BAB 39

748 99 8
                                    

Helene pergi ke balkon kamar mereka dan menangis. Ia terus menangis mengingat perkataan Davinna. Butiran salju mengenai pipinya yang memanas. "Helene," panggil Aiden kepadanya.

"Don't you dare to call my name, Aiden Martin."

"Please, dengarkan dulu." Aiden mendekat dan Helene menjauh. "Ayo kita masuk ke kamar dulu. Disini sangat dingin." Aiden mengulurkan tangannya dan Helene mengabaikannya.

"Davinna-- Dia memang seperti itu jika sedang marah. Dia akan membuat orang lain bertengkar karena masalah dia sendiri. Hal yang perlu kamu tahu disini, aku tidak pernah menanyakan atau menceritakan itu kepadanya. Dia hanya sedang marah padaku."

"Go ahead, Aiden. Aku tidak mau mendengarkan kamu. Sex, right? Fuck other girls, Aiden. Jangan aku." Helene menghapus air matanya yang semakin gencar turun entah mengapa. Tapi mengetahui kenyataan bahwa alasan Aiden melakukan ini semua karena sex, membuat Helene merasa sangat rendah.

"Len, bukan seperti itu. Please, look at me." Aiden meraih tangannya dan langsung ditepis wanita itu. "Tangan kamu sangat dingin, Len. Ayo kita masuk dulu."

"Kamu memanfaatkan aku, kan? You want sex. That's it. Kamu menikahi aku untuk apa Aiden? Sex? Demi Tuhan! Kenapa aku? kenapa harus aku?" Helene membalikkan tubuhnya untuk berhadapan dengan wajah sendu Aiden. Pria itu dapat melihat matanya yang bengkak karena menangis. "Liam... Aku mencoba melupakan Liam, untuk kamu. Aku ingin melupakan masa lalu aku untuk kamu. Aku tidak pernah ingin menikahi kamu, Aiden Martin. So why me?"

Aiden kehilangan kata-katanya. Ia tidak bisa mengatakan satu katapun melihat sisi rapuh Helene. Liam mengkhianatinya dan ia juga akan mengkhianati istrinya sendiri. "Len," panggilnya dengan lembut. Tapi Helene tidak menggubrisnya.

"Please, dengarkan aku dulu." Aiden menarik pergelangan tangan Helene dan membawanya ke dalam kamar mereka. Wanita itu tidak mau melihatnya dan Aiden mengerti. Ia dengan sabar menunggu Helene untuk menatapnya seraya menjelaskan, "Apapun yang dikatakan Davinna, aku bisa menjelaskan semuanya. Aku tidak pernah memaksakan kamu untuk melakukan hal yang tidak ingin kamu lakukan sejak hari pertama kamu menjadi istri aku. Did i ever forced you, Len?"

"..."

Helene menatapnya dengan matanya yang berair. Pipinya memerah karena menangis. "No," jawabnya. Aiden menatapnya dengan lembut dan menarik tubuh Helene agar ia bisa memeluknya. "Kamu selalu sabar dengan aku," ucap Helene disela-sela tangisnya. "Kamu tidak pernah marah kepadaku. Kamu selalu bersikap lembut." Helene menatap Aiden dengan mata bengkaknya dan berbicara dengan sesegukkan. "Apa Davinna mengatakan itu hanya karena marah saja?"

Aiden mengangguk dan mengecup pucuk kepala Helene. "Kamu tidak berbohong?" tanya wanita itu dan kali ini Aiden menggeleng. Ia tidak berbohong karena Davinna melakukan itu karena ia marah kepadanya. "Davinna selalu seperti itu?" Helene bertanya lagi. Kali ini Aiden menjawab di atas pucuk kepalanya, "Sometimes."

Davinna selalu memarahinya jika ia berbicara kepada orang lain. Davinna selalu membuatnya bertengkar dengan orang lain karena mengabaikannya. Dia akan melakukan itu kepada Aiden jika dia sedang marah. Aiden kemudian berbicara lagi kepada Helene, "Dia selalu marah jika aku mengabaikannya."

"Kenapa?"

"I don't know, Len. Dia membutuhkan aku."

Helene mendongak dan ia mengatakan kalimat yang tidak pernah ia katakan sebelumnya kepada suaminya, "Aku juga membutuhkan kamu, Aiden." Aiden tersenyum dan ia mendengar Helene menekan kalimat itu lagi. "Aku membutuhkan kamu."

*

Davinna Kinsey menggunakan kamar tidur tamu malam itu ketika ia mengacaukan makan malam mereka bertiga. Ia terbangun pagi harinya dan mendengar tawa Helene dan Aiden di luar kamarnya. Oh, mereka sudah tidak bertengkar. Pikir Davinna. Ia keluar dari kamarnya dengan hanya menggunakan kaos yang diberikan Helene tadi malam tanpa menggunakan celananya.

CHOOSE YOUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang