12-Pacar?

5.7K 272 44
                                    

"Bilang sama gue, mana yang sakit?"

Reya menggeleng. Ia lebih khawatir melihat keadaan Garin. Perlahan, Reya bangkit dan membantu Garin berdiri. Rasa bersalah timbul dalam dirinya.

"Lo beneran gak apa-apa?" tanya Garin Lagi.

Reya kembali menggeleng. Meski ada sedikit rasa sakit di punggungnya, namun Reya yakin yang lebih merasa tidak baik-baik saja adalah Garin. Garin adalah korban di sini.

"Maaf," ucap Reya. Ia menggigit bibir bawahnya. Secara perlahan, tangannya terulur menyentuh sudut bibir Garin yang terluka akibat menciumi anak tangga.

"Hari ini gak usah sekolah, lagian kita udah telat banget." Reya menghela napas berat. Setelahnya, ia menarik lengan kanan Garin untuk kembali menaiki tangga.

Garin memekik, tangan kirinya melepas genggaman tangan Reya di lengan kanannya. "Lengan gue sakit," ucapnya. Terlihat jelas bahwa laki-laki itu sedang menahan sakit.

"Mau ke rumah sakit?" tanya Reya. Ia tidak tahu harus berbuat apa. Mengobati orang sakit bukanlah kemampuannya.

Garin menghembuskan napas lemah, lalu menggeleng. Untuk saat ini, Garin tidak sanggup menuruni anak tangga untuk sampai ke lantai satu. Ia tidak yakin jika ia tidak akan patah tulang karena kecerobohan istrinya.

"Ya udah, kalau gitu kita kembali ke atas!" Reya menaiki tangga lebih dulu. Setelah sampai di anak tangga yang kelima, ia kembali menoleh lantaran tidak mendengar suara apapun dari Garin untuk mengikutinya.

"Kenapa masih diam di situ?" tanya Reya disertai dengan kerutan di dahi. Garin masih diam di tempatnya, wajahnya meringis seperti sedang menahan sakit.

"Bantu gue! Kaki gue sakit," ungkap Garin.

Reya memicing curiga. Garin tidak sedang pura-pura 'kan?

"Lo gak lagi bohong 'kan?" tuduh Reya seraya melipat kedua tangannya di depan dada. Matanya meneliti raut wajah Garin.

"Setelah lo buat gue kayak gini, lo masih bisa nuduh gue bohong?" kesal Garin. Seluruh tubuhnya terasa sakit sekarang. Ia perkirakan salah satu tulangnya pasti sudah ada yang berpindah tempat akibat kejadian tadi.

Reya menggaruk lehernya yang tidak gatal. Rasa bersalah kembali timbul.

"Iya, maaf."

Reya kembali menuruni tangga menghampiri Garin. Tangannya terulur merangkul pinggang Garin dari samping kiri, mengingat bahwa tangan kanan Garin sedang sakit dan mungkin saja sedang mengalami pergeseran tulang.

"Pelan-pelan!" tegur Garin yang menyadari Reya menaiki tangga terlalu cepat. Sulit baginya untuk mengimbangi langkah gadis itu.

"Iya." Reya menurut, enggan berdebat.

Setelah kembali memasuki apartemennya, Reya membawa Garin duduk di atas sofa. Buru-buru ia masuk ke dalam kamar mencari perlengkapan obat dan minyak urut. Menyembuhkan dan mengobati Garin adalah hal yang tepat, ia tidak mau merawat Garin jika lelaki itu sakit karena pasti akan ada bumbu-bumbu lain yang akan ditaburi Garin. Lelaki itu akan berbuat semaunya kepada Reya. Dan Reya tidak mau hal itu terjadi.

"Jangan kasar, Reya!" Garin berucap kesal lantaran gadis di depannya menekan kuat bibirnya dengan kapas. Bahkan, Reya tidak tanggung-tanggung untuk melumuri kapas itu dengan alkohol.

"Supaya cepat sembuh," balas Reya dengan santainya.

Garin mengamati wajah Reya, sebuah senyuman terbit di bibirnya. Ia akan membalas gadis di depannya ini. Tentunya, pembalasan yang selalu membuat seorang Garin senang.

"Urutin lengan gue!" pintah Garin. Ia duduk merapat di samping Reya sambil memberikan lengan kanannya yang terdapat lebamam biru dan sedikit membengkak.

Reya terkejut melihat lengan laki-laki itu. Perasaan yang entah apa datang begitu saja. Jantungnya berdetak tak menentu.

"Kita ke dokter! Gue gak bisa ngurutin lengan lo." Reya hendak bangkit, namun Garin terlebih dahulu berhasil menahan lengannya.

"Gue gak mau ke dokter. Cukup lo aja," ungkap Garin.

Reya berdecak. Di saat seperti ini, Garin masih bisa mengatakan hal yang tidak bermanfaat. "Kalo gue yang ngurutin yang ada malah tambah parah," kesalnya. Reya menatap Garin kesal. "Biar gue telepon Mama."

Garin kembali menahan lengan Reya ketika gadis itu ingin berdiri lagi. "Gue cuma butuh lo. Jangan bilang apa-apa ke Mama! Lagian, Mama mana mau naik turun tangga dari lantai satu ke sepuluh. Lo mau buat Mama sesak napas? Mama udah tua, jangan buatkan Mama beban untuk naik tangga ke sini," ucap Garin panjang lebar yang menurut Reya terkesan lebay.

"Satu lagi, gue juga gak mau ke dokter atau kemana pun itu. Gue cuma mau di sini dan itu sama lo. Jangan siksa gue yang udah sakit jadi tambah sakit karena harus turun tangga," ucap Garin lagi. Reya langsung terdiam mendengarnya.

Reya mencerna semua perkataan Garin dan memang ada benarnya. Reya juga tidak yakin jika Garin akan sampai di lantai satu dalam keadaan bernapas. Bisa saja 'kan, Garin kehilangan nyawa ketika sampai. Berjalan saja susah, apalagi jika harus disuruh menuruni tangga.

"Tapi gue gak tanggung jawab kalau sampai lengan lo membusuk," ucap Reya seraya mengaplikasikan minyak urut ke lengan Garin.

Garin tertawa kecil. "Iya, sayangku, Reya."

Setelahnya, Garin meletakkan kepalanya di atas bahu Reya. Matanya bermain mengamati wajah istrinya dari samping dengan jarak yang sangat dekat. Senyum Garin terukir begitu saja, timbul niat untuk segera mengecup pipi istrinya.

"Jangan mesum!" seru Reya ketika bibir Garin nyaris saja menyentuh pipinya.

Garin tersenyum lebar, ia tidak mengindahkan larangan Reya, namun justru menekankan bibirnya lama di pipi istrinya.

"Tapi, lo suka 'kan gue mesumin?" goda Garin begitu menarik wajahnya menjauh dari pipi Reya.

Reya berdecih. "Jangan mimpi!"

"Kalau suka bilang, jangan dipendam!" balas Garin tak mau kalah.

Reya memutar wajahnya menghadap Garin, "Suka sama lo?" Reya tersenyum sinis. "Kayak gak ada cowok yang lain aja."

"Cowok lain memang banyak, tapi cowok lain itu gak ada yang suka sama lo." Entah kenapa kalimat itu keluar begitu saja dari mulut Garin.

Reya menatap Garin tajam. Ingin sekali ia memberi cabai kepada mulut kurang ajar itu.

"Mana ada cowok yang suka sama lo! Udah jelek, dekil, kurus. Apa coba yang mau ditaksir dari lo? Depan belakang sama-sama rata. Gak ada yang menarik," ucap Garin tersenyum mengejek. Ia meneliti tubuh Reya dari atas sampai bawah seakan memberi penilaian, setelahnya ia tersenyum mengejek. Lagi.

Lalu, bagaimana tanggapan Reya setelah mendapat penghinaan seperti itu?

Jangan ditanya. Emosinya sudah sampai di puncak. Wajahnya merah padam menahan amarah. Ia sungguh sangat menyesal telah mengkhawatirkan suami terlaknatnya itu. Gadis mana yang tidak sakit hati ketika direndahkan seperti itu?

"Gue bakal buktiin, kalau gue gak seperti yang lo bilang!" desis Reya, tajam. Giginya beradu menahan emosi.

"Lo liat aja, gue akan dapat pacar dalam waktu dekat ini!" Reya menarik napas dan kembali menghembuskannya. Kebenciannya bertambah untuk Garin.

"Gue Benci Lo!" ungkap Reya. Ia bangkit berdiri dan melupakan niatnya yang ingin mengurut lengan Garin. Peduli setan jika lelaki itu sakit. Reya tidak peduli.

Setelahnya, Reya masuk ke dalam kamar dengan bantingan pintu yang terdengar keras, meninggalkan Garin yang terpaku di atas sofa. Sepertinya, Garin telah salah bicara.

Namun, salahnya dimana?

"Apa? Dapat pacar dalam waktu dekat ini?"


Revisi

13 Agustus 2020


Perfect Two✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang