57-Waktunya

3.1K 176 33
                                    

Lima orang di sana duduk dalam keadaan diam sembari menatap tayangan iklan di televisi tanpa minat. Sebenarnya hanya dua orang yang diam dan tiga orang lainnya sibuk berbisik-bisik sembari saling sikut-menyikut.

"Kita ganggu gak sih?" bisik Fahri kepada dua orang di sampingnya.

"Iya, ganggu!" Ryan menjawab datar.

"Kita gak ganggu. Kita malah menyelamatkan. Lo berdua tau gak sih kalau dua orang berbeda jenis ada di ruangan yang sama pasti orang ketiganya adalah setan," bisik Nino, menjelaskan.

"Iya, bener. Dan lo setannya, No!" Fahri yang saat ini mengenakan kemeja hitam, mengangkat sedikit kerah kemejanya hingga dapat menutupi separuh wajahnya. Kentara sekali jika laki-laki itu sedang berbisik.

"Sembarangan aja kalau ngomong. Gue ini malaikat tanpa sayap."

"Kalian bertiga pada bisikin apa, sih?" tanya Garin menatap malas ke arah tiga temannya yang bertingkah aneh.

Fahri dan Nino sontak menyengir, sementara Ryan tetap memasang wajah datar.

"Oh, ini Gar, kita lagi ngomongin iklan." Nino menunjuk iklan di televisi. "Gue cuma penasaran, itu yang si model iklan bukannya dulu ngiklanin shampoo merek kuning, ya? Kok sekarang malah ngiklanin shampoo merek biru?"

"Anu kali. Mungkin shampoo merek kuning bikin ketombean makanya beralih ke biru," seru Fahri.

"Namanya juga kontraknya sudah habis di kuning, ya wajar kalo pindah kontrak ke biru." Jawab Ryan masuk akal. Tentu, jawaban orang waras lebih masuk akal.

Reya dan Garin menatap ketiganya aneh. Tumben sekali mereka mempertanyakan perihal iklan? Dan tumben sekali mereka kompak?

"Eh, kalau gue pikir-pikir kok gue bisa ada di sini, ya?" tanya Nino menatap Ryan dan Fahri bergantian. Laki-laki itu mengedipkan matanya berkali-kali. "Lo berdua kok bawa gue ke sini, kan kita mau cari whiskes."

Fahri mendengus. Ingin rasanya menggemplak kepala Nino sekarang juga. "Gak usah drama! Jelas-jelas lo yang jemput gue sama Ryan ke rumah buat ngajakin jenguk Garin."

Laki-laki itu menatap Nino sinis.

"He-he-he. Kita pulang, yuk. Iklannya sudah habis." Nino memberikan cengirannya kepada empat orang di sana.

"Apa hubungannya sama iklan, bangsat!" Fahri melempar Nino bantal sofa.

"Lo belum tau kebiasaan gue, ya? Gue lebih suka nontonin iklan daripada FTV-nya. Yuk, ah pulang," jelas Nino. Laki-laki itu bangkit berdiri. Menarik Fahri dan Ryan agar ikut berdiri.

"Reya, Garin, kita pulang dulu ya sekalian mau beli whiskes. Sekalian juga mau ngenalin Ryan ke penjual whiskesnya."

Kedua orang itu masih menatap ketiganya dengan tatapan aneh.

"Emang buat apa Ryan dikenalin ke penjual whiskes?" tanya Reya.

"Gak usah ngada-ngada!" Ryan menyentil pipi Nino ketika laki-laki itu hendak menjawab Reya. "Yuk, ah pulang. Gar, Rey, gue pamit!"

"Gue pamit juga!"

"Woy kok gue ditinggal."

"Dasar banyak drama! Cari whiskes sendiri sana!"

"Jahat!"

"Emang kapan gue baik sama lo?"

"Jahat! Gue telantarin lo di jalan!"

"Ribut mulu! Gak lama gue kawinin lo berdua!"

"Najisun!"

Reya hanya bisa terkekeh mendengar perdebatan yang semakin memudar di luar sana.

***

Gadis itu menghela napas untuk yang kesekian kalinya. Tatapannya fokus ke luar jendela yang memperlihatkan derasnya hujan.

Ia masih berada di apartemen, yang tentunya masih berdua dengan Garin. Akibat hujan lebat yang mengguyur, Reya yang sangat ingin pulang jadi tertunda. Mungkin ia akan lebih lama berada berdua dengan Garin karena hujan masih belum menampakkan tanda-tanda akan berhenti.

"Betah banget ngelihatin hujan," seru Garin yang kini sudah berada di samping Reya.

"Aku mau pulang," kata Reya, terdengar sedikit merengek di telinga Garin.

"Masih hujan." Garin mengulurkan tangannya, mengusap pelan puncak kepala Reya. "Nino juga belum datang, kamu tega ninggalin aku."

Reya menatap Garin. Nino telah berjanji akan datang menginap untuk menemani Garin. Setelah membeli makanan Kucing dan memberi makan hewan berbulu itu, laki-laki itu akan kembali. Namun, sampai sekarang Nino belum juga muncul.

Garin menatap wajah Reya dari samping dengan senyum geli. Gadis itu sama sekali tidak mau menatapnya setelah ia berhasil menciumnya dengan sangat lama.

"Mau nginap aja?" tanya Garin enteng yang langsung membuat Reya menoleh dengan tatapan sinis.

"Aku mau pulang!" ketus Reya, lalu berdecak setelah kembali melihat ke luar jendela.

Garin terkekeh. Laki-laki itu berpindah posisi menjadi berdiri di depan Reya, menghalangi tatapan gadis itu yang ingin memandang ke luar jendela.

"Kamu gak suka di sini?" tanya Garin, ia menatap Reya lembut.

"Iya."

"Beneran?"

Reya menunduk. "Ayah pasti gak suka kalau aku di sini."

Garin memegang kedua bahu Reya dan meremasnya pelan. "Sini, aku peluk!"

Reya mengangkat wajahnya, menatap Garin dengan kening mengkerut. "Peluk? Supaya apa?"

Garin tertawa kecil. "Supaya kamu gak takut lagi."

"Memang bisa begitu?"

"Bisa. Makanya dicoba dulu. Ayo, sini!

"Nggak ah. Bilang aja modus!" Reya melangkah mundur menjauh dari Garin.

"Gak boleh suudzon, sayang."

"Kamu kan memang begitu."

"Modusnya kan ke kamu aja."

"Aku mau pulang!"

Garin meraih pergelangan tangan Reya dan menariknya ke dalam pelukannya. "Masih hujan."

"Aku mau naik taksi."

"Tapi, aku gak kasih izin. Nginap aja."

Reya akhirnya diam. Bukan berarti ia mau saja menerima permintaan Garin untuk menginap, namun ia sedang berdoa di dalam hati semoga hujan segera reda dan makhluk bernama Nino cepat datang. Reya tidak sanggup terus berada di dekat Garin dalam keadaan status yang diambang kebimbangan.

"Aku minta maaf," ucap Garin pelan. Ia menempatkan dagunya di atas kepala Reya dengan kedua tangannya melingkar di tubuh gadis itu.

"Aku gak akan maksa kamu lagi untuk kembali sama aku." Garin mempererat pelukannya, sementara Reya memejamkan mata dan menyandarkan kepalanya di dada Garin.

"Itu hak kamu kalau memang kamu gak mau kembali ke aku." Garin melepas pelukannya di tubuh Reya.

Keduanya saling menatap.

Reya tahu, sekarang adalah waktunya ia memilih.

"Biar aku antar pulang," ucap Garin akhirnya. Ia berlalu dari hadapan Reya.

Perfect Two✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang