45-Takdir

2.6K 137 11
                                    

Reya dan Keana. Sangat mudah untuk memilih salah satu dari keduanya. Tidak perlu pusing untuk menentukan di mana persinggahan hati yang sesungguhnya. Karena ia yang paling tahu, untuk siapa dan kepada siapa hatinya dijatuhkan.

Memang sangat mudah, jika hati dan logikanya menyatu. Sayangnya tidak. Keduanya kini telah mengerahkan gaya yang sama, namun sayang, mereka berlawanan arah. Pilihan sulit itu kini tercipta. Ibarat sama-sama batu permata yang tidak bisa ia nilai hanya melihat dengan mata.

Memang sulit. Dia yang sebagai tempat dijatuhkan hati, bukan hanya sekedar pesinggahan, tetapi juga tempat untuk menetap. Terpaksa dilepaskan, ditinggalkan, lalu berpindah ke tempat lain.

Akan butuh waktu lama untuknya beradabtasi.

Atau...

Ia tidak akan pernah bisa beradabtasi.

***

Nino duduk di lantai, menopang kepalanya di atas ranjang sambil menatap temannya yang sejak tadi melamun.

Sudah dua jam lamanya, Nino berada dalam posisi seperti itu. Ia hanya bergerak sedikit untuk merenggangkan otot-otot kakinya yang keram, namun tatapannya tidak pernah lepas dari sosok lelaki yang kini sangat enggan mengeluarkan suara.

"Jadi, gimana?"

Sudah puluhan kali Nino bertanya demikian, namun yang ditanya hanya diam. Sampai-sampai tangan Nino gatal rasanya ingin menonjok seseorang.

"Eh, Garing, gue gak lagi ngomong sama Tugu 'kan? Daritadi gue ngomong, lo diamin aja terus," kesal Nino. Ia menatap Garin sadis.

"Masalah itu dipikirkan, dibicarakan, lalu diputuskan. Bukan malah lo diam kayak Tugu kayak gini. Tugu aja bisa bergeser, lo kapan? Sudah dua jam lo numpang, gak mau pulang?" ucap Nino sambil mengusap wajahnya kesal.

Ia bingung dengan sahabatnya itu.

"Disuruh milih aja kok susah. Tinggal pilih salah satu, ya sudah, kelar. Apa yang sulit? Pilihannya? Kalo gak bisa milih, ya udah, mati aja sono! Kesel gue!" maki Nino.

"Laki-laki itu harus tegas. Gimana lo mau jadi pemimpin rumah tangga, kalau milih pendamping hidup aja susah. Padahal pilihannya cuma dua, kutub negatif dan kutub positif. Atau lo mau pilih yang netral? Dua-duanya ada? Serakah banget sih!" oceh Nino yang tidak ada hentinya.

Garin menatap Nino tajam. Sejak tadi temannya itu tidak bisa diam, selalu saja mengeluarkan kata-kata yang tidak berfaedah. Konsentrasi Garin untuk berpikir langsung buyar seketika.

"Lo punya plester gak sih, No?" tanya Garin dengan wajah datar.

Nino mengerutkan kening bingung, namun ia tetap mengarahkan jari telunjuknya ke rak yang terletak di pojok ruangan. "Itu di sana."

"Ambil gih!" titah Garin, tidak peduli raut bingung dari wajah Nino.

"Buat apa?"

"Buat plester mulut lo. Biar lo diam! Lo ganggu konsentrasi gue daritadi!"

Nino bangkit berdiri. Laki-laki itu menyumpah serapahi Garin di dalam hati. Sudah numpang, banyak bacot pula! Untung teman.

Nino kembali duduk, bukan di lantai, melainkan di atas ranjang miliknya. Gara-gara Garin, ia jadi ikut-ikutan berpikir keras.

Nino tau semua hal tentang Garin, meskipun beberapa menit sebelumnya ia terkejut luar biasa begitu mengetahui perihal pernikahan Garin dengan Reya. Jika saja ia memiliki riwayat penyakit jantung, mungkin Nino sudah tinggal nama dan pasti keluarganya sedang memanggil tukang gali kubur, tidak perlu membeli kain kapan karena keluarganya punya banyak persediaan kain seperti itu mewanti-wanti jika ada yang berpulang ke rahmatullah. Untungnya Nino masih panjang umur dan tidak mati muda sebelum mendapatkan jodoh. Jadi, omongan Garin waktu itu bahwa ia telah menikah benar adanya, dirinya saja yang tidak percaya.

Perfect Two✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang