Hati Chesta seperti merasakan sesuatu, kenapa ia tak bisa ketus dengan Arvad lebih lama. Padahal ia ingin menghindari orang itu dan sangat ingin membuang perasaanya apalagi sekarang ia tahu temannya Arleta menyukai Arvad. Ia tak mau jika Arleta mengetahui hubungannya dengan Arvad bisa saja Arleta akan marah padanya. Chesta sudah memilih untuk berteman, sekarang berdamai dengan masa lalu. Dan tak mau menyakiti siapapun itu lebih baik. Ia keluar dari kamar mandi berjalan menyusuri lorong kelas dan melihat seseorang yang datang dengan teman-temannya.
Dan itu adalah Kay, orang yang malam itu membuatnya sangat takut. Mau apa dia sekarang disini, kenapa dia ada disini? Timbul pertanyaan yang tak bisa di jawab. Kay tak boleh melihatnya karena bisa saja Kay masih mengingat kejadian malam itu. Tubuh Chesta bergetar dan berkeringat, jantungnya berdetak sangat kencang nafasnya sesak mengingat kejadian malam itu. Ia bersembunyi di balik pot besar dan di balik dinding. Berharap Kay tak melihatnya, dan Kay memang tak melihatnya selain itu tak terdengar derap langkah kaki mendekat. Chesta mengintip sedikit ke arah Kay tadi tak ada siapapun namun terdengar seperti pintu di dobrak dan terdengar keributan besar disana. Chesta kembali bersembunyi, tak mengerti apa yang terjadi karena dia sangat takut sampai tak berani lari atau berkata apapun.
Setelah suasana hening Chesta keluar dari persembunyiannya dan melihat pintu yang rusak dan pecahan kaca di ruangan itu serta piala-piala yang hancur yang paling parah piala kemenangan tim basket. Chesta mematung bingung, Arvad datang dengan wajah kawatir begitu mendnegar suara keributan.
"Ches, ada apa? Apa loe nggak apa-apa?" tanya Arvad panik.
"Tadi gue liat.." belum selesai Chesta bicara Arvad sudah terkejut melihat ruangan itu hancur tak karuan.
"Ches, mendingan loe pulang sekarang. Cepetan." Suruh Arvad begitu mendengar derap kaki mendekat. Chesta sebenarnya ingin menolak tapi Arvad bersikeras memintanya pulang. Ia pulang dengan gontai bahkan sangat lelah, tak bersemangat lagi seperti tadi. Bahkan Ia juga takut kalau Kay masih berada di luar.
"Vad, ada apa sebenarnya?" tanya Yoga bingung melihat ruang penyimpanan penghargaan hancur.
"Gue juga bingung, siapa yang lakuin ini." Jawab Arvad masih berpikir. "Kenapa kalian kesini?" tanyanya.
"Ternyata Hp loe jatoh di rumah gue, dan tadi ada yang nelfon bilang kalau loe di keroyok di sekolahan makannya kita kesini." Jelas Yoga.
"Oke sekarang kita ngapain dengan keadaan seperti ini?" Tanya Eno.
"Gue rasa ini jebakan." Kata Gafi. Selang beberapa menit satpam datang dengan seorang guru yang rumahnya dekat dengan sekolahan. Mereka sama terkejutnya dengan Yoga tadi saat baru datang. Melihat Yoga dan yang lainnya disana membuat mereka semakin marah.
"Kalian yang merusak ini semua?" tanya guru tersebut. "Jawab!" bentaknya. Arvad dan yang lainnya bingung karena mereka yang di tuduh
"Bukan kita pak, tadi kita datang sudah begini."
"Jangan bohong bapak liat mas ini yang sudah dari tadi di sekolahan." Kata satpam menunjuk Arvad. Permasalahan ini akan semakin panjang jika terus mengelak tapi memang mereka tak melakukannya. Karena tak ad ayang mengaku mereka diminta memberikan idnetitas mereka, alamat rumah dan nomor telfon yang bisa dihubungi. Besok mereka harus menghadap guru BP dan kepala sekolah. Untuk saat ini mereka harus membersihkan kekacauan ini.
***
Pagi itu Yoga dan yang lainnya di suruh menghadap kepala sekolah. Kali ini tak seperti biasanya Yoga yang selalu santai menghadapi hukuman terlihat berbeda, ada hal yang muncul di pikirannya. Bahkan Gafi yang cenderung menantang hukuman juga kali ini tak mengelak sedikitpun.
"Yoga, bapak tahu kamu suka membuat keributan dan banyak melanggar tata tertib di sekolah tapi perbuatan kamu ini sudah sangat keterlaluan." Kata Guru BP melihat ke arah Yoga dan yang lainnya. Tapi pernyataan itu seperti hanya untuk Yoga seorang.
"Pak kali ini bukan saya pelakunya." Kata Yoga membela.
"Lalu siapa pelakunya kalau bukan kalian, apalagi kalian ada disana saat kejadian."
