Sudah dua hari ini Garin tidak datang untuk merecoki kehidupan Reya. Entah senang atau sedih, namun gadis itu merasa lebih lega.
Beberapa hari yang lalu, ia baru saja memutuskan untuk berbicara baik-baik kepada Garin. Jika laki-laki itu tidak bisa ditolak secara kasar, maka Reya harus menolaknya secara halus.
Pilihan dengan menolak secara halus rupanya berhasil. Laki-laki itu tidak datang lagi menampakkan dirinya.
"Kamu nggak bosan setiap hari temuin aku?" tanya Reya sewaktu mendapati Garin di luar pagar yang duduk di atas motornya. Gadis itu baru saja kembali dari membeli beberapa tusuk sate yang tidak jauh dari rumahnya.
Garin tersenyum santai. "Aku gak akan bosan, Rey."
"Tapi aku bosan liat kamu."
"Kalau bosan, makanya terima aku lagi."
"Aku gak bisa." Reya menghela napas sebelum kembali melanjutkan. "Maaf, tapi aku benar-benar gak bisa kembali sama kamu lagi. Jalan kita masih panjang, Gar. Aku dan kamu masih sama-sama labil. Sama-sama belum bisa mengambil keputusan sepenuhnya dan kita juga belum bisa membangun rumah tangga. Menurut aku, kita masih terlalu muda. Ujian pertama di dalam rumah tangga aja kamu gak lulus, gimana ke depannya? Maaf, untuk kali ini aku benar-benar gak bisa. Maaf."
Reya mengalihkan tatapannya dari Garin ketika kedua matanya memanas. Berada lama di depan laki-laki itu menjadi kelemahannya untuk sekarang ini.
"Jadi, aku sudah gak punya kesempatan lagi?" Garin bertanya tidak yakin.
Reya menggangguk tanpa menatap Garin. "Kamu sendiri yang selalu menyia-nyiakan kesempatan."
"Rey, gak ada yang bisa aku lakuin supaya kamu bisa kembali ke aku lagi?" Suara Garin terdengar frustasi, namun Reya tetap pada pendiriannya.
"Gak ada yang perlu kamu lakuin. Cukup sampai di sini aj, Gar. Aku gak mau kamu lakuin hal sia-sia." Tidak mau berlama-lama, Reya segera mengambil langkah cepat untuk segera masuk ke dalam rumahnya.
"Tapi, aku akan terus berbuat yang kamu anggap sia-sia itu, Reya."
Setelah mengucapkan itu, malam harinya Garin memang datang lagi. Seperti biasa ia hanya duduk di atas motornya dalam diam sembari memandang ke arah ke kamar Reya.
Gadis itu pun sama. Saat ia tahu bahwa setiap malam Garin selalu datang, gadis itu selalu menunggu laki-laki itu dengan duduk menghadap jendela agar lebih leluasa menatap Garin di bawah sana.
Terkadang Reya bisa tersenyum secara bebas dan gemas secara bersamaan ketika melihat tindakan konyol Garin saat turun hujan. Laki-laki itu selalu memiliki berbagai cara agar setiap malam bisa datang ke rumah Reya meskipun sedang hujan deras.
Seperti waktu itu, Reya melihat sendiri, Nino datang membawa payung pesanan Garin. Akhirnya, laki-laki itu duduk di atas motor dengan santai di bawah payung kecil yang tidak bisa menjamin tubuhnya untuk tetap kering. Entah Nino yang salah membeli payung atau apa, namun payung itu jelas lebih diperuntukkan untuk anak kecil bukan untuk laki-laki seusia Garin. Melihat itu, Reya hanya bisa memaki kebodohan Garin dalam hati. Gadis itu hanya khawatir kalau-kalau Garin bisa jatuh sakit karena hujan, ditambah lagi hari yang sudah mulai larut malam.
Laki-laki itu memang tidak menyerah. Selalu datang di setiap harinya. Pulang hanya sebentar untuk berganti pakaian dan malam harinya ia kembali datang untuk menemui Reya, meskipun ia harus menelan rasa kecewa karena Reya sama sekali tidak mau keluar rumah untuk menemuinya.
Akan tetapi, tanpa Garin tahu. Reya selalu menyambut kedatangannya di balik jendela, menatap laki-laki itu sepuasanya. Ia akan beranjak dan selesai menatap Garin jika laki-laki itu sudah tidak berada di sana.
KAMU SEDANG MEMBACA
Perfect Two✔
RomanceReya membanting pintu apartemennya, lalu keluar dari sana. Kenyataan bahwa Garin meninggalkan dirinya memang tidak bisa dielakkan. Laki-laki seperti Garin memang pantas Reya benci. Reya menyentuh bibirnya. Ingin rasanya ia menangis sekarang, merasak...