BAB 28

843 93 15
                                    

Aiden memakirkan mobilnya di basement dan membuka sabuk pengamannya. Ia melihat Helene yang terlelap disampingnya dengan hangat sebelum memutuskan untuk keluar dari mobil dan menggendong istrinya karena tidak tega membangunkannya. Suara gumaman kecil terdengar saat kepala Helene mendarat di pundaknya, seolah mencari posisi nyaman untuk tidurnya. Ketika Aiden memasuki lobi apartemen, Gina Lyn--sekretarinya berdiri dan berbicara kepadanya.

"Pak Aiden, maafkan saya karena menelepon bapak pagi-pagi sekali--"

Aiden menempelkan telunjuknya di bibirnya sendiri agar sekretarisnya tidak melanjutkan. Ia kembali memeriksa Helene yang nampaknya masih tetap tertidur dan menyuruh sekretarisnya menunggu karena ia harus mengantarkan Helene ke kamar mereka.

"Temui aku disini satu jam lagi," kata Aiden tanpa mengeluarkan suaranya agar tidak membangunkan Helene.

Ukuran ranjang yang begitu besar membuat Helene terlihat mungil saat ia membaringkan istrinya. Aiden mengatur kacamatanya yang agak turun ketika ia menunduk untuk membaringkan Helene dan pria itu tersenyum melihat Helene yang menggeliat mencari posisi nyaman. Pria itu kemudian membuatkan kopi untuk dirinya sendiri dan membuka laptopnya. Ia harus memundurkan dua rapat penting hari ini karena Davinna yang meneleponnya pagi-pagi sekali. Untuk itu ia harus menyelesaikan beberapa pekerjaan dalam waktu kurang dari satu jam.

"Aiden?" Helene memanggilnya ketika dia melihat bahwa sekarang dia sedang terbaring di atas ranjang besar tanpa Aiden disampingnya. Pria itu melupakan pekerjaannya dan mendekati Helene. "Kamu sudah bangun?"

"Apa kita sudah di Manchester?" Helene melihat sekelilingnya dan dia merasa sangat bingung. "Where are we, Aiden?"

"Yang pertama, kita harus tidur di apartemen ini untuk satu minggu ke depan dan yang kedua, aku minta maaf karena satu jam lagi aku punya rapat dan harus meninggalkan kamu." Aiden tahu dia sedang berbohong ketika dia mengatakan bahwa dia punya rapat tapi dia tidak bisa menemukan alasan lain lagi.

"Oh."

"Kamu tidak apa-apa disini sendiri?" tanya Aiden kepadanya dan perempuan itu mengangguk. "Apa aku bisa berkeliling?" Helene bertanya dan hal itu membuat Aiden tersenyum. Helene sangat menggemaskan.

"Tentu saja. But make sure you're not lost. Okay?"

"Jam berapa kamu akan kembali?"

"Here's the thing, Len. Just call me when you need me."

Helene menggangguk dan dia tersenyum. Helene mendekati Aiden dan merapikan kameja pria itu yang agak berantakan. "Apa kamu akan pergi sekarang?"

Aiden hanya diam dan tidak menjawabnya. Terlalu terkejut dengan apa yang istrinya lakukan kepadanya. "Aku bisa mengikat dasi kamu kalau kamu mau."

Aiden tidak mengerti dengan apa yang baru saja ia dengar. Perkataan Helene membuat alisnya mengerut dan membuatnya harus memperbaiki kacamatanya untuk menatap wajah Helene lebih jelas. "Kamu apa?" tanya Aiden kepadanya.

"Aku bisa mengikat dasi kamu kalau kamu mau."

"..."

Helene mengerti apa yang membuat suaminya bingung maka daripada itu Helene menjelaskan, "Teman saling membantu, bukan? Aku akan membantu kamu kalau kamu mau, Aiden."

"Ah..Oh.." Aiden kebingungan dan dia kembali memperbaiki kacamatanya.

"Bagaimana, Aiden?"

"Bagaimana apa?"

"Dasi. Dasi kamu mau aku ikatkan?"

Untuk pertama kali Aiden tidak bisa menjawab pertanyaan Helene. Meski terdengar sangat biasa, tapi Aiden tahu jika itu adalah hal yang bukan biasa bagi dirinya. Helene tidak pernah mengikat dasinya apalagi bertanya seperti tadi. Aiden menelan ludahnya dan menyadari satu hal yang sangat ingin ia miliki. Helene Allard adalah jawabannya.

*

"Dua latte dan satu espresso," kata Davinna kepada Aiden ketika pria itu datang di restoran yang tidak jauh dari hotelnya. Wajahnya terlihat kesal dan Aiden tahu, jika Davinna memesan kopi sebanyak itu hanya untuk dirinya sendiri itu berarti Davinna bukan hanya sekedar marah kepadanya. Wanita itu lebih dari marah.

"Kamu yakin kamu bisa meminum semuanya?"

Davinna tidak menjawab dan memilih melihat tempat lain. Ia mengabaikan Aiden yang kini sudah menjauh untuk memesan pesanannya. Ketika pria itu kembali, Davinna memberikan dokumen kepada Aiden Martin yang harus pria itu baca kembali.

"Apa ini?"

"Rules. Baca kembali aturannya karena kamu sudah bertindak terlalu jauh kepada Helene Allard."

"Aku membacanya dua tahun yang lalu dan mengingatnya dengan jelas, Vin. Just tell me what you want."

"Apa kamu sudah kehilangan akal sehat kamu, Aiden? Liam tidak meminta kamu untuk menggunakan hati kamu ketika kamu menikahinya. Aku tidak pernah mengira kamu akan jatuh cinta kepadanya," kata Davinna dengan kesal. Ketika pesanannya datang, secepatnya ia meminum kopinya dan mengambil napas dalam sebelum melanjutkan, "Liam dan aku tidak pernah sekalipun berbagi tempat tidur. Kamu sudah sangat keluar dari batasan kamu, Aiden. Aku membenci kamu."

Aiden melepas kacamatanya dan melihat Davinna yang kini sudah menangis. Ia memijat pelipisnya dan mencoba menjelaskan apa yang ingin ia katakan dengan kalimat yang mudah dimengerti Davinna. "Vin, biar aku luruskan semua ini. Yang pertama aku tidak pernah menginginkan rencana ini. Liam adalah sahabat kita berdua dan aku juga menganggapnya seperti saudara sendiri. Tapi ketika dia membuat rencana konyol ini, aku tidak pernah menyetujuinya. Aku mencintai kamu dan sangat tergila-gila dengan kamu itu adalah alasan aku menerima permintaan kamu untuk menikahi Helene."

"He's sick, Aiden!" seru Davinna kepadanya.

"Aku tahu dan aku mengkhawatirkannya."

"Dan kenapa kamu menyalahkan Liam karena hal ini?"

"Aku tidak pernah menyalahkan Liam, Vin. Tapi rencana konyol dia."

Davinna mengambil tissue dan menyeka air matanya. Lalu kemudian ia kembali meminum kopinya sampai habis. "Mama dan papa aku tidak pernah menyukai kamu, Aiden. Tapi aku tetap memaksa karena aku mencintai kamu."

"Then why are you agree with him, Vin? Kamu tidak pernah memberikan aku alasan yang jelas kenapa kamu bersikeras untuk bertunangan dengan Liam."

Davinna terdiam karena ia tidak bisa menjawabnya. Kedua kopinya sudah ia habiskan tapi tetap saja tidak bisa membuat rasa marahnya hilang. "Don't fall in love with her, Aiden. I'm begging you. Aku mencintai kamu bertahun-tahun."

Aiden tidak bisa menatap mata Davinna ketika ia menjawab, "Kamu tahu aku akan melakukan apapun yang kamu mau. So please, please Davinna Kinsey, aku tidak bisa melakukan ini lebih lama lagi. Aku tidak mau menyakitinya."

Davinna melipat bibirnya ke dalam dan menghabiskan sisa kopinya. "She had enough, i know. Liam adalah satu-satunya pria yang ia cintai, Aiden. Jangan berusaha lebih keras lagi untuk membuatnya berbicara kepadamu. Liam adalah pria yang selalu menepati janjinya."

Rasa marah entah kenapa mengusiknya mendengar perkataan Davinna Kinsey. Menepati janji? Liam Argent meninggalkan Helene di bandara dengan janji untuk menikahinya ketika ia pulang. But he never did. Liam tidak pernah kembali untuk menikahi Helene. "Aku harus pergi sekarang, Davinna. Helene pasti mencari aku," ucap Aiden datar dan berdiri bersiap meninggalkan Davinna tetapi wanita itu menahan tangannya.

"Jangan melibatkan perasaan kamu lebih jauh, Aiden."

"..."

"He's going to claim what is his, Aiden."

TBC

***

Note : So, tell me. Aiden Davinna atau Aiden Helene nih? 

Love by, Ann

CHOOSE YOUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang