di hukum karena tak bisa mendapatkan tanda tangan kakak kelas. Kasihan, hanya itu kata yang terlintas di benak Arvad saat itu. Bukan hanya sekali tapi juga berkali-kali ia melihat perempuan itu. Berarti mereka satu angkatan. Di kantin dia melihat lagi perempuan itu sedang bercanda dengan teman-temannya, dia terlihat manis saat tersenyum. Tanpa sadar Arvad ikut tersenyum. Jantungnya berdegup cukup kencang saat perempuan itu menatapnya.
Pembagian kelas dimulai ia berharap bisa satu kelas dengannya tapi ternyata tidak. Arvad mulai aneh, selalu bersemangat untuk pergi ke sekolah dan ingin cepat masuk saat libur hari minggu. Baru seminggu ia memperhatikannya namun ia tak pernah tahu siapa nama perempuan itu.
Arvad, Yoga, Eno dan Gafi mereka sudah mulai berani menentang peraturan meskipun masih kelas satu. Mereka merasa bosan jika terus melakukan kegiatan yang sama setiap hari di sekolah hanya belajar, belajar dan belajar tapi tidak dengan Arvad yang punya kegiatan lain yaitu memperhatikan seseorang. Hari itu ia di paksa untuk ikut bolos sekolah oleh Yoga, bermain di warnet seharian. Tapi baru memanjat tembok belakang sekolah saja sudah ketahuan. Yoga sudah sampai di luar sekolah, begitu juga dengan Gafi, sementara Arvad berlari dari kejaran guru BP. Eno sembunyi di gudang sekolah.
Arvad berlari tanpa tujuan, hingga ia sampai di pintu masuk perpustakaan. Tapi seseorang keluar dari sana, dan ia berhenti sejenak. Terkejut dengan siapa yang ada di hadapannya, begitu juga dengan seseorang yang keluar dari perpustakaan sama terkejutnya. Terdengar guru BP berteriak memanggil nama Arvad, yang di panggil segera masuk ruang perpustakaan dan bersembunyi.
"Ya tuhan kenapa sih mesti ketemu dia di saat seperti ini, pasti dia mikir gue bukan cowok baik. Ya walaupun emang bener sih tapi kan gue nggak mau kelihatan gitu di mata dia. Aduuhh...gimana nih kalau dia ngadu ke guru BP bisa abis gue." Gerutu Arvad sambil bersembunyi ia merasa takut sekarang. Bukan karena guru BP tapi karena perempuan itu. Tapi ia tak mendengar suara Guru BP itu lagi. Ia perlahan keluar perpustakaan dan dilihatnya perempuan itu hendak pergi.
"Eh tunggu." Panggil Arvad dan dia menoleh. "Lo nggak laporin gue kan tadi?" tanya Arvad lagi.
"Hemm...menurut lo gimana?" katanya sambil beranjak pergi.
"Makasih." Ucap Arvad tersenyum lalu hanya di balas anggukan kecil.
"Oh iya gue lupa lagi nanya siapa namanya." Katanya setelah perempuan itu pergi. semenjak hari itu Arvad mencari tahu tentang perempuan itu, namanya terutama. Tak butuh waktu lama ia memantapkan hati untuk mengatakan perasaannya, walapun aneh kalau tiba-tiba nembak tapi ia sudah sangat ingin mengatakannya.
Pulang sekolah ia sengaja untuk tak ikut bersama Yoga dan yang lainnya, ia ingin naik bis bersama Dia. Terlihat dia sedang berdiri di halte dekat sekolah menunggu bisnya datang. Arvad mendekatinya mencoba untuk mengataknnya namun yang terjadi hanya saling diam dan memandang. Tak lama bis datang, dia mendapatkan tempat duduk sementara Arvad tidak. Seorang ibu hamil naik di halte berikutnya ia segera berdiri untuk memberikan tempat, dan sekarang mereka berdiri sejajar. Dekat bahkan sangat dekat, apalagi dengan kondisi bis yang semakin padat.
Arvad berpikir untuk tak mengataknnya sekarang, bukan waktu yang tepat mengatakan perasaannya di bis yang sesak. Seperti biasanya mereka hanya saling memandang dan kembali membuang muka. Sangat kaku, bahkan tak tahu harus membicarakan apa. Perempuan itu turun, Arvad merasa kesempatannya sudah hilang untuk hari ini ia harus menundanya lagi. Tidak ia tak mau menundanya lagi, ia segera ikut turun dan berlari mengejarnya.
"Heii.."teriak Arvad sambil berlari mendekat.
"Kenapa?" tanyanya heran kenapa orang ini mengejarnya, apa dompetnya tertinggal di bis. Arvad mencoba mengatur nafas.
"Chesta, terima kasih untuk yang waktu itu." Ucapnya. Chesta sedikit terkejut.
"Ah, iya." Jawabnya sekenanya.
"Gue nggak tahu kenapa lo nggak laporin gue ke guru tapi gue beneran makasih sama lo." Lanjut Arvad dengan nafas tersenggal, Chesta hanya mengangguk bingung.
"Minum dulu nih, lo keliatan capek gitu." Kata Chesta sambil memberinya botol minum, namun tak diterima.
"Gue suka sama lo, lo mau nggak jadi pacar gue." Arvad langsung mengatakannya. Chesta yang mendengarnya merasa terkejut hingga botol minumnya jatuh. Arvad yang melihat itu sedikit lesu, apa itu pertanda dia di tolak.
"Gue serius suka sama lo. Tapi kalau lo nggak suka nggak apa-apa." katanya lalu berbalik untuk beranjak pergi.
"bukan gitu maksudnya." Kata Chesta bingung.
"Jadi lo mau jadi pacar gue?"
"Hah, kita kan baru pertama ini ngobrol." Chesta terlihat kaget.
"Ya nggak apa-apa kalau udah jadian kan jadi sering ngobrol."
"Oh, ya ya" jawabnya pelan.
"Jadi lo mau?" tanya Arvad. Hanya di balas anggukan dengan wajah bingung. Arvad yang melihat itu trelihat senang dengan ekspresi seperti mendapat dooprize. Ia meloncat kegirangan dengan berteriak. "Yess..huuu.."
Arvad tersenyum, mengingat kejadian itu. "Woi,,, bikin komik apa sih lo senyum-senyum gitu?" Tanya Gafi penasaran. Arvad yang menyadari itu segera menyembunyikan gambarnya.
"Wah lo bikin komik ecchi kan lo. Kalau Chesta tahu dia nyesel tuh punya mantan kaya lo." Ledek Gafi.
"Bawel lo, sono main game aja."kata Arvad kesal kegiatan mengkhayalnya di ganggu.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Back To You [END]
Teen FictionTerkadang kau ingin terbang bebas saat dirimu mulai bosan dan lelah dengan keadaan. Tetapi saat kau sudah bebas dari semua hal yang membuatmu terkurung, terkadang kau merindukan itu. apakah rindu membuat sesuatu yang bebas memilih untuk kembali terk...