BAB 17

1.7K 108 9
                                    

“Jangan rindu ya,” ucap Liam sembari memberi pelukan hangat kepada Helene ketika mereka telah tiba di Bandara.

“Nanti kamu menangis lagi,” Liam menambahkan dan masih belum melepaskan pelukan mereka.

“Aku tidak akan menangis.” Helene menantang.

“Lima jam tidak bertemu saja kamu menangis seperti bayi apalagi untuk dua minggu?” Liam masih saja mengejeknya. Kali ini pria itu tertawa disela-sela ejekkannya.

“Jahat. Kalau tidak ingin aku menangis jangan buat aku rindu.” Helene melingkarkan tangannya di leher Liam dengan manja. Bibirnya mengerucut ke depan membuat Liam gemas ingin menciumnnya.

“Cara untuk membuat kamu tidak rindu bagaimana?”

“Jangan pergi…” Helene menunduk. Dia akan menangis. Dia tidak bisa jauh dari pria ini bahkan untuk waktu beberapa jam saja. Dia terlalu membutuhkan Liam.

“Sayang…” Liam memanggilnya dengan sayang. Mengelus pipi Helene yang memerah karena berusaha menahan tangisnya. “Cuman dua minggu. Dua minggu untuk mengurus perusahaan disana dan setelah itu kita akan menikah.”

Mata Helene membulat seketika. Terkejut mendengar ucapan pria itu. “Menikah?” tanyanya kepada Liam.

Shit. Kamu membuat aku merusak rencana aku.” Liam tertawa dan menyesali mulutnya yang tidak bisa menahan keinginannya untuk mengatakan pada Helene bahwa mereka akan menikah setelah dia pulang dari Prancis.

“Rencana apa maksud kamu?” Helene bertanya dengan kening yang bertautan namun dengan hati yang berbunga-bunga.
“Kamu mau menikahi aku?” Helene tidak bisa menutupi senyum lebarnya.

Liam memejamkan matanya sejenak merutuki kecerobohannya. Dia tertawa kecil dan menggeleng kemudian mengambil sesuatu dari saku celanannya dan memberikannya kepada Helene. “Aku tidak bisa menunggu lebih lama lagi, Helene. Aku mencintai kamu. Aku ingin kamu menjadi milik aku. Milik aku satu-satunya.” 

Helene terperangah. Mulutnya menganga dan telapak tangannya dengan sontak terangkat untuk menutup mulutnya. Liam berlutut di tengah-tengah keramaian di bandara membuat beberapa pasang mata menatap mereka. Pria itu mengeluarkan kotak beludru merah dan membukannya. Memperlihatkan sebuah cincin yang begitu indah berkilauan di dalam kotak itu.

Marry me, Helene. Be mine,” ucap Liam bersungguh-sungguh dengan mata lurus menatap iris biru safir Helene yang membulat besar.

“Liam…” Helene berbisik pelan. Jantungnya seperti akan keluar dari tubuhnya karena saking bahagianya.  Dia dapat mendengar sorak gembira dari beberapa orang di bandara yang menyuruhnya untuk menerima lamaran Liam.

“Terima… terima… terima…” begitu terus suara yang dikatakan orang-orang yang semakin membuatnya tersipu malu. Dia terharu dengan perlakuan Liam, pria yang menyelamatkannya dari mimpi buruknya empat tahun lalu.

Dengan kemantapan hati juga rasa senang yang sama sekali tidak bisa ditutupinya, Helene mengangguk dan mengulurkan tangannya pada Liam agar pria itu bisa memakaikan cincin itu di jari manisnya. Tangannya bergetar saat Liam menyematkan cincin itu.

Ketika Liam berdiri, Helene langsung menghambur ke pelukan pria itu bersamaan oleh tepuk tangan meriah dari orang-orang. “Aku pikir sekarang sudah waktu aku untuk pergi."  Liam terkekeh sejenak dan melepaskan pelukan mereka. Dia menunduk dan mencium Helene dengan ciuman panjang penuh kelembutan.

“Kamu baru saja melamar aku dan sekarang kamu pergi?” mata Helene berkaca-kaca. Hatinya sama sekali berat untuk melepaskan Liam. “Stay…please…” lirih Helene dengan tatapan memohon. Namun ketika dia melihat Liam tersenyum hangat, Helene tahu bahwa dia tidak bisa menahan Liam.

Wait for me to come home,” bisiknya di telinga Helene. Liam memeluk lagi dengan erat. Sangat enggan untuk melepaskan wanita yang dia cintai.

Yes I will, Liam. Always.” Helene mengangguk dengan air mata yang terus jatuh. Bibirnya bergetar. Pelukannya mengencang, terasa berat untuk melepaskan Liam dari pelukannya.

“Tetap cinta sama aku ya?” Liam tersenyum manis, menyeka air mata Helene yang terus berjatuhan.

“Iya, Liam. I promise.” Helene mengangguk dengan wajah dipenuhi kesedihan, kebahagiaan, dan ketidakrelaan. Semuanya bercampur aduk. Liam baru saja melamarnya dan pria itu akan pergi untuk mengurus perusahaannya di Prancis kemudian kembali lagi ke London untuk menikahinya.

“Jangan melupakan aku. Walaupun hanya untuk dua minggu.” pinta Liam lagi. Mengelus pipi Helene yang memerah karena tangisanya.

“Bahkan tidak untuk sedetik pun, tidak akan pernah.” sambung Helene.

“Ingat kalau aku mencintai kamu, Helene.”

“Aku mencintai kamu, Liam.”

“Wait for me to come home.” Ulang Liam lagi. Kembali menunduk dan melumat sebentar bibir Helene yang bergetar kemudian melepaskan genggaman mereka berdua.

Always…” lirih Helene ketika Liam telah masuk ke dalam tempat yang tak bisa ia masuki. Matanya memerah sementara hatinya terasa sangat sakit. Sakit yang sama sekali tidak bisa diobatinya.

“Menangis lagi?” Seseorang bertanya seraya menyeka air matanya yang menetes. “Liam lagi ya?” tanya orang itu lagi. Membuat Helene kembali ke dunia nyata. Dia mengenal pria yang sedang menatapnya dengan sendu dan khawatir. Itu Aiden, suaminya.

“Maafkan aku, Aiden.” Helene menggigit bibirnya takut menyakiti perasaan pria itu. Dia menyadari jika mereka kini sedang berada di dalam mobil yang terpakir di depan tempat kerjanya. Perpusatakan anak-anak. Tempat dia menceritakan tentang dongeng yang disukai oleh anak-anak.

“Kita sudah sampai… semoga hari kamu menyenangkan.” Aiden tidak membalas perkataan Helene melainkan mengubah topik pembicaraan dan mengalihkan tatapannya ke tempat lain.

“Aku tahu kamu tidak ingin aku bekerja. Tapi, hanya ini yang dapat mengalihkan perhatian aku dari—“ Helene menghentikan ucapannya. Dia akan menyebut nama Liam dan dia tahu dia akan kembai menyakiti Aiden.

“Liam Argent. Pria yang kamu cintai.” Aiden menyambung ketika Helene berhenti. Dia menatap Helene dan tersenyum kecut. “Cintai aku, Helene. Please, belajar mencintai aku,” lirih Aiden dengan pelan—sangat pelan namun Helene dapat mendengarnya.

“Aku akan belajar, Aiden. Aku…” Helene menggigit bibirnya—tanda bahwa dia sedang gugup ataupun takut. “…aku hanya butuh waktu,” tambah Helene dengan kepala tertunduk.

“Satu tahun belum cukup ya?” tanya Aiden. Menyandarkan punggunya ke kursi dan menghela napas berat. Pernikahan mereka telah terjalin selama satu tahun dan Helene masih terus membutuhkan waktu untuk melupakan Liam dan belajar mencintainya.

“Aiden…” bisik Helene. Merasa sangat bersalah.

“It’s okay. Aku akan menunggu kamu. Aku akan menunggu kamu sampai kamu bisa mencintai aku.” Aiden melukiskan senyum paksa dan duduk dengan tegap.
Memindahkan tangannya di atas kemudi.

Helene masih tertunduk. Dia tidak bisa membalas ucapan Aiden. Karena dia tidak yakin jika dia dapat membalas perasaan pria itu. Karena sampai kapan pun… sesuai dengan janjinya kepada Liam… dia akan tetap mencintai pria itu. Walaupun Liam sudah tidak bisa dia sentuh dan dia lihat lagi.

TBC

  _____

Note: hi everyone, im back bringing this story of Liam, Helene, and Aiden. Hope you will like it, sorry for the super late update. I'm working on it. Thank you for all the votes, comments, and supports.

Love by, Ann

CHOOSE YOUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang