Pagi-pagi Garin sudah kumat. Kadar kemesuman dan manjanya meningkat. Ia sungguh memanfaatkan rasa sakit di bagian lengan dan kakinya dengan sangat baik. Rasanya ia ingin selalu sakit, dengan begitu ia bisa bebas hidup dimanjakan dengan Reya. Rupanya Garin sangat senang dengan keadaannya yang cacat seperti ini. Reya hanya mampu menggeleng heran.
Seperti halnya sekarang, Reya terkejut dibuatnya. Garin memang tidak pernah kenal tempat dan situasi. Dengan bertelanjang dada, Garin melingkarkan kedua tangannya di pinggang Reya yang sedang membuat nasi goreng. Ia menenggelamkan kepalanya di leher istrinya yang bebas dari rambut panjangnya karena Reya menyanggul rambutnya tinggi. Garin memejamkan matanya meresapi momen paginya.
Reya hanya mampu bergerak kaku, tidak ada suara yang keluar dari mulutnya. Hanya dentingan wajan dan sutil yang terdengar beradu. Sampai sesuatu yang kenyal mendarat di pipinya pun Reya tetap tidak bersuara. Ia diam dan pasrah menerima semua itu dari Garin. Setidaknya untuk saat ini.
"Pagi, sayang!" sapanya yang semakin mengetatkan pelukannya. Tidak ada balasan dari Reya.
Sepertinya tidak ada tanda-tanda Garin ingin melepaskan gadis itu, ia masih betah memeluk istrinya dari belakang dan bahkan jika ada kesempatan Garin akan selalu menciumi pipi Reya berulang kali. Garin senang mengetahui fakta bahwa Reya yang hanya diam saja atas perbuatannya.
Tanpa sadar, sejak kedatangan Garin memasuki area dapur ada orang ketiga yang tidak dianggap keberadaannya sedang memperhatikan semuanya secara detail. Termasuk sikap Garin terhadap Reya, tidak terkecuali diamnya Reya yang terima saja atas perbuatan romantis Garin, menurutnya.
"Garin, mau berapa lama kamu anggap Mama makhluk gaib yang tak kasat mata?"
Garin yang dagunya bertumpu di atas pundak Reya lantas mengangkat kepalanya. Keningnya berkerut bingung. Suara wanita paruh baya yang sangat kental di telinganya membuatnya menengok ke sumber suara.
"Mama?"
Garin menatap tidak percaya wanita paruh baya yang duduk di kursi meja makan. Lalu Garin menengok jam dinding yang baru menunjukkan pukul enam pagi, setelahnya ia kembali menatap wanita paru baya yang kini menatapnya dengan tatapan geli.
"Mama ngapain di sini?" tanyanya. Perlahan Garin melepaskan pelukannya di pinggang Reya dan berjalan mendekati wanita yang telah melahirkannya.
Akhirnya, Reya bisa bernapas lega. Seandainya tidak ada mertuanya yang sejak tadi memperhatikan, pasti Reya sudah membuat tangan dan kaki Garin bertambah sakit. Patah bila perlu.
"Mama dengar kalau lengan dan kaki kamu gak bisa digerakin. Tapi, Mama lihat, lengan kamu sanggup aja meluk Reya dan kaki kamu sanggup aja untuk berdiri lama meluk Reya dari belakang," sindir Gina, wanita paruh baya yang masih terlihat awet muda diusianya yang sudah berkepala tiga.
Garin merengut. Ia duduk di samping Mamanya. "Kalo masalah meluk Reya, Garin memang sanggup. Yang menjadi masalah, Mama ngapain pagi-pagi udah di sini?" tanyanya yang mengabaikan tatapan aneh dari dua orang wanita yang berbeda status di sana.
"Kenapa? Gak senang kalau Mama di sini? Takut, kalau Mama ganggu kemesuman kamu sama Reya?" sindir Mamanya tepat sasaran.
"Itu mama tau. Lagian mesum sama istri sendiri itu halal. Gak ada yang ngelarang," jawab Garin dengan santainya. Tidak peduli jika Reya tengah memberikan tatapan memperingatkan ke arahnya.
Gina hanya geleng-geleng melihat tingkah anaknya. "Rupanya, buah memang gak bisa jatuh jauh dari pohonnya."
Garin mengernyit. "Maksud Mama?"
"Kamu mirip sama Papa kamu! Sama-sama mesum!" jawab Mamanya sambil beranjak mendekati Reya.
"Tapi Mama suka 'kan di mesumin sama Papa?" Garin menyeringai nakal, ia sedang ingin menggoda Mamanya.
![](https://img.wattpad.com/cover/135936058-288-k297476.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Perfect Two✔
RomanceReya membanting pintu apartemennya, lalu keluar dari sana. Kenyataan bahwa Garin meninggalkan dirinya memang tidak bisa dielakkan. Laki-laki seperti Garin memang pantas Reya benci. Reya menyentuh bibirnya. Ingin rasanya ia menangis sekarang, merasak...