"Kita di jebak pak." Kata Eno kesal. Gafi lebih terlihat kesal lagi saat Eno menjawab hal itu karena pasti tak akan di percayai lagi. Dan benar saja mereka tak mempercayai ucapan Eno karena tak ada bukti yang jelas.
"Baiklah beri penjelasan atau bukti yang jelas pada kami baru kalian bisa bebas. Tapi kalau kalian tak ada bukti apapun kalian akan di keluarkan dari sekolah karena telah merusak fasilitas sekolah dan berkilah. Waktu kalian hanya tinggal besok. Sekarang kalian boleh pergi."
Mereka pergi meninggalkan ruangan itu dengan rasa kesal, Arvad menduga ini memang jebakan tapi siapa pelakunya. Karena sulit untuk menemukan musuh apalagi Yoga dan yang lainnya sering berkelahi dengan orang lain. Kenapa orang itu juga tahu letak ruang penyimpanan piala. Siapa sebenarnya dia? Masih membuat mereka pusing memikirkannya.
Bukan hanya tentang siapa pelakunya tapi juga siswa di sekolah itu menuduh mereka pelakunya. Beberapa justru berani mencemoh mereka di hadapannya. Emosi Yoga yang gampang tersulut hampir membuat seseorang terkena pukulannya, kalau tidak di cegah oleh Gafi mungkin kejadian ini akan membuatnya di panggil lagi ke ruang BP.
"Loe ngapain nanggepin tuh orang yang ada kita makin kena masalah lagi." Kata Gafi.
"Kenapa mereka nggak percaya kalau kita di jebak."
"Bodoh ya loe, ngomong gitu di hadapan guru BP mana mungkin mereka bakal percaya kalau nggak ada bukti." Bentak Gafi pada Eno.
"Gue juga nggak mau di salahin begini apalagi harus di keluarin dari sekolah."
"Berisik loe kaya cewek, yang penting tuh kita harus nemuin siapa pelakunya. Itu juga karena ucapan loe No."
"Gue Cuma nggak mau disalahin kenapa sekarang jadi nyalahin gue."
"Kalau loe nggak ngomong tanpa bukti mereka nggak bakal ngeluarin kita." Kali ini Gafi emosi.
"Salahin aja terus gue, emang loe pikir kita harus apa? Bilang iya gitu kalau kita yang lakuin?" Eno berani menatap tajam Gafi. Gafi segera menarik kerah lehernya, membuat Eno sedikit terkejut.
"Udah Gaf, mending kita tenangin diri dulu." Kata Arvad.
"Gue sempet lihat loe sama seseorang pas kita dateng, tapi sekilas terus dia pergi. Siapa dia Vad?" tanya Gafi yang sudah cukup tenang. Kali Arvad yang bingung harus menjawab apa.
"Jangan-jangan loe Vad yang rencanain ini." Kata-kata Eno membuat Yoga memukulnya. Raut wajah Eno tampak kesal. Yoga hanya tak mau mereka saling menuduh tanpa bukti, apalagi sikap Eno yang bicara tanpa berpikir membuat Yoga tak bisa menahan emosinya.
"Loe tuh ngomong apaan sih? Jangan nuduh temen loe sendiri."
"Jangan mukul gue." Bentak Eno siap untuk memukul Yoga. Arvad mulai kesal dan mendorong mereka berdua.
"Kalian nggak bisa berhenti berantem apa? Situasi kita lagi begini dan kalian memperburuk ngerti nggak." Kata Arvad sedikit berteriak.
"Kalau aja gue di keluarin karena perbuatan gue, gue nggak bakal semarah ini."
"Ga, gue juga marah karena kita di tuduh bukan karena di keluarin." Eno kembali duduk ke kursinya.
Perdebatan mereka di kantin membuat beberapa pasang mata menatap mereka tajam. Berpikir bahwa mereka benar-benar si pembuat onar. Beberapa senang karena mereka akan di keluarkan. Namun ada yang sedih, fans mereka kini kecewa dan memilih cuek dan menjauh. Sebagian mencibir karena sikap mereka yang buruk. Padahal mereka juga sudah sering membbuat masalah tapi mereka tetap menyukainya tapi kali ini entah mengapa mereka jadi menghujatnya.
"yang jelas gara-gara ini fans gue ilang." Kata Eno kesal, membuat Gafi menggeleng.
"Loe masih mikirin fans." Eno hanya mengangguk. Lalu Arvad memikirkan beberapa kandidat yang menjadikan mereka pelaku. Yoga siap untuk diskusi begitu juga dengan Gafi. Agnes datang berniat untuk menyemangati mereka meskipun Arvad sedikit malas dengan kedatangan Agnes.
KAMU SEDANG MEMBACA
Back To You [END]
Teen FictionTerkadang kau ingin terbang bebas saat dirimu mulai bosan dan lelah dengan keadaan. Tetapi saat kau sudah bebas dari semua hal yang membuatmu terkurung, terkadang kau merindukan itu. apakah rindu membuat sesuatu yang bebas memilih untuk kembali terk...