Jangan lupa di vote sebelum membaca!
...
"Ehem. Rey..."
Reya menengadah cepat begitu mendengar suara laki-laki memanggil namanya dengan pelan. Dia Ryan, laki-laki yang kini memberikan senyum termanisnya. Reya bukannya tidak sadar atau tidak peka dengan usaha lelaki itu mendekatinya, namun ia hanya menganggap Ryan sebatas teman sekelas, itu saja, tidak lebih.
Ryan tidak jelek, laki-laki itu memiliki wajah tampan. Juga termasuk jajaran yang banyak didekati oleh kaum hawa di sekolahnya, namun Reya tidak termasuk di dalamnya. Sudah lama sosok laki-laki tampan tidak menarik lagi untuknya. Memiliki pacar tampan itu berat harus sekuat tenaga menjaganya, pasti banyak tikungan tajam yang sedang menanti dan Reya sangat malas menghadapi berbagai tikungan.
"Nanti sore lo sibuk gak?" Ryan bertanya hati-hati. Sangat jelas laki-laki itu gugup sekarang.
Reya menggeleng sebelum akhirnya bersuara. "Gak tau. Kenapa?"
Ryan mengetukkan jemarinya di atas meja sambil menatap gadis di depannya yang sedang duduk.
"Kalau lo gak sibuk, lo mau jalan bareng gue nanti sore?"
Reya menatap Ryan dengan tatapan yang sulit diartikan. Bagaimana, ya? Bukannya Reya sibuk atau apa. Gadis itu sadar, Dia bukanlah anak remaja yang bebas seperti dulu. Sekarang, Ia bukan lagi anak bunda yang dengan mudahnya akan meminta izin sebelum bepergian, ada lelaki yang harus ia dapatkan izinnya sebelum melakukan sesuatu dan itu adalah Garin yang sangat disayangkan adalah suaminya.
"Gak bisa, ya?" tanya Ryan. Wajahnya memasang tampang kecewa.
Reya kembali menggeleng. "Gue belum tau."
"Kalo lo udah tau, lo mau gak hubungin gue?" Ryan masih belum menyerah, ia sangat ingin mengungkapkan semua perasaanya yang sudah lama ia simpan.
Reya bingung harus menjawab apa. Ia sama sekali tidak ada kegiatan sore ini. Ia hanya butuh izin dari Garin dan setelah itu ia bisa pergi. Reya yakin, Garin tidak akan mempermasalahkan dengan siapa ia pergi. Terbukti dengan rentetan kata-kata menusuk yang tidak sengaja masuk ke dalam telinganya tadi dan hal itu harus membuat Reya mengingat awal kebenciannya.
Reya tersenyum lebar, lalu mengangguk. "Nanti sore gue bakal hubungin lo."
Ryan balas tersenyum. Ia jadi gemas ingin menyentuh puncak kepala Reya dan mengacaknya, sebisa mungkin ia menahannya. Masih belum waktunya.
"Gue tunggu ya, Rey..." ucapnya.
Akhirnya Ryan bisa bernapas lega. Baru saja ia ingin melangkah kembali ke bangkunya, namun suara Reya kembali menghentikannya dan gugup juga kembali menyergapnya.
"Ryan, emang lo mau ngajak gue jalan ke mana? Berdua aja atau rame-rame?"
Reya bertanya dengan suara yang sengaja ditinggikan bertepatan dengan masuknya Garin yang langsung melewati mejanya.
"Nanti sore lo bakal tau," jawabnya sebelum kembali melanjutkan. "Berdua. Ada hal penting yang pengen gue omongin. Gue harap lo gak lagi sibuk."
Reya mengangguk paham. Setelahnya, laki-laki itu kembali ke bangkunya dengan perasaan lega. Semoga semuanya lancar. Doanya dalam hati.
"Margarin kampret, kertas jawaban gue jangan diremas! Habis gue sama Bu Berta." Nino mengerang frustasi. Kertas jawaban remedial yang akan ia kumpul telah berbentuk bola bulat sempurna. Ingin sekali ia mencekik leher Garin, namun apalah daya jika Garin mati tercekik karenanya, maka tidak akan ada lagi yang akan menjadi sumber contekannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Perfect Two✔
RomanceReya membanting pintu apartemennya, lalu keluar dari sana. Kenyataan bahwa Garin meninggalkan dirinya memang tidak bisa dielakkan. Laki-laki seperti Garin memang pantas Reya benci. Reya menyentuh bibirnya. Ingin rasanya ia menangis sekarang, merasak...