Berkat sindiran dan berbagai kata pengusiran yang dilontarkan Garin, akhirnya Farhan dan Arga pamit pulang. Ia sungguh tidak suka jika kedua laki-laki itu berada di sekitaran Reya. Apalagi beberapa menit yang lalu, Reya malah asyik mengajari Arga dan menganggap Garin tidak kasat mata. Ingin rasanya Garin membunuh seseorang saat ini juga. Tentunya yang menjadi incarannya adalah kedua laki-laki yang sekarang telah lenyap dari matanya.
"Kita pulang! Gue udah izin ke bunda!" ucap Garin tajam. Tangannya yang bebas langsung menarik pergelangan tangan Reya menuju pintu utama.
Gadis itu langsung menepisnya. Banyak hal yang tidak disukainya dari Garin, termasuk ketika laki-laki itu berbuat seenaknya, tidak peduli jika Reya mau atau tidak dan suka atau tidak.
"Gak. Gue udah izin ke Mama kalau gue nginap di sini. Kalau mau pulang, lo bisa pulang sendiri. Pintu keluar ada di sana, lewat pintu belakang juga bisa." Reya menunjuk pintu utama lalu menunjuk ke arah dapur.
"Terserah lo mau lewat pintu yang mana. Semuanya terbuka lebar." Reya melanjutkan dengan tatapan menantang.
"Suami lo Mama atau gue?" Garin mengetatkan rahangnya marah. Tangannya mencekram erat lengan Reya dan menarik paksa gadis itu keluar.
Reya meronta dan berusaha melepaskan cengkraman tangan Garin di tangannya, namun itu hanya sia-sia. Tenaganya tidak sebanding dengan kekuatan Banteng milik Garin.
"Gue cuma nginap semalam, apa salahnya?" Reya berteriak emosi ketika Garin memaksa tubuhnya masuk ke dalam mobil.
Garin menatap Reya sejenak, lalu tersenyum sinis. "Salahnya, lo gak ada izin sama gue!"
Reya mendengkus. "Oke! Lo mau gue izin 'kan?" Reya menatap Garin tepat di kedua manik matanya.
"Gue minta izin nginap di sini semalam. Tolong lo izinin gue," kata Reya senormal mungkin. Malas sekali rasanya jika ada apa-apa harus meminta izin Garin.
Garin tersenyum misterius. "Ter-lam-bat!" desisnya lalu kembali mendorong paksa tubuh Reya masuk ke dalam mobil.
Reya meronta sebisa mungkin. Gadis itu berusaha mendorong dada Garin ketika laki-laki itu berhasil mendudukkan Reya di kursi penumpang samping kemudi.
"Kalau gitu, gue gak peduli lo kasih izin atau nggak." Reya tetap pada pendiriannya, meski ia tahu kekuatannya tidak akan mampu mengalahkan Garin.
"Coba aja kalau bisa." Garin tersenyum mengejek. Kedua alisnya naik dan mencondongkan tubuhnya mendekati Reya. Wajah keduanya sangat dekat. Hembusan napas satu sama lain sudah mereka rasakan di wajah masing-masing.
"Lo mau apa?" Reya berusaha bergerak mundur di dalam sempitnya mobil. Wajah Garin terus saja maju mendekat, entah perbuatan mesum apa lagi yang akan dilakukannya.
Bukannya menjawab, alih-alih tersenyum misterius. Garin memeluk pinggang Reya dari depan dengan kedua tangannya ketika gadis itu nyaris saja terjungkir ke belakang.
"Gak perlu gugup, sayang." Garin menarik pinggang Reya untuk memperbaiki cara duduk gadis itu. Reya dibuat duduk bersandar olehnya. Setelah melakukan itu, Garin menatap wajah Reya. Senyum meremehkan terbit di bibirnya.
"Lo gak bisa ngapa-ngapain 'kan? Diginiin aja lo udah kalah."
Gemericik gigi Reya beradu menahan emosi. Ia mengepalkan tangannya kuat dan siap melayangkan kepalan tangan kecilnya itu di wajah laki-laki yang kini masih tersenyum meremehkannya.
"Gue benci cowok mesum kayak lo!" Reya melayangkan kepalan tangannya ke wajah Garin, namun dengan mudah laki-laki itu menangkap tangan Reya dan menurunkannya.
"Gue bisa buat rasa benci lo berubah jadi cinta ke gue. Bukannya lo pernah jatuh cinta ke gue tanpa gue suruh?" ungkap Garin, ia menaik-turunkan alisnya menggoda Reya.
"Gue?" Reya berdecih. "Jangan pernah mimpi!" ketusnya.
Garin tersenyum melihat Reya membuang muka. Dengan tingkah Reya seperti itu, sudah cukup membuktikan bahwa itu benar adanya.
"Gue memang gak pernah mimpi," ucap Garin.
Garin mendorong tubuhnya hingga setengah berbaring di kursinya. Laki-laki itu masuk sepenuhnya, lalu menutup dan mengunci semua akses yang memungkinkan Reya untuk bisa keluar dari mobil itu.
"Lo gak bisa apa-apa sekarang." Garin menajamkan matanya. Tangannya menahan tubuh Reya agar tetap setengah berbaring.
Entah apa yang ada di pikiran Garin hingga ia masuk melalui pintu mobil yang di duduki Reya, gadis itu bahkan hampir dibuat tidak bisa bernapas karenanya. Posisi keduanya begitu intim. Reya dibuat sedikit duduk bergeser olehnya dan dengan mudahnya Garin duduk merapat menghimpit tubuhnya. Jadilah keduanya duduk di satu kursi yang sama.
Reya tidak tahu lagi harus bagaimana. Mungkinkah malam ini ia akan menginap di dalam mobil? Berdua Garin? Dengan posisi yang membuat siapa pun akan mengalami kram di seluruh tubuhnya. Reya merasa kadar kemesuman Garin memang selalu naik setiap detiknya.
Apalagi sekarang Garin telah duduk menyamping setengah berbaring menghadap Reya. Ia mengamati setiap lekuk wajah istrinya dari samping baru kemudian tersenyum.
"Lo kenapa gak nurut sama gue?" tanya Garin membuka suara.
Reya menoleh. Dalam jarak yang hanya dibatasi beberapa senti tampak jelas sorotan mata dingin milik Garin.
Tangan Garin yang semula hanya diam, kini telah bergerak menarik tubuh Reya merapat hingga tidak ada jarak yang tersisa.
"Bukannya gue udah bilang, jangan pernah dekat-dekat cowok. Trus, kenapa lo malah biarin dua cowok datang nemuin lo ke rumah Bunda?"
Reya memejamkan matanya sekilas mendengar suara tajam milik Garin yang mulai meninggi tepat di depan wajahnya. Reya tidak tahu, apa yang salah jika Farhan dan Arga datang menemuinya. Lagi pula, mereka berdua hanya datang untuk belajar. Lalu, di mana letak kesalahannya?
"Jawab! Jangan diam!" ucap Garin berusaha menahan emosi. Tangannya semakin mengerat berada di pinggang Reya.
Tidak tahu kah Reya jika laki-laki yang tidak dianggapnya itu tengah menahan emosi? Emosi Garin bukannya tidak berarti, sudah sejak siang tadi ia merasa khawatir lantaran gadis yang ia tunggu tak kunjung nampak batang hidungnya, yang lebih membuat Garin gelisah dan bertambah khawatir adalah ketika ponsel gadis itu tak kunjung bisa dihubungi.
Bahkan Garin rela menunggu berjam-jam lamanya di depan gerbang sekolah hanya untuk menjemputnya. Tetapi sikap Garin yang seperti itu justru tidak dihargai dan terlebih lagi Reya sama sekali tidak memberitahukan letak keberadaanya. Jika saja bukan Gina yang memberitahu, mungkin sekarang Garin masih seperti orang setengah waras mencari keberadaan Reya.
"Kenapa?" Reya menarik kepalanya mundur agar bisa menatap wajah Garin. "Kenapa gue gak boleh dekat-dekat cowok? Apa alasannya? Lo cemburu?"
Garin terdiam. Tatapan dinginnya perlahan berubah menjadi datar. Mungkin ia memang cemburu.
"Kalo gue cemburu, gimana tanggapan lo?" bukannya menjawab, Garin malah balik bertanya.
Sekarang giliran Reya yang terdiam. Ia tidak tahu harus menanggapinya seperti apa jika memang Garin cemburu. Haruskah ia senang?
Seketika Garin tertawa pelan, lalu kemudian berkata. "Berharap banget, ya, kalau gue cemburu? Sayangnya nggak sama sekali."
Reya tercengang, sementara tawa Garin telah berganti menjadi senyum merendahkan.
"Coba lo sebutin apa yang patut gue cemburui dari cewek yang gak ada bangus-bagusnya kayak lo?"
Tangan Garin naik membelai pipi Reya yang mulus. "Lo sendiri aja mikir, apa lagi gue."
-tbc-
Terima kasih yang masih mau baca dan menunggu😊😊
KAMU SEDANG MEMBACA
Perfect Two✔
RomanceReya membanting pintu apartemennya, lalu keluar dari sana. Kenyataan bahwa Garin meninggalkan dirinya memang tidak bisa dielakkan. Laki-laki seperti Garin memang pantas Reya benci. Reya menyentuh bibirnya. Ingin rasanya ia menangis sekarang, merasak...