Siaran televisi bukanlah hal yang menarik untuk dijadikan tontonan di larut malam seperti saat ini. Sama halnya dengan Garin yang duduk resah sembari mengarahkan matanya pada siaran televisi, namun pikirannya entah melayang kemana. Jiwa dan raganya sedang tidak bersatu.
Berulang kali ia mengetuk pintu kamar adik kembarnya, namun orang di dalam sana seakan menutup telinga, tidak peduli dengan teriakan Garin yang meminta istrinya kembali. Berulang kali Garin berdecak, mengacak rambutnya, dan melirik di sudut ruangan yang menampakkan pintu kamar, berharap orang yang ditunggu keluar dari sana, namun selama yang Garin tunggu, tidak sedetik pun Reya menampakkan bulu matanya.
"Kalau begini gue mana bisa tidur." Garin memadamkan televisi dan menyandarkan punggungnya sambil menatap langit-langit rumahnya.
Serumah dengan istri, namun tidak sekamar. Menurut Garin hal itu sungguh berat.
Ceklek!
Garin kembali menegakkan tubuhnya, matanya langsung memicing tajam ke arah pintu yang terbuka. Betapa senyumnya tidak dapat ia tahan ketika melihat Reya keluar dari sana.
Garin bisa melihat, Reya melangkah mengendap-ngendap sambil melirik kanan, kiri, depan, dan belakang layaknya seorang maling yang takut ketahuan pemilik rumah. Nyatanya Garin tahu, apa yang membuat Reya terlihat seperti maling. Sudah tentu karena dirinya.
Dengan senyumnya, Garin bangkit dan mengikuti Reya yang melangkah menuju dapur. Tangan Garin bersedekap dan punggungnya ia sandarkan di pintu dapur sambil mengamati Reya yang membuka kulkas, lalu menuang air putih ke dalam gelasnya yang kosong, kemudian meneguknya hingga tandas. Itu semua tidak lepas dari pengamatan Garin.
Tanpa sepengetahuan gadis itu, Garin melangkah mendekat. Reya yang baru saja meletakkan gelasnya dan ingin menutup pintu kulkas, namun pergerakannya kalah cepat. Garin sudah lebih dulu menarik pinggangnya dan menutup pintu kulkas dengan kasar.
Reya nyaris saja berteriak jika saja Garin tidak membekap mulutnya dan menyudutkannya hingga bersandar di pintu kulkas.
Mata bulat Reya mengerjap beberapa kali, terkejut dengan berdirinya Garin di depannya. Rupanya, misi untuk menghindari Garin sedang dalam proses gagal total. Reya tidak yakin bisa lolos setelah ini.
"Lo belum tidur?"
Tercetuslah pertanyaan Reya ketika Garin melepaskan tangan dari mulutnya.
Mendengar itu, Garin tersenyum miring. "Gue mana bisa tidur kalau gak ada guling yang bisa gue peluk."
Kening Reya mendadak kriting. "Guling?" Reya tertawa paksa. "Emangnya lo gak punya guling?"
"Banyak."
Kedua alis Reya terangkat mendengar jawaban Garin. Lalu?
"Tapi, guling yang suka gue peluk cuma satu. Cuma lo."
Setelah mengungkapkan itu, Garin langsung mengecup pipi Reya kemudian memeluk tubuh ramping itu, tidak menyisahkan celah sedikit pun di antara keduanya. Sementara Reya hanya diam tidak bereaksi, menikmati debaran jantungnya yang tengah berdisko secara mendadak.
"Lo kayak guling, enak dipeluk." Garin melepaskan pelukannya, lalu menatap Reya sembari tersenyum lebar. Akhir-akhir ini Garin seringkali tersenyum lebar.
Kampret! Jantung yang tadinya berdisko, kini sudah berpindah genre. Reya sungguh kesal tubuhnya dianggap hanya sebatas guling. Dari segi mananya coba tubuh Reya disamakan dengan guling?
"Gila! Nikah sana sama guling!" ucap Reya kesal. Gadis itu ingin segera lepas, namun pinggangnya kembali ditarik oleh Garin.
"Gue emang udah nikah sama guling. Malah lebih dari guling." Garin mengetatkan pelukannya di pinggang ramping sang istri. Entah mengapa malam ini jadi membahas guling-gulingan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Perfect Two✔
RomantikReya membanting pintu apartemennya, lalu keluar dari sana. Kenyataan bahwa Garin meninggalkan dirinya memang tidak bisa dielakkan. Laki-laki seperti Garin memang pantas Reya benci. Reya menyentuh bibirnya. Ingin rasanya ia menangis sekarang, merasak...