BAB 18

1.3K 91 2
                                    

“...but unfortunately, the prince is never come back for his princess. He is broke his promises. The end.” Helene menutup buku yang dia baca dengan senyum sedih. Begitu juga dengan anak-anak yang mendengarkan dongeng yang dia bacakan, mereka tertunduk dan ada yang lain menipiskan bibir mereka.

“Kenapa pangerannya tidak pernah datang?” Seorang gadis kecil mengangkat tangannya ke atas dan bertanya dengan penuh keingintahuan kepada Helene.

Helene tersenyum. Pertanyaan yang diajukan itu sama persis seperti apa yang selalu ditanyakan oleh benaknya. Kenapa Liam tidak pernah datang? Meskipun semua orang telah meyakinkannya bahwa Liam telah tewas karena kecelakaan pesawat itu, Helene yakin seratus persen bahwa Liam tidak meninggal.  Tidak di dalam hati dan juga ingatannya.

Miss Martin?” panggil gadis yang bertanya saat Helene masih diam dan tidak menjawab.

Because the prince is waiting for his princess to find him…” Jelas Helene yang sama sekali tidak mengerti dengan kalimat yang baru saja dia ucapkan. Tapi kemudian Helene kembali melanjutkan,
“…or may be the prince is waiting his princess in the other side.”

“Other side?” kali ini seorang anak laki-laki bertanya.

Heaven. Class is over.”  Tutup Helene sebagai akhir dari ceritanya. Dia tersenyum dan berdiri dari duduknya. Merapikan pakaiannya dan kemudian memeriksa kotak pesan untuk menunggu pesan dari Aiden.

Aiden Martin : Lima belas menit lagi aku sampai.

Helene Martin : Ok.

Aiden Martin : I love you.

Helene Martin : ...

Helene mematikan layar ponselnya setelah dia menjawabnya dengan emoji smile. Helene tidak bisa membohongi perasaannya sendiri bahwa hatinya masih belum bisa menerima orang lain selain Liam. Karena selamanya, Helene tahu jika nama Liam Argent tidak pernah pudar dari hatinya. Pernikahan antara dia dan Aiden bukanlah seperti pernikahan pada umumnya. Tidak…tidak seperti itu. semuanya sama sekali tidak berlandaskan cinta—atau mungkin hanya dirinya saja.

But, dari awal Aiden tahu, jika seorang Liam Argent adalah pria yang dicintai dan akan selalu dicintai oleh Helene.

“HAHAH…” Helene terikik geli ketika seseorang tiba-tiba saja terpeleset di depannya dengan kopi panas yang secara langsung mengenai kameja putihnya.

“Kalau berjalan gunakan mata dan juga kaki kamu, HAHAH..”

Fuck,” maki pria itu. Tertawa kecil sambil mengedahkan kepalanya ke belakang agar bisa bertatapan langsung dengan Helene.

“Kamu senang aku jatuh?” tanyanya dengan tatapan menuduh.

Helene tersenyum dan berjongkok di hadapannya. “Aku senang karena kamu jatuh kepada aku.” Helene memajukan kepalanya dan mengecup bibir pria itu.

“Aku senang karena kamu jatuh cinta kepada aku, Liam.”

Liam tidak membiarkan Helene menjauh begitu saja ketika perempuan itu selesai mengecupnya. Pria itu menarik tengkuk Helene dan lebih memperdalam ciuman mereka. Melupakan rasa panas kopi yang menjalar di tubuhnya. Karena for god sake, gairahnya malah mengambil alih rasa panas itu. Membakarnya untuk menjejalkan lidahnya di setiap inchi tubuh Helene.

You make me turn on by saying those words.” Liam menggigit bibir Helene dan menariknya ke atas pangkuannya. Merekatkan tubuh mereka berdua untuk mendapat sentuhan lebih.

“What words?” Helene menggodanya.

Don’t pretend you don’t know it. You said that a minutes ago,” ucap Liam. Tidak terganggu dan malah makin gencar melakukan aksinya.

“I forgot.” Helene mendongakkan kepalanya ketika Liam menjelajahi lehernya dengan gigi dan lidahnya. Membuat tanda kepemilikan.

“Kamu bilang kamu senang karena aku jatuh cinta kepada kamu.” Liam menyerah dan menjauhkan kepala mereka untuk menarik oksigen sebanyak-banyaknya. Dia mengelus pipi Helene dengan sayang dan menatap kedua mata Helene.

God, I love you so much…” gumam Liam kemudian mengecup bibir Helene lagi.

“Aku sangat mencintai kamu. Ingat itu, jangan melupakannya.” Liam saling menempelkan dahi mereka dan mengusap bibir Helene.

I won’t,” jawab Helene.

“Good girl.”

Helene mengernyitkan matanya ketika cahaya yang begitu terang menyilaukan pandangannya. Dia seketika kembali tersadar dan menyadari jika itu adalah mobil Aiden. Dengan segera Helene berjalan dan masuk ke dalam sana.

Ketika Aiden mematikan mesin mobilnya dan memutuskan untuk berhenti dan membuat keheningan yang membuat Helene tidak nyaman,  sebuah kalimat tiba-tiba saja keluar dari mulut Helene.

“I’m sorry.” Helene menunduk.

Please stop. Stop saying that you’re sorry. I’m okay with you that always remembering Liam. Tapi apa kamu bisa untuk tidak memikirkannya saat sedang bersama aku?” Aiden meletakkan tangannya di atas stir mobil. Enggan melihat ke arah Helene. Amarah jelas saja selalu menghentak hatinya. Suami macam apa yang tidak cemburu atau marah ketika istrinya selalu mengingat lelaki lain saat mereka bersama.

“Berapa lama?” Helene bertanya. Menyadari kesalahannya.

“Lima belas menit aku menunggu kamu di dalam sini. Dan kamu hanya berdiri termenung sambil memikirkan pria yang bahkan sudah tidak ada di dunia ini dengan senyum paling bahagia yang tidak pernah aku lihat sebelumnya.”

“Kenapa kamu tidak turun?” Helene memang benci ketika mereka harus kesekian kalinya berdebat. Dia tahu dia salah tapi hatinya masih belum bisa menerima perkataan Aiden yang mengatakan bahwa Liam telah meninggal.

“Karena aku ingin kamu menyadari kehadiran aku.” Aiden menghela napas lelah. Selalu seperti ini. “Kamu istri aku, benar?”

Yes.” Helene menjawab sekenanya. Tidak melihat ke arah Aiden yang sudah membalikkan badan untuk bisa berhadapannya.

Please, Helene. Coba pikirkan tentang aku. Bukan pria lain.” Nada bermohon dari Aiden selalu saja terdengar biasa di telinga Helene. Perempuan itu memang merasa bersalah, tapi dia tetap tidak bisa melakukan semua hal yang dipinta Aiden begitu saja.

“Aku…” Helene menghentikan kata-katanya.

“Kamu butuh waktu? Berapa lama lagi, Hm?” Aiden menyandarkan tubuhnya. Memejamkan matanya dengan rasa penat.

“Aiden… Kenapa kamu mau menikahi aku?” Helene bertanya pada akhirnya. Sebuah pertanyaan yang sudah terlalu sering dia tanyakan kepada Aiden ketika mereka bertengkar.

Aiden menatapnya tak percaya. Pria itu tertawa. Tawa yang sama sekali tak sampai ke matanya. “Kamu tahu jawabannya,” jawab Aiden.

“Karena kamu mencintai aku?” Helene bertanya kepada Aiden tentang jawaban yang selalu dijawab Aiden ketika dia bertanya hal yang serupa.

“Apa itu masih kurang jelas, Helene?”

“Kenapa kamu mencintai aku padahal kamu dari awal tahu bahwa aku tidak bisa melupakannya?”

“Kita tidak akan membahas ini.”

“Kenapa kamu tidak mau menjawabnya?”

Stop it, Helene. Pembicaraan kita selesai.” Aiden menyalakan mesin mobil. Dia benar-benar tidak ingin menjawab itu karena dia sudah sangat lelah untuk berpikir lagi.

TBC

***

note : jangan lupa, vote, comment dan si share yaa. makasih sudah mau menunggu selama ini.

Love by, Ann

CHOOSE YOUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang