"Badan kamu tambah panas. Minum obat dulu, ya?"
Reya mengangguk lemas, wanita paruh baya itu membantu putrinya duduk secara perlahan. Mengambil dua butir pil obat yang berbeda bentuk, lalu memasukkan ke dalam mulut Reya satu per satu, disusul dengan beberapa teguk air putih yang mengalir sempurna di kerongkongannya.
Ana, bunda Reya melirik jam kecil di atas nakas. "Suami kamu kemana, sih? Kenapa belum pulang juga sampe sekarang?" tanya Bundanya cemas.
Reya kembali berbaring, menatap Bundanya sendu. "Garin gak pulang, Bun. Katanya nginap di rumah Nino," jawab Reya seadanya.
Ana menggeleng tidak setuju. "Kok Garin malah nginap di rumah Nino-Nino itu? Dia tau 'kan kalo kamu sakit?"
Anna menatap putrinya lekat. Tidak habis pikir dengan menantunya yang malah meninggalkan Reya yang sedang sakit.
Tidak ada jawaban dari Reya. Ia terlalu lelah untuk membuka suara, ditambah lagi harus membahas Garin yang mungkin saja telah bersenang-senang di pesta ulang tahun bersama Tessa. Seluruh sendi-sendi tulangnya terasa pegal dan sakit. Sama halnya dengan kepalanya yang sejak tadi siang terus berdenyut-denyut.
"Kamu tidur aja. Besok pagi kita ke rumah sakit. Bunda takut, kalo tifus kamu kumat lagi." Ana duduk di pinggir ranjang sembari membenarkan letak selimut di tubuh putrinya.
"Reya gak apa-apa Bunda, cuma demam kok. Palingan besok juga sudah sembuh," cicit Reya sambil memejamkan mata, menikmati tangan lembut bundanya yang membelai rambutnya.
"Kamu jangan remehin demam, sayang. Kamu tahu nggak, demam itu salah satu gejala tifus kalo gak cepat diobati tunggu aja batas waktu lima hari bisa-bisa orang yang kayak gitu kehilangan nyawa."
Reya hanya diam mendengar bundanya yang sudah ngelantur sampai berujung kehilangan nyawa. Ana begitu panik saat mendapati Reya yang sedang berbaring lemas sendirian di dalam kamar. Danni sedang ke luar kota mengurus pekerjaan kantor, sedangkan lelaki yang diharapkan bisa menjaga putrinya dalam keadaan sehat mau pun sakit entah ke mana sekarang.
"Besok kita ke rumah sakit. Gak boleh nolak. Bunda takut kamu kenapa-napa," ucap Bundanya tidak ingin dibantah, lalu menghembuskan napas lemah.
Reya hanya mengangguk singkat. Menuruti kemauan bundanya bukanlah hal yang salah.
Bukan kepalang cemas saat Reya menitip dibelikan jus buah naga. Dulu gadis itu memang hampir setiap hari meminum jus buah naga untuk mencegah tifus, katanya. Namun, sudah lama ini putrinya itu sudah tidak lagi mengonsumsi jus itu. Mungkin sekitaran saat menjelang pernikahannya.
Mengingat tentang pernikahan, Ana pikir dengan menikahkan Reya, maka putrinya itu akan ada yang menjaga dan tidak lagi harus sendirian ketika kedua orangtuanya pergi. Namun nyatanya, Reya baru saja sendirian dalam keadaan sakit.
Ana menatap wajah Reya. Ia tidak tahu dan tidak pernah bertanya bagaimana perasaan Reya sekarang? Apakah bahagia menikah dengan Garin? Namun, melihat putrinya sekarang, Ana jadi ragu untuk menyerahkan Reya sepenuhnya kepada Garin.
***
Garin menghempaskan tubuhnya di atas ranjang king size miliknya. Ia memutuskan untuk pulang ke rumah kedua orangtuanya. Beruntung kedua orangtuanya sedang berada di Kalimantan menengok Neneknya yang sudah berumur lebih dari setengah abad di sana. Garin yakin jika Ibunya melihat dirinya datang sendiri, pasti wanita kesayangannya itu sudah berkotbah panjang lebar karena tidak membawa menantunya ikut pulang.
Berbicara tentang menantu, gadis itu sedang apa ya sekarang? Biasanya 'kan di jam segini, Reya sudah tidur dalam pelukannya. Garin tersenyum tipis, lalu mengambil ponsel di dalam saku celana jinsnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Perfect Two✔
RomanceReya membanting pintu apartemennya, lalu keluar dari sana. Kenyataan bahwa Garin meninggalkan dirinya memang tidak bisa dielakkan. Laki-laki seperti Garin memang pantas Reya benci. Reya menyentuh bibirnya. Ingin rasanya ia menangis sekarang, merasak...