Garin memaksakan kakinya untuk berjalan. Kaki kirinya sungguh terasa sakit untuk sekedar diajak bergerak. Sudah nyaris sore, tetapi seragam sekolah masih melekat di tubuhnya. Sakit di bagian lengannya membuatnya kesulitan berganti pakaian. Garin tersenyum kecut, baru kali ini ia menjadi sosok lelaki lemah. Besok, Garin akan meminta orangtuanya untuk membawakan tukang urut ke apartemennya.
Garin membuka pintu kamar, ia berdiri di sana melihat Reya yang sedang fokus pada sebuah novel tanpa memperdulikannya. Efek yang Garin katakan beberapa waktu lalu membuat gadis itu menghabiskan waktunya berdiam di kamar.
Garin tidak tahu, apa yang salah dari kalimat yang ia katakan.
Garin mendekati Reya dengan langkah pelan, sesekali meringis. Ia menghentikan langkahnya begitu sampai di samping gadis itu dengan jarak tiga langkah.
"Rey..." Garin mencoba memanggil Reya, namun tidak ada tanda-tanda bahwa gadis itu akan merespon.
"Reya, gue minta tolong!"
Tetap tidak ada respon dari Reya. Gadis itu seakan menulikan telinganya. Bagaimana tidak, nada suara Garin lebih mengarah ke nada memaksa daripada meminta tolong.
"Rey, ambilin baju gue!" Pinta Garin. Tidak ada lagi kata tolong, yang terdengar hanya nada perintah yang tidak ingin dibantah.
Reya diam saja. Keseriusannya ia perlihatkan kepada setiap kata yang menjadi untaian kalimat pada novel di tangannya.
Garin mendengus kesal melihat tidak ada pergerakan dari gadis itu. Garin melangkah maju, lalu merebut novel yang gadis itu baca dan melemparkannya ke sembarang tempat.
Reya berdecak kesal. Gadis menatap marah ke arah Garin.
"Lo apa-apaan, sih?" Reya berdiri sembari melepas earphone yang melekat di telinganya secara kasar.
Garin tertegun. Ia menatap earphone yang menjuntai dari atas meja ke lantai.
Pastas saja Reya tidak mendengar. Rupanya gadis itu mendengarkan musik dengan volume tinggi, terbukti dengan adanya suara yang samar-samar terdengar di balik benda itu.
"Lo dengarin musik pakai volume full?" tanya Garin. Ia tidak menyangka Reya memiliki kegemaran seperti itu, padahal itu sangat berbahaya terhadap kesehatan telinga.
Kekesalan Reya bertambah. Pertanyaan Garin sungguh tidak ada faedahnya. Aktivitasnya membaca novel terganggu hanya dengan pertanyaan tak bermutu itu.
Tanpa menjawab apapun, Reya melangkah hendak ke luar kamar, ia masih tidak terima dengan penghinaan Garin beberapa waktu lalu. Ralat. Bukan masih, namun tidak akan pernah terima.
"Gue butuh lo." Garin menahan lengan Reya dengan tangan kanannya, membuat langkah gadis itu terhenti.
"Gue butuh bantuan," ucap Garin. "Ambilin baju gue! Gue mau ganti baju."
Reya menatap Garin jengah, kemudian menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya. Reya mengamati Garin yang masih lengkap dengan seragam sekolahnya, bahkan sepatu dan dasi juga.
"Lo masih bisa jalan dan tangan lo masih berfungsi. Lo ambil sen---"
"Tangan kanan gue sakit kalau digerakkin, kaki gue juga," potong Garin cepat.
Reya memejamkan mata sekilas. Ia lelah menghadapi Garin. Setengah ikhlas ia melangkah menuju lemari dan mengambil baju dan celana kain secara asal.
"Nih." Reya meletakkan pakaian Garin di atas ranjang dan kembali melangkah hendak keluar kamar.
"Tangan gue masih sakit, gue gak bisa ganti baju sendiri." Garin berucap datar, namun mampu membuat langkah kaki Reya kembali terhenti.
Reya berbalik menghadap Garin. "Maksud lo apa?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Perfect Two✔
RomanceReya membanting pintu apartemennya, lalu keluar dari sana. Kenyataan bahwa Garin meninggalkan dirinya memang tidak bisa dielakkan. Laki-laki seperti Garin memang pantas Reya benci. Reya menyentuh bibirnya. Ingin rasanya ia menangis sekarang, merasak...