Dua bulan berlalu, entah itu bulan yang ditunggu-tunggu atau bulan yang tidak diharapkan datang, yang jelas banyak yang mengeluh dan sedih, serta banyak pula yang merasa senang menunggu tibanya terbebas dari seragam putih abu-abu dan melangkah ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi.
"Perasaan, baru aja kemaren gue masuk SMA, eh, seminggu lagi udah ujian kelulusan. Berasa tua banget gue," keluh Nino sambil duduk bersila di selasar kelas.
"Rasanya gue gak mau ngelepas masa putih abu-abu," lanjutnya. Nino duduk bertopang dagu, mulutnya bergerak-gerak monyong.
"Ya udah, tinggal aja di sini jadi perjaka tua!" ucap Fahri, sarkas.
Nino diam saja. Ia fokus menatap ke depan mencoba menerawang masa depannya. Berbagai pertanyaan mulai timbul di pikirannya. Kira-kira nanti ia akan jadi apa? Makan apa? Kerja apa? Dan... Jodohnya siapa?
"Gue pulang duluan!"
Nino tersentak begitu mendengar suara Fahri dan tepukan pelan di bahunya. Ia menengadah, menatap Fahri yang sudah berlalu bersama Vani. Detik berikutnya, Nino menghela napas, lalu kembali menopang dagu.
Cewek yang ditaksir sudah diembat teman sendiri. Nino harus apa? Merebut balik pun tak bisa. Nino merutuki hidupnya yang sungguh malang seakan hidup di tengah-tengah rumput ilalang.
"Ngapain, No? Gak pulang?"
Mendengar suara perempuan bertanya, Nino kembali menengadah.
Lagi-lagi ia menghela napas panjang setelah melihat Reya bersama Garin yang berlalu begitu saja. Reya hanya bertanya. Ya, hanya bertanya sekedar basa-basi. Tanpa menunggu Nino menjawab.
Nino mengubah posisi duduk bersilanya menjadi duduk sambil memeluk lutut. Sebentar lagi lulus. Setelah lulus, ia kuliah atau tidak, ya?
"Pulang, No! Jangan jadi gembel di sini!"
Nino berdecak, ini ketiga kalinya ia menengadah. Lagi-lagi hanya punggung yang ia lihat. Ryan yang baru saja menengurnya langsung berlalu tanpa mau mendengar suaranya.
"Hidup lo, kok, gini banget, sih, No? Teman-teman lo kamvreto semua. Mau diseleding kali ya sama Jacky Chen." Nino bangkit berdiri sambil mendumel pelan. Ia ingin pulang saja, daripada duduk di selasar kelas seperti seorang Ayah yang hilang, kan kasian Mona bersama cucu-cucu yang menunggu kedatangannya di rumah.
"Mona, I'm coming!"
***
"Garin, balikin!"
"Aku balikin, tapi kasih tau dulu siapa mantan kamu?"
Reya menggerutu kesal. Entah dari mana Garin menemukan bindernya dan membaca tulisan memalukan di dalamnya. Gadis itu sudah lelah berlarian mengelilingi seluruh penjuru apartemennya hanya untuk mengejar suaminya, merebut kembali bindernya.
"Aku gak punya mantan! Itu cuma iseng aja nulis-nulis kayak gitu," kesal Reya sambil melompat-lompat mengambil benda yang diangkat Garin tinggi-tinggi.
"Gak punya mantan, ya? Jadi, kamu gak ngakuin aku, kita 'kan pernah pacaran." Garin menyeringai begitu melihat wajah gadisnya memerah.
Reya menatap Garin datar. "Dulu kamu pernah bilang gini, kita putus. Anggap aja gue gak pernah nembak lo. Anggap aja gue nembaknya di dalam mimpi. Sori ya, tadi gue cuma ngetes lo beneran suka gue atau nggak. Eh, ternyata beneran suka. Masih ingat?" serang Reya dengan mengungkapkan kembali kata-kata Garin yang tidak ia lupakan waktu SMP dulu.
"Sejak kamu bilang gitu, ya, aku anggap kita gak pernah pacaran. Gak pernah saling kenal. Lagian, waktu itu status kita sebagai pacar gak nyampe empat jam," ungkap Reya dengan wajah kecut sukses membuat Garin tidak mampu berkata-kata jika mengingat dirinya yang dulu.
![](https://img.wattpad.com/cover/135936058-288-k297476.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Perfect Two✔
RomanceReya membanting pintu apartemennya, lalu keluar dari sana. Kenyataan bahwa Garin meninggalkan dirinya memang tidak bisa dielakkan. Laki-laki seperti Garin memang pantas Reya benci. Reya menyentuh bibirnya. Ingin rasanya ia menangis sekarang, merasak...