BAB 23

1K 89 3
                                    

 Enam tahun yang lalu...

"Aku tidak ingin menghabiskan sisa umur aku di rumah sakit yang payah ini dengan infus dan tatapan menyedihkan dari orang-orang," Liam bersandar di kepala ranjang rumah sakit dan menatap wanita di depannya dengan bersungguh-sungguh.

"Liam, kita semua mengkhawatirkan diri kamu."

Liam terkekeh sebentar dan menatap sahabatnya itu dengan tatapan tidak percaya. "Your friend is going to die, Vin," katanya kepada Davinna yang langsun dihadiahi pukulan pelan dibahunya.

"Don't you dare to say that!"

"It's true, Vin. Sialan, mereka bahkan telah memprediksi umur aku," desah Liam yang kemudian memejamkan matanya. Bau Rumah Sakit dan juga jarum infus ditangannya adalah hal yang paling tidak dia sukai.

"Liam!"

"Aiden mana?" Liam tidak menanggapi protes Davinna dan malah bertanya mengenai sahabatnya yang satu.

"Aku tidak akan menjawab pertanyaan kamu sebelum kamu menarik kata-kata kamu." Davinna melipat kedua tangannya di dada dan menyatukan keningnya tidak suka. Dia tidak suka ketika Liam bersikap seolah-olah dia sudah tidak mempunyai harapan.

Liam tertawa mendengar kalimat Davinna--lebih khususnya saat pria itu melihat ekspresi gadis itu yang kesal. "Aku akan mati lima tahun lagi, Vin. Aku akan mati di umurku yang ke dua puluh tiga tahun. Ck," Liam berdecak sebal dan melanjutkan.

"Sound sucks, right?"

"Kamu tidak akan mati," balas Davinna sambil memajukan tubuhnya ke depan dan mencubit tangan Liam.

"Ah, aku bahkan belum pernah merasakan teler hingga pagi dan terbangun dengan beberapa wanita di kasur aku," keluhnya dengan serius dan malah membuat wanita di depannya semakin geram.

"You jerk--"

"Aku ingin merasakannya, Vin. Bersenang-senang sebelum hari itu tiba--hari dimana kamu dan Aiden melihat aku dengan tatapan--ck," Liam berdecak sekali lagi. "Mengasihani."

"Kamu tuli ya, Liam? Kamu tidak akan mati, at least not now dan tidak untuk lima tahun ke depan! Fuck what doctors say--you're going to live!"

"Vin--"

"Dasar brengsek keras kepala. Bisa kali ini kamu mendengar apa kata Davinna?" Aiden tiba-tiba saja masuk dengan dua cup coffee di tangannya. Pria itu memotong ucapan Liam dan memberikan kopinya kepada Davinna.

"Kalian berdua yang harus mendengarkan aku. Sahabat kalian yang satu ini akan segera mati--Shit! Fuck you, Aiden!" Liam mengumpat dengan keras dan tidak dapat melanjutkan kalimat saat Aiden menuangkan kopi panasnya di tangan Liam.

"Itu panas, sialan!!" Liam sekali lagi mengumpat sementara Davinna dan Aiden malah tertawa terbahak-bahak.

"Makanya berhenti untuk memikirkan kematian kamu--fuck, Liam. Kamu akan hidup lebih lama dari apa yang dikatakan dokter itu."

"You both--"

"Yes, definitely right. Kamu memprotes sekali lagi dan aku akan melakukan hal yang sama persis dengan apa yang dilakukan Aiden."

Liam memutar bola matanya. "Aku akan terbang ke London."

"Kamu gila," kata Aiden.

"Tidak akan pernah terjadi." Davinna menambahkan seraya menggelengkan kepalanya.

"Aku akan menghabiskan sisa umur aku di London. Have sex, get drunk, and drive as fast as i can."

Aiden dan Davinna saling memandang satu sama lain lalu menatap Liam sekali lagi.

"Kamu tidak akan pernah keluar dari kamar ini, sampai kamu benar-benar sembuh," kata Davinna kepadanya.

"Really, Vin? Liam Argent akan melakukan apapun yang dia inginkan tanpa persetujuan dari kalian berdua."

"No, you are not, sialan."

"Yes, i am. Aku berjanji aku akan baik-baik saja."

"Apa kamu sudah gila?"

"Aku akan menjadi sangat gila jika lima tahun sisa umur aku dan aku hanya akan berdiam diri disini, menatap wajah kalian berdua yang membosankan dan mendengar kalimat yang sama dari para dokter dan suster setiap harinya."

"Liam--"

"I'm going to die. Face it. Dan aku akan melakukan apa yang aku inginkan sebelum aku benar-benar sekarat."

Aiden hanya diam mendengarkan itu. Sementara Davinna menatapnya dengan tatapan menuntut agar pria itu membantunya untuk memaksa Liam agar tetap tinggal.

"Vin, jika kalian berdua berada di posisi aku, kalian pasti akan melakukan hal yang sama."

"Tapi itu bukan pilihan--"

"Kalian ingin aku untuk tidak berhenti berharap? Well, then let me. Aku akan menikmati hidup aku dan Bersenang-senang. Siapa tahu i'll fine my hope after that." Liam mengangkat bahunya enteng dan melihat ekspresi kedua sahabatnya.

"Tenang saja. Setiap sebulan sekali aku akan berangkat dan menemui kalian disini serta memeriksa keadaan aku. Take it easy, guys."

TBC

***

Note : Cerita ini akan terbilang rumit jika kalian tidak menemukan bagian yang berkaitan di setiap part cerita yang sudah saya publikasikan. Baca, pahami dan kalian akan tahu. Jadi sejauh ini kalian team siapa? Liam atau Aiden? Hehe..

Love by, Ann.

CHOOSE YOUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang