Chesta mencoba menyapa Arleta tapi tak ada jawaban hanya berakhir dengan ditinggalkan pergi tanpa ada raut yang menyenangkan. Ia mengerti pasti ini karena Arleta sudah tahu bagaimana hubungan Chesta dan Arvad, ternyata semuanya menjadi terlihat buruk. Saat di kelas juga mereka seperti tak ada yang saling menyapa meski Chesta terlihat sangat berusaha untuk selalu menyapa mereka namun semua itu hanya sia-sia saja. Bukan hanya sahabatnya saja tapi teman-teman Gafi juga seperti itu saling tak menyapa dan pulang tanpa saling menunggu.
"Arleta gue pulang bareng lo ya." Sapa Chesta namun yang disapa hanya tersenyum kecut lalu pergi.
"Vit, gue mau minta ajarin bikin kue dong." Kali ini giliran Vita yang cuek. Saat Chesta melihat ke arah Lisa hanya tatapan bingung dari Lisa tapi dia tetap pergi mengikuti Vita.
"Ches, gue nggak bareng lo ya. Gue pusing banget jadi gue dijemput." Kata Ina minta maaf. Memang Ina terlihat pucat dan seperti akan pingsan akhirny Chesta mengangguk. Ia melirik ke arah Gafi yang masih ada di sana tapi Ia segera pergi tanpa menghiraukan apakah ada orang di sampingnya atau tidak.
Ia berjalan di lorong sekolah sendirian tanpa sengaja bertemu dengan Agnes dan ia sangat kesal dengan sikap angkuh Agnes yang terlihat senang dengan keadaan buruk ini. Wajahnya terlihat menyebalkan.
"Kalian sudah hancur." Katanya lalu pergi melewati Chesta begitu saja.
"Kita nggak akan pernah hancur, persahabatan kita nggak akan pernah hancur!!" teriak Chesta pada Agnes sedikit menahan air matanya. Agnes yang mendengar itu segera berbalik arah dan mendekati Chesta yang sudah berkaca-kaca.
"Haha..bahkan lo sendiri aja udah mulai takut kehilangan mereka."
"Gue tahu kita memang bertengkar tapi ini akan buat kita semakin kuat."
"Jangan sok, sekarang mana sahabat lo yang emosian itu, mana sahabat lo yang sok berani itu dan mana temen lo yang sok imut itu. Apa dia ada disini sekarang?" tanya Agnes sinis. Chesta tak bisa menjawab apapun dan ia hanya tertunduk air matanya hampir jatuh, dadanya terasa sesak membayangkan perkataan Agnes ada benarnya.
"Mereka ada dan pasti selalu ada buat gue." Ucapan itu membuat Agnes sedikit kesal dengan Chesta.
"Kita lihat aja apakah mereka bakalan dateng kalau lo kenapa-kenapa." Kali ini senyuman licik itu muncul dan memberi isyarat kepada kedua temannya untuk menyeret Chesta pergi dari lorong. Sedikit terkejut tak tahu apa yang akan dilakukan Agnes dan teman-temannya.
"Hei, mau apa lo." Teriak Chesta berusaha memberontak namun cengkraman mereka terlalu kuat. Agnes menyuruh kedua temannya untuk membawa Chesta ke gudang. Dengan perlakuan yang kasar ia di jatuhkan ke dalam gudang. Gudang yang waktu itu pernah membuatnya takut karena tikus, keringat dingin mengucur di pelipisnya.
"Jangan macem-macem ya, atau gue..."
"Mau ngapain lo, temen lo udah nggak ada dan siapa mantan lo yang udah ngasih harapan palsu ke gue juga nggak bakalan dateng." Agnes masih berdiri di depan Chesta yang terduduk dengan dipegangi kedua tangannya oleh teman Agnes.
"Yah, gue juga nggak nyangka bakal lakuin ini makanya gue nggak ada persiapan, hem sekarang gue jadi bingung mau gue apain ya lo." Kata Agnes memandang Chesta lalu tersenyum jahat seperti menemukan sebuah ide. Ia mengambil gunting yang ada di dalam tasnya dan juga semprotan pewarna rambut. Chesta yang memandang itu seperti berpikir ini bukanlah keadaan yang baik, ia menggeleng dan terus meronta.
"Berisik banget sih lo, bungkam mulutnya pake sapu tangan ini, terus pegangin kaki sama tangannya." Kata Agnes menyuruh kedua temannya.
"Nah, sekarang loe baru bisa diem kan, warna apa ya yang cocok." Katanya lalu memilih beberapa warna mencolok dari pewarna rambut itu. Chesta tak bisa berbuat apa-apa dan dia hanya bisa menangis, rasa takutnya sangat besar dan ia berharap kalau teman-temannya datang menolongnya meskipun itu terlihat mustahil. Agnes mengambil beberapa helai rambut Chesta dan mengguntingnya secara acak setelah terlihat banyak potongan rambut Agnes mengambil semprotan warna biru dan menyemprotkannya tak beraturan ke rambut Chesta.
"Ya walaupun nggak tahan lama tapi seru juga buat eksperimen model rambut baru." Katanya lalu tertawa. Kali ini Chesta hanya bisa pasrah dan menangis, tak lupa ia selalu berdo'a berharap siapapun datang menolongnya seandainya itu bukan teman-temannya ia tak perduli yang penting ia tak mau rambutnya habis di botakin di sini.
Pintu gudang di dobrak dengan kencang membuat penghuni di dalamnya terkejut. Chesta tak berani menatap lagi siapa yang datang karena ia sangat malu dengan keadaanya sekarang.
"Gue pikir lo orang baik nes." Chesta kenal dengan suara itu meskipun dia sangat jarang bicara di hadapannya. Agnes sangat syok dengan kemunculan orang itu dan bahkan ia sampai terdiam tak bisa menjawab atau melawan. Seseorang yang baru saja datang menatap tajam kedua teman Agnes kemudian mereka perlahan mundur dan melepaskan Chesta.
"Gue harap ini buat yang terakhir kalinya, atau jangan harap gue mau kenal sama lo lagi." Ucapnya menatap Agnes tajam dan menarik tangan Chesta lalu pergi.
Chesta masih menangis dan tak berani menatap orang yang membawanya pergi, ia sangat malu meskipun sebenarnya ia ingin berterimakasih. Orang itu segera mengatar Chesta pulang, ia tak berani mengatakan apapun ia tahu hati perempuan itu pasti sedang sangat terluka atas perbuatan temannya. Bahkan saat di motor juga tak ada suara selain terisak. Ia juga tak memalingkan wajahnya ke si penolong sedikitpun membuat si penolong merasa bahwa dia sudah terlambat datang.
Setelah sampai Chesta langsung turun dan membuka pagar rumahnya, ia tak sedikitpun menoleh ke belakang. Tapi langkahnya berhenti dan ingin berbalik untuk mengucapkan terimakasih.
"Gue minta maaf udah telat datang." Katanya sebelum Chesta membalikkan badannya. "Dan soal temen gue, gue minta maaf juga. Lo nggak perlu bilang makasih sekarang lo bersihin diri dulu." Katanya "Gue balik dulu ya." Lalu menyalakan motornya dan pergi tanpa mendengar jawaban Chesta. Segera ia masuk rumah berharap di rumah tak ada siapa-siapa karena ia tak mau ada yang melihat dirinya sekacau ini. Segera ia berlari menuju kamarnya, namun langkahnya terhenti ketika melihat Vira sedikit terkejut.
"Kak, kakak kenapa?" tanya Vira yang baru saja dari dapur. Menyadari hal itu Chesta segera pergi dan Vira semakin penasaran ia berlari mengikuti namun yang di kejar segera masuk kamar dan mengunci pintu rapat-rapat.
"Kak, kakak kenapa? Apa ada masalah? Cerita ke Vira." Vira masih terus menggedor-gedor pintu kamar kakaknya berharap ada jawaban namun sia-sia. Ia memutuskan untuk pergi dari sana meskipun hatinya kawatir.
KAMU SEDANG MEMBACA
Back To You [END]
Teen FictionTerkadang kau ingin terbang bebas saat dirimu mulai bosan dan lelah dengan keadaan. Tetapi saat kau sudah bebas dari semua hal yang membuatmu terkurung, terkadang kau merindukan itu. apakah rindu membuat sesuatu yang bebas memilih untuk kembali terk...