Entah apa yang ada di pikiran Garin hingga ia sampai di kediaman Reya dalam keadaan tidak wajar. Banyak goresan luka di tubuh bagian kanan. Dan itu semua terlihat cukup memprihatikan.
Garin meringis merasakan perih di bagian siku, tangan, dan lutut. Itu semua adalah hasil dari acara kebut-kebutannya mengendarai motor. Kurang fokus dan pikiran merantau ke mana-mana membuatnya harus mencicipi bagaimana rasanya bergelinding di atas aspal. Beruntung sekali tidak memakan korban jiwa.
Garin menghela napas pelan. Setelah kecelakaan, ia langsung tancap gas, tidak peduli dengan kondisi tubuhnya yang meraung-raung minta diobati.
Naas-nya. Ia yang mau menemui orang sakit, malah ia yang datang dengan keadaan sakit.
"Ya Allah Garin! Kamu dapat luka-luka itu di mana?" suara pekikan Ana memenuhi setiap sudut rumah. Mertuanya itu menutup mulutnya dengan raut terkejut begitu melihat menantunya datang menuju tangga ke lantai dua.
"Reya gimana keadaannya, Bun?" tanya Garin to the point, mengabaikan pekikan mertuanya yang terkejut.
Ana menggeleng, ia maju mendekati Garin. "Ini pasti sakit banget," tunjuk wanita itu pada tangan Garin yang kulitnya terkelupas.
"Gak apa-apa, cuma perih aja. Lebih perih pas tau Reya sakit, tapi aku gak tau apa-apa," ucap Garin sambil menatap Ana yang masih memasang wajah terkejut.
Garin merasa bersalah. Reya sakit, ia malah sempat pergi ke acara ulang tahun Ochi bersama ketiga temannya.
"Kamu duduk dulu! Bunda ambilkan ob-"
"Gak perlu, Bun. Aku langsung naik ke atas aja," sela Garin, lalu langsung menapaki tangga secepat yang bisa dilakukan oleh orang yang baru saja mengalami kecelakaan.
"Garin, lukamu diobati dulu!"
"Iya Bunda, nanti. Kalo aku udah lihat Reya."
Setelah membalas ucapan Bunda Ana, Garin membuka pintu kamar Reya yang tidak terkunci. Pemandangan yang pertama kali ia lihat adalah seorang gadis yang kini terbaring di atas ranjang. Garin melangkah hati-hati mendekati Reya, berusaha untuk tidak menimbulkan suara. Setelah sampai, ia duduk di tepi ranjang memperhatikan gadisnya yang memejamkan mata dengan napas teratur.
Wajah Reya yang pucat membuat Garin menghela napas panjang. Sejak kemaren, ia sudah berpikiran yang tidak-tidak mengenai gadis itu. Ia lebih mementingkan ego dan membenarkan semua yang ada di pikirannya hingga tidak tahu kebenarannya.
Garin memejamkan mata sekilas, menyesali perbuatannya. "Maafin aku," ucapnya sambil membawa tangan Reya ke atas pangkuannya, lalu menggenggamnya lembut.
"Masih hangat banget." Garin bergumam kala telapak tangannya menyatu dengan telapak tangan istrinya.
Garin maju mendekat, membelai pelan pipi Reya dengan tangannya yang lain.
"Kenapa gak bilang kalau sakit?"
Garin kembali menghela napas pelan sambil terus menatap Reya yang sama sekali tidak terganggu akibat perbuatannya. "Maaf, aku gak tau. Kamu sakit, tapi aku malah ninggalin kamu."
Garin kembali bergerak, ia membungkuk. Menurunkan kepalanya, lalu mengecup lama kening gadis itu. Kening yang terasa hangat menempel di bibirnya.
"Ga...rin?"
Lelaki itu memberikan sedikit jarak saat mendengar suara lirih dan parau gadis di bawahnya. Garin mensejajarkan wajahnya dengan jarak yang terpaut minim. Sepasang mata keduanya saling menatap dalam diam. Garin tersenyum, memberikan senyum ketenangan untuk sang istri.
"Gimana? Udah baikan?" tanya Garin, masih mempertahankan posisi wajah yang sama.
Reya mengangguk samar. "Aku gak apa-apa."
KAMU SEDANG MEMBACA
Perfect Two✔
RomansaReya membanting pintu apartemennya, lalu keluar dari sana. Kenyataan bahwa Garin meninggalkan dirinya memang tidak bisa dielakkan. Laki-laki seperti Garin memang pantas Reya benci. Reya menyentuh bibirnya. Ingin rasanya ia menangis sekarang, merasak...