Sudah pukul lima sore dan Reya masih berada di rumahnya, lebih tepatnya di rumah kedua orangtuanya. Ia berencana akan menginap semalam di rumahnya, melepas rindu terhadap kamar yang sudah beberapa minggu ia tinggalkan.
Reya juga sudah meminta izin kepada mertuanya. Beruntungnya, mertuanya mengizinkan, toh, hanya semalam. Masalah Garin, Reya belum meminta izin kepada suaminya itu. Bukannya belum, hanya saja Reya sedang malas berbicara dengan mahkluk mesum tingkat tinggi itu, lagipula mertuanya sudah tahu. Jadi, otomatis, Garin juga pasti sudah mengetahuinya.
"Sudah izin sama suami kamu?"
Reya menoleh ke arah Bundanya yang sedang menuang jus mangga ke dalam gelas tinggi yang merupakan gelas favorite-nya.
"Sudah, tapi izinnya ke Mama Gina," jawab Reya seadanya.
Bundanya menggeleng tidak setuju. "Sayang, Bunda belum pernah bilang ke kamu, ya? Mau kamu melakukan apapun, kemanapun itu, kamu harus izin dulu ke suami. Sekarang, kamu bukan tanggungjawab Bunda sama Ayah lagi. Kamu sudah jadi tanggungjawab suami kamu."
Wanita paruh baya itu meletakkan segelas Jus di atas meja, lalu duduk tepat di depan putrinya. "Apapun yang suami kamu katakan, kamu harus nurut. Jika ia melarang, maka jangan kamu lakukan. Menolak dan menentang suami itu dosa, loh."
Reya menghela napas mendengar setiap penuturan Bundanya. Sebenarnya, Garin sudah memberikan pelet apa ke Bundanya sampai memihaknya seperti itu. Dukun apa yang memberikan pelet manjur kepada Garin? Berbagai pikiran ngawur sudah mendarat sempurna di otaknya.
"Greya, kamu dengar Bunda 'kan?" tanya Bundanya sambil menatap lekat anak gadisnya.
Yang ditanya langsung mengerucutkan bibirnya. Jika Bundanya sudah menyebut namanya dengan embel-embel 'G' pasti bundanya itu sedang serius dan tidak ingin dianggap main-main. Lagipula, siapa juga yang menanggapinya main-main.
"Greya."
"Reya dengar, Bunda. Nanti Reya pasti izin, kok, ke suami. Kalo sekarang, ponsel Reya masih di-charger," ucap Reya akhirnya.
"Jangan tunggu malam baru izin! Kasian Garin, nanti khawatir." Setelah mengucapkan itu, kemudian Bundanya beranjak meninggalkan Reya yang menikmati jusnya seorang diri.
Khawatir? Reya merasa lucu dengan kalimat bundanya yang terselip kata 'khawatir' itu. Seorang Garin khawatir. Masa, iya?
***
Tepat pukul tujuh malam, Farhan datang bersama dengan Arga, anak kelas sepuluh yang dibimbing oleh Farhan sendiri.
Reya sendiri sudah mengetahui kedatangan Farhan yang ingin bertanya tentang soal-soal yang ia sendiri lupa bagaimana cara pengerjaannya. Rasanya, mustahil sekali jika seorang Farhan sampai lupa dengan hal itu. Secara, otaknya jenius sekali, rumus-rumus yang tidak tahu asal-usulnya sudah melekat apik luar dalam di otaknya. Bahkan, terkadang Farhan sering membuat rumus baru dalam mengerjakan berbagai soal Matematika dan Fisika. Hebatnya lagi semua jawaban yang menggunakan rumusnya sendiri itu benar, tidak satu pun ada yang salah.
Reya sendiri sampai geleng-geleng dibuatnya. Rasanya tidak etis sekali jika Farhan bertanya mengenai cara pengerjaan soal-soal kepadanya. Memang, sih, Reya dikenal menguasai pelajaran yang dipenuhi rumus-rumus dan hitung berhitung, namun tetap saja ia kalah jauh dari Farhan.
"Jadi, mulai dari mana, nih?" tanya Reya yang sudah duduk di depan keduanya dengan beberapa buku paket dan alat tulis di atas meja.
"Ini, Kak, gue gak ngerti soal di bagian ini. Dari tadi nyari gak ketemu juga sama jawabannya." Arga menyodorkan bukunya dan menunjukkan salah satu soal yang tidak dimengertinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Perfect Two✔
RomantikReya membanting pintu apartemennya, lalu keluar dari sana. Kenyataan bahwa Garin meninggalkan dirinya memang tidak bisa dielakkan. Laki-laki seperti Garin memang pantas Reya benci. Reya menyentuh bibirnya. Ingin rasanya ia menangis sekarang, merasak...