"Lo suka sama Reya? Sejak kapan? Kok gue baru tau? Kenapa baru bilang? Lo teman apaan, sih? Tapi sebenarnya tanpa lo bilang pun gue sudah tahu sih kalau lo suka Reya." Heboh Nino yang membuat seisi kantin langsung berpusat kepadanya, tetapi hal itu tidak ia hiraukan. Sudah biasa. Nino orangnya memang malu-maluin. Berteman dengan Nino harus siap menganggung malu.
"Kalau lo sudah tau, kenapa lo heboh banget bangke!"
"Bisa gak, sih, ngomongnya pelan aja! Kayak tinggal di hutan aja lo!" sewot Fahri yang memberikan pelototannya untuk Nino.
"Gak bisa. Punya suara toak itu sudah menjadi kelebihan gue yang diberikan oleh sang pencipta. Harus disyukuri. Lo iri, jangan syirik!" Cecar Nino yang ikutan melotot.
"Hh. Syirik sama lo gak level banget," desis Fahri yang tak mau kalah.
"Diam lo!" Nino kembali memusatkan perhatiannya ke arah Ryan yang baru saja jujur dengan perasaannya.
"Lo suka Reya? Trus, kapan mau lo halalin?" tanya Nino asal yang langsung dihadiahi teloyoran keras dari Fahri.
"Lulus aja belum, lo malah mikir halal-halalan? Mau lo kasih makan apa anak orang?" cerocos Fahri yang kesal sendiri dengan pemikiran pendek Nino.
"Kasih makan yang halal lah." Nino menjawab cuek. "Kalo cinta, nasi dengan lauk garam pun tak mengapa," lanjutnya tersenyum bangga.
Fahri mendengkus. "Gue jadi gak sabar pengen denger kisah romantis lo makan dengan lauk garam. Kasian banget istri lo!"
"Sialan, lo!" umpat Nino.
"Kalo nanti lo cerai, jangan lupa undang gue, ya." Fahri menepuk pundak Nino.
"Kamvret! Nikah aja belom!" Nino bertopang dagu sambil menatap kesal Fahri.
"Mana ada yang mau punya suami kayak lo, yang bisanya cuma kasih makan garam istri," cibir Fahri, lalu tertawa mengejek.
Nino berdecak. "Siapa bilang gue cuma bisa kasih makan garam?" ucap Nino menantang. "Nenek gue punya toko mie Indomai. Selain garam, istri gue bakal gue kasih makan indomai juga. Indomai kan favorit gue."
Fahri menggeleng tidak percaya dengan ucapan Nino. Kasian sekali yang akan menjadi isteri Nino kelak. Jika bukan garam sebagai lauknya, pasti si indomai merek terkenal itu yang akan menjadi santapannya.
"Gue jadi gak sabar pengen tau siapa yang akan jadi istri lo," ucap Fahri menatap malas Nino.
"Tenang aja. Nanti lo bakal gue undang ke pernikahan gue dan gue harap lo mau menyanyikan lagu romantis di pernikahan gue." Nino tersenyum lebar sambil menaik-turunkan alisnya.
"Tenang, tunggu aja, gue bakal nyanyiin lagu ciptaan gue sendiri, judulnya Cepat Cerai." Fahri tersenyum jahat.
"Biadab lo!"
Fahri tertawa. Ia jadi membayangkan, jika saja ada lagu yang berjudul cepat cerai dan dinyanyikan pada saat hari pernikahan. Pastinya, orang yang menyanyikan lagu itu langsung dituding habis-habisan dan Fahri jadi berencana untuk menciptakan sebuah lagu Cepat Cerai untuk Nino suatu saat nanti.
"Gue mau nembak Reya, menurut kalian gimana?" suara dari Ryan langsung membuat perhatian ketiga temannya berpusat kepadanya.
Garin yang sejak tadi hanya diam dan lebih memilih menjadi pendengar setia. Pun, akhirnya menatap Ryan datar. Ingin tahu apa yang akan dikatakan selanjutnya oleh sahabatnya yang satu itu.
"Menurut gue, sih, jangan ditembak. Kasian Reya kalau kesakitan, mending kalau masuk rumah sakit. Gimana kalau ko'it? Bisa-bisa lo jadi duda sebelum menikah," cerocos Nino.
"Dengerin lo ngomong, yang ada gue yang jadi duda sebelum menikah," kesal Fahri sambil memijit pangkal hidungnya.
"Menurut lo gimana, Gar?" seru Ryan yang kini bertanya kepada Garin. Mengabaikan Nino dengan pendapat konyolnya.
"Gimana apanya?"
Ryan berdecak. "Menurut lo gimana kalau gue nembak Reya?" tanyanya, tidak sabar menunggu jawaban Garin.
"Kenapa harus Reya?" Bukannya menjawab, Garin malah balik bertanya.
"Karena gue maunya ke Reya," mantap Ryan.
"Reya gak cantik," ucap Garin berusaha mengontrol wajahnya agar terlihat biasa saja.
"Gue gak peduli. Menurut gue, semua cewek itu punya aura kecantikan yang berbeda," balas Ryan.
"Gak ada yang menarik dalam diri Reya." Garin kembali berucap santai. Berusaha meyakinkan.
"Reya menarik, seenggaknya menurut pandangan gue. Gue rasa lo tau betul, kalau manusia itu memiliki sudut pandang yang berbeda. Gak mungkin kan semua orang menetap di satu hati yang sama."
Garin menatap Ryan dengan tenang, namun berbeda dengan tangannya yang sudah mengepal sejak tadi.
"Sepertinya Bung, kerajaan Majapahit akan berperang melawan kerajaan Joseon untuk memperebutkan putri Inggris, Bung." Celetuk Nino yang menirukan gaya bicara pengamat bola.
Sementara Fahri hanya geleng-geleng, lelah dengan mulut konyol Nino.
Berbeda dengan Garin dan Ryan yang tidak ingin menyudahi perdebatan kecil yang mungkin saja akan menjadi perdebatan besar jika tidak segera dihentikan.
"Badan Reya krempeng, kurus, tinggal tulang. Apa bagusnya badan kayak gitu?" ucap Garin yang masih belum menyerah. Tanpa bisa dicegah mulutnya sudah berkata demikian.
"Wah, bahaya mulut lo, Gar! Body shaming, nih!"
Mendengar Garin, Ryan menautkan kedua alisnya. Setaunya, Reya tidak krempeng apalagi tinggal tulang. Gadis itu masih memiliki daging yang membungkus tulangnya, bahkan tubuh Reya dapat dibilang tergolong ideal. Ryan jadi berpikir keras, mata siapa yang sebenarnya bermasalah? Matanya atau mata Garin?
"Mata lo udah minus berapa?" tanya Ryan, tersenyum kecut. Lama-lama ia kesal dengan Garin yang selalu menjelek-jelekkan gadis yang ia suka.
"Mata gue normal. Gue rasa mata lo yang lagi bermasalah." Garin balas tersenyum kecut.
Ryan melipat tangan di atas meja, menatap Garin serius. "Kalau gitu, berarti lo juga suka sama dia. Iya 'kan?" tuding Ryan.
Garin membuang muka sambil tersenyum mengejek. "Suka?" katanya. Wajahnya kembali ia hadapkan ke arah Ryan, meyakinkan laki-laki itu dengan ucapannya.
"Iya, Gar. Lo suka Reya, 'kan? Buktinya lo traktir gue makan buat ma-"
"DIAM, NO!"
Nino diam. Laki-laki itu hanya dapat menyengir akhirnya. Nyaris saja ia membuka aib Garin.
Setelah menatap tajam Nino, Garin kembali mengalihkan tatapannya ke arah Ryan. Tentu, kalimat Nino yang menggantung tadi menimbul tanda tanya di atas kepala Fahri dan juga Ryan.
"Lo lupa, ada adik kelas yang lebih menarik dan cantik yang sering bawain gue makan. Lo juga tau Tessa 'kan? Dan lo juga tau siapa aja cewek yang ada dalam jajaran kriteria gue. Selama masih ada kriteria itu, kenapa gue harus suka Reya? Kriteria cewek yang gue mau sudah punah, ya?" Garin menatap Ryan serius.
"Gue gak suka cewek kayak dia. Kalau lo mau tembak, ya, tembak aja. Gak ada urusannya sama gue," ucapnya sebelum meninggalkan ketiga temannya di sana.
Tidak jauh dari tempatnya berada ada gadis yang tengah mengepalkan kedua tangannya erat. Garin keparat! Bangke! "Mati aja lo! Mati!"
-tbc-
-Gimana? Ada yang kesel sama Garin, nggak?-
-Atau ada yang berharap Garin dan Reya cepat cerai? 😂😂😂-
KAMU SEDANG MEMBACA
Perfect Two✔
Любовные романыReya membanting pintu apartemennya, lalu keluar dari sana. Kenyataan bahwa Garin meninggalkan dirinya memang tidak bisa dielakkan. Laki-laki seperti Garin memang pantas Reya benci. Reya menyentuh bibirnya. Ingin rasanya ia menangis sekarang, merasak...