Tak ada yang berani memulai berbicara pada Vita, ia masih terlihat marah dan hanya selalu pergi berdua dengan Lisa. Berbicara pada Lisa dan seolah tak pernah perduli di dekatnya ada Chesta dan Ina. Awalnya Vita hanya marah pada Chesta karena perjanjian mereka tapi ternyata bukan hanya Chesta yang melanggar Ina juga masih berpacaran dengan Yoga. Suasana kelas jadi sedikit tenang, lebih tepatnya mencekam. Eno pindah tempat duduk dengan teman yang lain karena malas dekat dengan mereka. melihat kejadian itu membuat Chesta bertanya-tanya, bukan hanya Chesta tapi juga seisi ruangan itu.
"Apa masalahnya semakin buruk?" Tanya Chesta pada Gafi yang sibuk bermain handphone tanpa memperdulikan temannya yang pindah tempat duduk.
"Urus aja geng lo sendiri." Katanya sedikit ketus, hal itu membuat Chesta mengalihkan pandangan ke arah Vita tapi di abaikan.
"Apa lo juga marah sama Arvad?"
"ternyata lo masih peduli sama mantan lo." Kali ini pernyataan Gafi membuat Chesta bungkam. Sebenarnya Gafi ingin bersikap lebih lembut lagi tapi ia sungguh tak tahu bagaimana caranya. Apalagi ia tahu Chesta mantan pacar sahabatnya sendiri. Yang dia tahu saat ini perasaan Chesta sedang sedih karena persahabatan mereka mulai merenggang. Ia tahu bagaimana rasanya bagaimana kehilangan teman, bahakan Gafi sudah merasakannya untuk ke sekian kali.
Chesta ikut bergabung di kantin bersama Vita, Lisa dan Arleta. Namun wajah mereka seperti tak suka dengan kedatangan Chesta dan Ina. "Hey, hari ini jadwal gue pesenin makanan kalian kan?" kata Chesta tersenyum. Tak ada yang menatap ke arahnya semua sibuk sendiri dengan handphone masing-masing.
"Oh ya, Vit lo mau makan nasi goreng sama jus jeruk, Lisa bakso dan es teh, Arleta soto dan air putih kaya biasanya kan? gue pesenin dulu ya." Kata Chesta berusaha untuk seperti biasanya.
"Vit gue mau ambil pesenan kita dulu ya." Kata Arleta lalu pergi.
"Gue juga mau ke kamar mandi dulu, yuk Lis." Ajak Vita dan Lisa menurutinya. Chesta menatap kepergian mereka dengan rasa sesak, kali ini ia benar-benar diabaikan.
"Ches, kayaknya persahabatan kita emang Cuma sampai di sini deh."
"Lo ngomong apa sih Na." Kata Chesta, air matanya hampir keluar.
"Gue tahu lo udah minta maaf ke mereka gue juga udah minta maaf dan bahkan gue sama Yoga udah putus. Lo udah berusaha membuat semuanya kelihatan baik-baik aja tapi ini percuma."
"Nggak ada yang percuma Na." Kata Chesta lalu pergi. Kali ini ia tak bisa menahan lagi air mataknya sudah keluar dan ia ingin pergi dari keramaian.
Agnes dan teman-temannya tertawa puas melihat persahabatan mereka yang retak, begitu juga dengan persahabatan Yoga dan yang lainnya ia sudah tak perduli lagi. Walaupun mereka dulu pernah satu geng tapi penolakan Arvad membuatnya sakit selain itu juga bersama mereka ia seperti tak dianggap ada.
Rian berjalan menuju kelas Chesta tapi tak ada siapapun disana dan hanya ada Ina yang sedang duduk sendirian. Tadinya ia tak ingin mendekatinya tapi entah mengapa kakinya melangkah perlahan menuju perempuan itu. Dan sekarang dia tahu apa yang dilakukan Ina sendirian di sana. Ia menangis, untuk pertama kalinya ia melihat seorang Ina menangis.
"Ina." Sapa Rian. Ina tak sadar kalau ada orang yang datang menghampirinya dan Ia reflek mengangkat kepalanya menatap orang itu. Sedikit tersadar Ia segera mengusap air matanya dan berusaha seperti tak terjadi apa-apa.
"Hei, kenapa? Nyari Chesta ya?" tanya Ina tersenyum. Rian duduk di dekat Ina dan menaruh buku di atas meja. "Oh, ini kan punya Chesta. Hem lo mau balikin ini?" tanya nya lagi menyeret buku itu di hadapannya. Rian menatap Ina yang masih berusaha untuk menutupi air matanya padahal itu sudah jelas.
"Wah, lo sama Chesta punya kesamaan ya."
"Kenapa?" tanya Rian datar tanpa menatap Ina. Pertanyaan itu membuat Ina bingung dan sedikit terkejut.
"Kenapa lo nyembunyiin ini?" tanya Rian kali ini dengan menatap Ina. Ina masih tak mengerti ia hanya bisa berpikir ini tentang hubungan Chesta dan Arvad.
"Kalau lo marah ya marah aja, kalau lo sedih ya sedih aja dan kalau lo mau nangis ya nangis aja kenapa mesti ditutupi gitu." Rian merasa hati ina kali ini pasti tak bisa menahannya lagi sampai harus menangis, karena ia tak pernah melihat Ina menangis sebelumnya.
"Apa lo takut kelihatan lemah?" tanya Rian. Kali ini Ina meneteskan air mata.
"Gue bukannya takut dibilang lemah tapi gue nggak mau Chesta ngelihat gue nangis, dia udah ngerasain sakit juga temen gue yang lain juga pasti nggak mau ini terjadi." Kali ini kedua tangannya menutupi wajahnya.
"Tapi semuanya udah berantakan, nggak ada yang tersisa Cuma kita kaya orang yang nggak saling kenal." Dan Ina menenggelamkan wajahnya di atas meja dengan tangan yang menutupinya. Rian menghela nafas seperti merasakan apa yang di alami. Refleks tanganya mengusap bahu Ina pelan.
"Nggak ada yang berantakan, semuanya akan baik-baik aja. ini Cuma butuh komunikasi kalian butuh ngomong baik-baik."
"Nggak segampang itu."
"Ya udah, tunggu semuanya tenang dulu baru kalian mulai lagi, dari awal." Kali ini Ina hanya menangis membayangkan jangankan untuk bicara menatap wajah Vita saja rasanya seperti sesak apalagi saat dia tersenyum dan Vita justru mengabaikan. Sekarang mereka seperti orang asing.
"Mending lo samperin Chesta mungkin dia sekarang lebih sakit lagi karena perlakuan Vita."
Rian hanya terdiam, sebenarnya sejak tadi ia juga memikirkan perasaan Chesta tapi melihat Arvad adalah orang yang masih menyukai Chesta pasti sekarang Chesta tak sendirian.
"Lo, nggak usah kawatirin dia." Kali ini Ina termangu, kenapa Rian seolah tak ingin menemui Chesta.
"Apa lo kesel sama dia karena dia pernah pacaran sama Arvad." Ina mengangkat wajahnya dan mengusap air matanya lagi.
"Sebenarnya sih nggak kesel, tapi.."
"Cemburu?"
"Bukan."
"Marah?"
"Bukan."
"Apan dong."
"Makanya biar gue selesai ngomong dulu."
"Oh, iya."
"Gue lebih ke kecewa na, kenapa bukan gue gitu kenapa harus ke Arvad. Tapi yang namanya hati ya siapa yang tahu kemana dia bakalan milih." Kali ini Ina hanya mengangguk.
"Kamar mandi sono, muka lo berantakan banget tuh." Kata Rian melihat mood Ina sudah membaik dan segera berdiri.
"Enak aja berantakan emang dikira apaan." Rian tak memperdulikan ucapan Ina dan berjalan keluar.
"Bersihin ingus lo tuh, jorok."
"Dasar lo, bikin gue kesel aja." Rian hanya tersenyum melihat Ina mulai kesal seperti biasanya, itu tandanya ia sudah tak sedih lagi. Ina sadar dengan sikapnya yang seperti biasanya, ia tersenyum sedikit dan menatap Rian yang sudah membelakanginya.
"Makasih ya." Katanya dengan tersenyum. Rian hanya melambaikan tangan dan pergi. Ina merasa lega, setelah mengis dan mengatakan apa yang ada di hatinya. Sebenarnya ia berniat bercerita pada Chesta tapi ia tak mau membebaninya dan juga Yoga, mereka sudah putus. Ina membuka buku yang ada di sampingnya dan ternyum. Jika bukan karena buku ini yang dipinjam Rian mungkin Rian tak akan masuk ke kelas ini.
Ia masih ingat juga bagaimana dulu ia sempat mengagumi Rian, tapi ia tak pernah menceritakan pada siapun tentang itu dan juga entah itu perasaan kagum biasa atau tumbuh menjadi rasa yang lain. Namun ia sadar kalau Rian terus memperhatikan Chesta dan tak mau mengusiknya membuat Ina memilih mundur. Dan perasaan itu seperti telah hilang begitu saja seiring dengan munculnya Yoga dalam pikirannya dulu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Back To You [END]
Teen FictionTerkadang kau ingin terbang bebas saat dirimu mulai bosan dan lelah dengan keadaan. Tetapi saat kau sudah bebas dari semua hal yang membuatmu terkurung, terkadang kau merindukan itu. apakah rindu membuat sesuatu yang bebas memilih untuk kembali terk...