Happy Reading!😊
°•°•°•°Sudah pukul sebelas malam, tetapi Reya masih bergerak-gerak gelisah di atas tempat tidur. Kekalutan tidak bisa membuatnya memejamkan mata. Ini ketiga kalinya, Reya ditinggal sendiri di dalam apartemen. Ia tidak bisa tenang, pikirannya selalu berkecamuk.
Beberapa jam lalu, Reya baru saja kembali dari rumah mertuanya. Di sana ia menguak kebohongan Garin. Lelaki itu tidak pernah mengantar mama Gina ke Bandara karena mama Gina tidak jadi berangkat. Kebohongan lain yang Reya ketahui adalah Garin tidak pernah menginap di rumah kedua orangtuanya. Selama dua hari ini, lelaki itu juga tidak pernah ada menginjakkan kaki di rumah kedua orangtuanya.
Ia selalu berusaha menghalau pikiran negatif yang sempat singgah dalam kepalanya. Ia percaya Garin. Lelaki itu tidak mungkin berbuat macam-macam. Garin sudah berjanji dan pasti lelaki itu menepatinya. Pasti.
Namun, rasa kecewa terhadap Garin tidak bisa dirinya abaikan. Siapapun pasti tidak akan suka dibohongi, termasuk Reya.
Reya kecewa. Sangat. Dadanya selalu bergemuruh tak tentu, ada debaran yang terasa sangat menyakitkan saat tahu lelaki yang dipercayai membohonginya. Ia tidak tahu, ada apa dengan Garin. Mengapa lelaki itu membohonginya? Dan mengapa lelaki itu tidak bisa dihubungi sampai sekarang. Reya tidak tahu. Ia juga tidak punya salah apa pun terhadap laki-laki itu.
Satu yang selama ini Reya takutkan. Ia takut, Garin pergi meninggalkannya.
Reya bangkit keluar kamar, berjalan gontai menuju dapur. Airmata yang sejak tadi ditahannya, akhirnya berangsur-angsur keluar. Gadis itu tidak bisa menahannya lagi. Ia duduk kursi meja makan, menutupi wajah dengan kedua telapak tangannya. Malam ini, ia menangis tergugu seorang diri, melawan rasa takut yang hanya suatu perkiraan dan belum tentu terjadi.
"Jangan nangis."
Reya menangis sesegukan. Di saat seperti ini, mengapa ia masih bisa berhalusinasi dengan mendengar suara Garin menyuruhnya untuk jangan menangis. Begitu besar kah pengaruh lelaki itu?
"Sayang, sudah. Jangan nangis."
Reya menggeleng pelan di tengah isakan pelan yang keluar dari bibirnya. Di saat-saat menyakitkan seperti ini ia masih mendengar suara Garin memanggilnya dengan sebutan sayang.
Reya tidak bisa menghentikan tangisnya, kedua telapak tangannya sudah basah oleh airmatanya sendiri. Ia hanya ingin menangis, berharap akan tenang setelahnya.
"Reya, kamu jelek kalau lagi nangis. Jangan nangis lagi, ya."
Reya bisa merasakan ada sesuatu yang membelai rambutnya dengan pelan, detik berikutnya ia kembali merasakan didekap seseorang dengan erat.
"Kenapa nangis?"
Reya tersentak kaget begitu kedua tangannya ditarik paksa dari wajahnya. Ia menengadah, menatap wajah lelaki yang mendekapnya kini dengan tatapan nanar. Ternyata ia sedang tidak berhalusinasi. Garin nyata ada di sini, mendekapnya erat.
"Ga....rin?" ucap Reya dengan suara parau. Isakan kecil masih keluar dari bibir tipisnya.
"Aku gak suka lihat kamu nangis."
Garin mendorong pelan kedua bahu Reya, kedua tangannya terangkat menghapus sisa-sisa airmata di wajah gadisnya.
"Kamu ke mana aja? Ke...napa kamu bohong? Kata Mama kamu gak pernah nginap di ru...mah, jadi kamu tidur di mana?" Reya menatap lelaki di depannya lekat. Ia tidak bisa menahan untuk tidak bertanya.
"Maafin aku," ucap Garin penuh sesal, ia kembali menarik Reya ke dalam dekapannya.
Namun, gadis itu meronta pelan minta di lepaskan. Reya mendorong dada Garin kuat.
![](https://img.wattpad.com/cover/135936058-288-k297476.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Perfect Two✔
RomanceReya membanting pintu apartemennya, lalu keluar dari sana. Kenyataan bahwa Garin meninggalkan dirinya memang tidak bisa dielakkan. Laki-laki seperti Garin memang pantas Reya benci. Reya menyentuh bibirnya. Ingin rasanya ia menangis sekarang, merasak...