"Cintaku memang tak seindah drama Korea, tak sepanjang drama India, tak sependek FTP Indonesia, dan tak besar-besar seperti Kartun Malaysia. Tapi, aku akan membuatmu merasa tentram dengan caraku sendiri."
Nino melancarkan aksi rayuannya, ia berlutut dengan kedua tangan yang terlipat di atas meja, dan dagunya ia tumpukan di atas sana. Nino memberikan senyum termanisnya. Namun, Vina yang duduk sambil menopang dagu itu hanya menatapnya jengah.
"Tentram-tentram! Lo pikir Gunung Kidul yang bisa bikin tentram? Jauh-jauh lo dari cewek gue! Katanya mau nikung pake doa, tapi malah nikung di depan gua." Fahri menarik kerah belakang seragam Nino hingga temannya itu berdiri dengan terpaksa.
Nino bersungut-sungut kesal. Mulutnya bergerak-gerak tanda protes. Orang lagi berusaha, Fahri malah datang mengacaukan. Maunya apa, sih? Mau diceburin di Pelabuhan Sidney?
"Doa harus disertai ikhtiar, Ri. Doanya udah, nah, sekarang gue lagi ikhtiar. Ganggu aja lo!" jelas Nino sambil melirik Vina dengan senyum mautnya.
"Percuma! Vina gak bakal suka sama lo!" ucap Fahri tepat sasaran.
Nino berdecak. Ia menatap Fahri menantang. "Tunggu aja!"
"Tunggu apa?"
"Tunggu aja author-nya berbaik hati buat Vina jadi suka sama gue!
Fahri mendengkus. "Sampe Jaka Tingkir saudaraan sama Sun Go Kong juga, cewek gue gak bakal suka sama lo!"
Nino mencak-mencak. Apa coba hubungannya Jaka Tingkir dengan Sun Go Kong? Si Fahri sudah jadi muridnya Biksu Tong kali, ya? Pikiran Nino mulai ngawur. Kenapa tidak sekalian saja Pat Kai atau Wujing disertakan?
"Jangan salah, gini-gini banyak yang suka sama gue. Gak kayak lo!" cerca Nino.
"Masak? Mana buktinya?"
"Tanya, noh, sama pembaca perfect Two! Mereka lebih suka sama gue, ketimbang si pemeran utama," kata Nino sambil tersenyum bangga.
"Gak usah ngadi-ngadi lo, No!"
"Gue gak ngadi! Pembaca Perfect Two bisa buat lo lari terbirit-birit."
"Gila lo, No. Terbuat dari apa sih otak lo? Kok ngomong gak pernah bener?"
"Tanya, noh, sama author! Lo aja bingung, apalagi daku yang tak tahu apa-apa. Mau gak mau gue harus mau diciptakan dengan karakter yang kayak gini. Daripada Ryan diciptakan cuma untuk jadi sadboy, kan mending gue kemana-mana."
"Dosa apa gue sampai punya temen kayak lo, No. Dosa gak, sih, kalo gue biarin lo gini terus?" tanya Fahri sambil mengusap dadanya. Prihatin memang punya teman seperti Nino. Lebih prihatin lagi, mengapa ada saja yang mau berteman dengannya, dirinya sendiri misalnya.
"Bukan gitu, Ri. Harusnya lo bilang gini, kebaikan apa yang gue buat sampai punya teman kayak lo, No? Gitu." Nino tersenyum lebar juga memberikan ciuman jarak jauh untuk Fahri.
Fahri bergidik. "Ora sudi!!!"
Tawa Nino meledak. Tiba-tiba ia bergumam, "Kira-kira dulu emak gue ngidam apa, ya, sampai gue lahir setamvan dan secomel ini? Nanti pas pulang, mau tanya, ah."
Fahri geleng-geleng. Semoga Nino cepat-cepat menjemput hidayah. Doanya dalam hati.
"Eh, Reya syantik udah sembuh?" Nino menghampiri Reya dengan wajah berseri-seri. Ia memasang senyum selebar mungkin. "Makin hari, makin cantik aja. Sama kayak gue, makin hari, makin comel dan makin-"
"GILA," teriak Garin dan Fahri kompak, memotong kalimat Nino.
Bukannya tersinggung, Nino malah tersenyum ramah. "Eh, ada Mas Garin. Kok baru kelihatan, Mas. Dua hari yang lalu ke mana, Mas? Aduh, itu tangannya kenapa diperban, Mas? Habis konser akrobat di mana? Kok datang-datang bawa perubahan, Mas?" tanya Nino beruntun, mengikuti suara centil perempuan yang ada di instagram semalam ia tonton. Tangannya menoel-noel manja tangan Garin yang sedikit diperban.
KAMU SEDANG MEMBACA
Perfect Two✔
RomanceReya membanting pintu apartemennya, lalu keluar dari sana. Kenyataan bahwa Garin meninggalkan dirinya memang tidak bisa dielakkan. Laki-laki seperti Garin memang pantas Reya benci. Reya menyentuh bibirnya. Ingin rasanya ia menangis sekarang, merasak...