50-Usai Sudah

3.3K 186 105
                                    

"Sayang, ada yang mau ketemu kamu. Yuk, keluar."

Perlahan Ana memasuki kamar putrinya. Reya terlihat sedang sibuk berkutat dengan bukunya, kedatangan bundanya pun tidak disadarinya. Sebagai seorang Ibu tentu Ana tahu, Reya hanya berusaha menyibukkan diri, memasang senyum pura-pura, dan selalu bersikap ceria, namun pada kenyataannya hati putrinya itu begitu rapuh. Wanita itu mengetahuinya ketika melihat sendiri bagaimana Reya menangis tertahan seorang diri bila malam hari.

"Reya, kamu sedang apa?" Ana menyentuh pundak putrinya yang refleks membuat Reya menoleh dengan sorot mata terkejut.

"Bunda, kok, ngagetin, sih?"

Ana tersenyum. Tangan Kanannya beralih menyentuh pucuk kepala Reya, mengusapnya lembut. "Kamu sedang apa?" tanyanya lalu menatap kertas putih yang hanya berisi coretan tak terbaca.

"Belajar bunda," ucap Reya pelan, lalu kemudian menyengir begitu bundanya memberikan tatapan curiga.

"Bunda tahu kamu tidak belajar." Ana menghela napas. Ia tahu putrinya hanya melamun sejak tadi, bukannya belajar. "Ada yang mau ketemu kamu. Ayo keluar."

Reya menatap bundanya. "Siapa bunda?"

Anna mengedikkan bahu. "Penasaran?"

Reya mengangguk polos. "Iya."

Anna terkekeh pelan. "Yaudah, yuk, keluar."

Anna keluar terlebih dahulu meninggalkan Reya yang memasang wajah cemberut. Walaupun penasaran, namun Reya tidak ingin cepat-cepat keluar. Gadis itu memilih diam sambil menerka-nerka siapa yang datang ingin bertemu dengannya.

***

Reya terdiam di penghujung tangga. Melihat dua orang yang bercengkrama dengan Bundanya nyaris membuatnya ingin berbalik kembali ke kamarnya jika saja salah satu di antara mereka tidak mengetahui keberadaannya.

"Reya, sini sayang."

Reya berusaha menguatkan hatinya. Gadis itu melangkah pelan dan tersenyum paksa. Andai sebulan lalu hal yang tidak diinginkan tidak terjadi, Reya tidak akan kehilangan kata-kata untuk menyambut dua orang yang tengah tersenyum hangat padanya. Menyebutnya pun Reya tidak tahu harus menyebutnya dengan sebutan seperti apa.

Reya duduk di samping Bundanya dengan tubuh kaku, kedua tangannya saling meremas. Gadis itu tidak pernah berada di situasi seperti sekarang ini.

"Reya, apa kabar?"

"Baik." Reya menjawab canggung. Ia tidak ingin berlama-lama seperti ini. Melihat dua orang di depannya yang kini menatapnya dengan senyum sedih membuat dada Reya sesak. Ia langsung menunduk begitu merasakan matanya memanas.

"Boleh Mama peluk?"

Reya kembali mengangkat wajahnya. Matanya berkaca-kaca, ia mengangguk pelan. "Boleh."

Tanpa bisa Reya tahan, ia menangis begitu wanita paruh baya itu memeluknya. "Mama kangen banget sama kamu. Maafin Mama yang gak bisa berbuat apa-apa untuk kamu."

Gina ikut menangis. Ia mengusap pelan belakang kepala Reya yang sampai kapanpun akan selalu ia anggap seperti anaknya sendiri.

"Kamu kenapa semakin kurus? Mama gak suka liat badan kamu yang sekarang."

Reya tersenyum di sela tangisnya. "Reya lagi diet."

Gina melepaskan pelukannya, lalu mengusap pipi Reya lembut. "Pipi kamu juga tirus banget, sayang."

Reya memilih diam. Kenyatan bahwa berat badannya menurun drastis tidak bisa ia jelaskan.

"Gama dan Alfa juga kangen banget sama kamu. Kapan-kapan datang ke rumah, ya?" Gina mengusap kepala Reya dengan sayang.

Perfect Two✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang