53-(Not) Perfect Two

3.2K 197 115
                                    

Teruntuk kalian yang kepengen aku cepat update!

Happy Reading!😊

°•°•°•°•°

Reya melangkahkan kakinya menuju pintu utama rumahnya dengan pakaian santai. Gadis itu harus membeli bahan-bahan makanan untuk persiapan tiga hari. Ayahnya ada liburan kantor ke Pulau Dewata yang mengkehendaki membawa istri, jadi secara otomatis Bundanya harus mau ikut serta. Lagipula tidak mungkin Ana membiarkan Danni merenungi nasib selama tiga hari tanpa dirinya di sana.

Reya sudah membuka pintu rumahnya, namun ia berniat buru-buru kembali menutupnya.

"Reya..." Garin dengan sigap menahan pintu tersebut agar tidak tertutup.

"Mau apa lo ke sini?" ucap gadis itu dengan nada tidak enak di telinga. Reya berusaha mendorong pintu rumahnya agar segera tertutup rapat. Ia belum siap bertemu laki-laki itu lagi.

"Aku mau lihat kamu."

Reya mendorong pintu itu sekuat tenaganya. "Dan gue gak mau lihat muka lo!"

"Dengerin aku, Rey."

"Nggak!"

"Reya, aku gak pernah mau begini. Mungkin kamu sudah dengar semuanya dari Keana."

"Gue gak peduli asal lo tau!"

"Rey, dengarin aku!"

Reya menyerah. Bukan karena apa yang telah keluar dari mulut laki-laki, namun memang tenaganya hanya sebatas yang dimiliki dirinya sebagai perempuan.

Garin menghela napas lega. Ia dan Reya tidak perlu lagi seperti anak kecil yang bermain dorong-dorongan pintu.

"Pergi! Gue gak mau ketemu lo!" Gadis itu menatap Garin tajam, sebelum akhirnya ia keluar, lalu mengunci pintunya dengan gerakan cepat dan itu semua tidak lepas dari tatapan Garin.

"Kamu mau ke mana?" Garin menggapai pergelangan tangan gadis yang tengah melangkah cepat berniat meninggalkannya.

"Lepas!" Reya menepis tangan Garin kuat. "Bukan urusan lo!" lanjutnya tajam.

Gadis itu kembali melanjutkan langkahnya, namun Garin belum menyerah. Laki-laki itu mengikuti Reya dari belakang.

"Reya, aku kangen." Garin menatap punggung Reya dengan penuh kerinduan. Laki-laki itu hanya bisa maklum dengan sikap Reya yang seperti itu karenanya.

"Gue nggak!"

"Rey, aku mau ngomong." Garin meraih pundak Reya dan membalik tubuh gadis itu hingga keduanya saling berhadapan.

Reya mendelik tidak terima. "Lo itu tuli atau apa? Gue bilang pergi! Gue sudah pernah bilang, jangan pernah lagi muncul di depan gue! Lo ngerti gak sih? Apa perlu gue ulang!" Reya berteriak emosi, menumpahkan semua sakit hatinya selama ini.

"Reya-"

PLAKKK!

Satu tamparan keras mendarat sempurna di pipi Garin.

Reya mengepalkan tangannya yang terasa panas sehabis menampar wajah laki-laki itu. Harusnya ia melakukan hal tersebut sejak lama untuk mengalihkan rasa sakit hatinya yang selama ini diperbuat oleh Garin.

"Itu gak sebanding dengan yang sudah lo perbuat!" Mata gadis itu berkaca-kaca menatap Garin. Ia masih belum melupakan bagaimana Garin dengan mudahnya mengambil keputusan untuk melepaskannya, membuatnya selalu menangis diam-diam agar tidak terlihat oleh Ayah dan juga Bundanya.

Menurutnya, Garin sama sekali tidak mengerti bagaimana perasaannya ketika itu, bukan hanya tidak mengerti namun juga tidak peduli, dan membiarkannya terluka tanpa mau menjelaskan apa-apa.

"Jangan muncul lagi!" Reya membalikkan badan dengan airmata yang perlahan menetes. Jauh dari lubuk hatinya, ia juga merindukan lelaki itu, namun sakit hati lebih mengusai dirinya untuk saat ini.

Garin bergerak cepat. Tidak peduli bagaimana reaksi gadis itu, tidak peduli seperti apa kebencian gadis itu terhadapnya, sebelum Reya melangkah lebih jauh darinya, Garin memeluk Reya dari belakang, mengaitkan keduatangannya dengan erat di perut gadis itu.

"Bilang sama aku. Aku harus apa agar kamu nggak kayak gini lagi?" Garin berucap parau. Laki-laki itu menumpukkan dagunya di atas bahu milik Reya.

Gadis itu diam membatu merasakan detak jantungnya berpacu dengan cepat, sama cepatnya dengan detak jantung milik Garin yang sangat terasa di balik punggungnya.

"Reya."

"Lo gak perlu berbuat apa-apa," kata Reya tegas. Ia berusaha melepaskan diri dari pelukan Garin yang hanya semakin mengetat, enggan untuk melepaskannya.

"Lepas!" Reya menolehkan wajahnya, menatap Garin tajam.

"Pipi kamu kurusan. Kamu lagi program diet, ya?"

Buru-buru Reya mengalihkan wajahnya dengan tangan terkepal, menahan dadanya yang bergejolak karena emosi. Garin memang paling bisa membuat sebagian kesadarannya lenyap karena sikapnya.

"Aku tau, aku susah untuk dimaafin. Mengembalikan kepercayaan memang sulit, tapi aku mau kamu kasih aku kesempatan. Mungkin aku egois, tapi cinta memang egois 'kan." Garin melepas pelukannya. Ia maju melangkah dan berdiri tepat di hadapan gadis itu.

"Reya, aku mohon beri aku kesempatan." Garin menatap Reya penuh kesungguhan. Ia memang tidak bisa berjanji kepada gadis itu untuk tidak menyakitinya lagi, namun Garin berjanji pada dirinya sendiri ia akan berusaha untuk tidak lagi menyakiti hati gadis itu.

Reya menunduk, tidak berani menatap mata Garin yang pasti akan membuatnya lemah. Tanpa berpikir panjang, ia menggeleng, lalu mengangkat wajahnya memberanikan diri menatap wajah laki-laki itu.

"Aku gak bisa. Kita sudah berakhir, Gar. Kamu sendiri yang buat keputusan itu. Tanpa berpikir kamu milih lepasin aku. Sekarang, aku rasa, aku gak perlu berpikir untuk kembali ke kamu lagi."

Setelah mengucapkan itu, Reya melangkah pergi melewati Garin begitu saja. Mungkin ini lebih baik.

Saling mencintai, namun bukan berarti saling memiliki.

Saling mencintai, namun bukan berarti saling menerima.

Saling mencintai, namun bukan berarti saling bahagia.

Saling mencintai, namun bukan berarti saling melengkapi.

Banyak yang bilang, "akan sempurna jika berdua."

Namun, Reya rasa, "lebih sempurna jika tidak berdua."

Hidup sendiri-sendiri lebih baik.

°•°•°•°•
[END]












Atau
[Masih Mau Lanjut?]

...

Berdua...

Bukan berarti hidup saling bahagia...

Akan banyak rintangan yang mendewa...

Jika kamu gagal di babak pertama, apa pantas kamu masuk di babak kedua?

-piscesay-


Perfect Two✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang