BAB 1

6.4K 246 3
                                    

Tidak seperti anak-anak yang lain yang pada umumnya selalu menghabiskan pesta ulang tahun bersama sahabat ataupun keluarga, Helene lebih memilih menghabiskan hari spesialnya untuk membaca cerita di perpustakan dekat rumahnya.

Hanya butuh dua alasan mengapa dia tidak perlu merayakannya. Yang pertama karena dia sama sekali tidak memiliki sahabat dan yang kedua keluarganya sama sekali tidak memperdulikan dirinya.

Helene memfokuskan matanya kepada tulisan yang sedang di bacanya. Punggung bersandar di dinding dan kakinya ditekuk. Dia sudah memasuki bab ke dua belas dari sebuah novel berjudul Lover Eternal karya J.R. Ward. Sebuah cerita yang lebih menjadi daya tariknya dibandingkan bercengkrama dengan keluarganya.

"Black dagger brotherhood?"

Helene mengabaikan pertanyaan itu. Rambutnya yang terurai digunakannya untuk menutupi wajah bagian samping kirinya agar pria yang bertanya itu tidak dapat melihatnya dan mengganggunya bacaannya.

"Pria itu terkena kutukan, right?"

Helene yakin bahwa kini pria itu tidak dapat melihat wajahnya. Tapi mulut pria itu yang terus saja berceloteh mengenai bacaannya membuat dia kesal. Dia baru saja membacanya dan pria ini berniat memberi tahu spoiler mengenai cerita yang dia baca.

"Itu novel dewasa, apa kamu sudah cukup umur untuk membacanya?"

Helene menahan dirinya untuk tidak terganggu dengan setiap pertanyaan itu. Matanya kembali membaca baris per baris. Tapi pikirannya jelas tertuju pada seorang pria yang sedang duduk di sampingnya. Sialan. Ketika suasana tiba-tiba saja kembali hening dan dia tidak dapat lagi mendengar suara pria tak di kenal itu, Helene merasakan tangan pria itu bergerak untuk mengikat rambutnya dan menyingkirkannya dari samping lehernya.

"Nanti lehermu sakit, tidak perlu menutupi wajah kamu seperti itu. Jika kamu merasa terganggu, just say it."

Helene menoleh ke samping kiri dimana dia mendapati pria itu sedang memandangnya terang-terangan. Mulutnya hanya diam bahkan ketika pria itu selesai mengikat rambutnya.

"I'm Liam." Pria itu memperkenalkan namanya sendiri ketika merasa tidak ada penolakan sama sekali dari Helene. Tapi ketika dia menyadari jika Helene menatapnya jengkel tanpa berucap, dia melipat bibirnya ke dalam.

"You want me to go?" tanya pria itu kepadanya.

"Apa yang membuat kamu berpikir aku ingin menjawab pertanyaan kamu?"

Helene melihat pria itu yang tertawa karena pertanyaannya barusan. Lalu kemudian pria itu berujar. "Easy, kamu baru saja berbicara kepadaku."

Helene menggelengkan kepalanya dan memutar bola matanya. Pria ini jelas-jelas sangat menjengkelkan.

"Kamu ingin kue?" tanya pria itu lagi kepadanya. Menawarkan sebuah kue coklat kepada Helene yang masih menatapnya jengkel.

"Please, ini perpustakan. Tolong menyesuaikan," kata Helene kepadanya. Dia kembali membuka ikatan rambutnya dan memberikan ikat rambut itu kepada pria yang bernama Liam.

"Well, okay." Liam memberikan senyum tipis dan memberikan jarak antara mereka. Dia membuka buku yang hendak dibacanya dan mulai menundukkan kepalanya untuk membaca. Tapi ketika dia masih merasakan pandangan Helene kepadanya, Liam mengurungkan niatnya.

Helene menatapnya sambil memikirkan tentang kehidupannya. Dalam hidupnya selama delapan belas tahun, tidak pernah ada orang ingin berkenalan dengannya. Dan sekarang? Setelah ada salah satu dari mereka ingin, kenapa dia dengan menolaknya?

"I'm Helene," ucap Helene pada akhirnya. Dia merasa bersalah karena mengabaikan orang  pertama yang ingin berkenalan dengannya.

Liam tersenyum dengan lebar dan menutup bukunya kembali dan mengambil jarak lebih dekat. "Jadi kamu ingin berbicara pada akhirnya?"

Helene menarik senyumannya. Senyum tulus yang pertama kali ia perlihatkan kepada pria. "Well, aku tidak bisu," jawab Helene.

"Fine. Jadi Helene ya?"

"Yes."

"Helene terlalu panjang. Aku panggil Len saja ya?"

Kali ini Helene tertawa dan menyadari jika tindakan yang barusan ia lakukan itu adalah sebuah kesalahan karena mereka sedang berada di perpustakan. Dia pun mengangguk sembadi tersenyum. Tiba-tiba saja buku yang dibacanya sudah tidak lagi menjadi daya tariknya.

"Iya, Len saja."

Liam merasa situasi menjadi agak canggung karena dia sudah tidak tahu harus berbicara apa. Dia terlalu terpesona dengan kecantikan natural gadis di depannya sehingga bibirnya menjadi kelu sementara pikirannya menjadi blank.

"Masih ada tawaran kedua untuk kuenya?" Helene memecahkan keheningan di antara mereka dengan berbisik.

"Iya, kue. Kamu suka kue?" Liam tertawa kaku dan menyodorkannya kepada Helene. Sialan.

"Yes, aku pikir semua orang menyukai kue?"

"Right, let's eat then."

TBC

Note: jangan lupa vote, komen dan share.

Love by, Ann.

CHOOSE YOUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang