BAB 40

871 110 23
                                    

Pagi itu ketika Aiden melihat meja kerjanya, ia memanggil dan memarahi sekretarisnya-- Gina Lyn. Wanita dua puluh delapan tahun itu menumpahkan kopinya di atas berkas - berkas penting yang harus ia selesaikan hari ini juga. Wanita itu terlihat ketakutan karena suara tegas dan dalamnya yang mengintimidasi seisi ruangan.

"Kamu saya pecat, Gina Lyn. Saya tidak mau memperkerjakan orang ceroboh untuk posisi ini. Kamu tahu saya harus menyelesaikan berkas itu hari ini juga dan kamu mengacaukannya. Keluar dari ruangan saya, Gina Lyn."

"Pak Aiden, saya bisa menjelaskan--" Gina mencoba menjelaskan seraya membersihkan tumpahan kopi dan gelas yang berserakan di atas meja Aiden. 

"Keluar dari ruangan saya sekarang, Gina." Aiden menekankan kata - katanya dengan tegas dan Gina Lyn tahu jika ia tidak berbicara untuk dirinya, ia akan kehilangan karirnya, "Ibu Davinna Kinsey-- baru saja keluar dari ruangan bapak dan saya sama sekali belum masuk," kata Gina menjelaskan apa yang terjadi sebenarnya.

"Davinna? Untuk apa lagi dia datang kesini?" Aiden menatapnya meminta penjelasan dan Gina mengerti. Ia kemudian memberikan amplop coklat kepada Aiden dan berbicara, "Amplop ini baru saja dikirimkan pagi ini di meja saya kemudian ibu Davinna keluar dari ruangan bapak. Saya tidak tahu bagaimana--"

Aiden menarik amplop itu tanpa mendengar penjelasan Gina lalu membukanya. Ketika ia melihat isinya, Aiden melepaskan kacamatanya dan memijat pangkal hidungnya, "Tolong keluar dari ruangan saya, Gina."

Gina menatapnya bingung dan bertanya untuk memastikan, "Apa saya dipecat, pak?"

Untuk pertama kalinya Gina Lyn melihat Aiden Martin merobek dokumen dihadapannya hingga menjadi serpihan. "Apa kamu membaca isinya?" Aiden bertanya tanpa menatap Gina. Ia terdengar sangat marah dan Gina menggeleng membuat amarah Aiden lebih melunjak. "Gunakan mulut kamu dengan baik, Miss Lyn. Sekali lagi kamu tidak menjawab, saya pastikan tidak ada perusahaan yang mau menerima kamu. Sekarang tolong keluar dari ruangan saya."

Gina menjawab secepatnya dengan terbata-bata sebelum keluar, "Baik, pak Aiden. Terimakasih banyak."

Aiden Martin yang merupakan CEO Martin Inc. menelepon Davinna dengan amarahnya yang melunjak meminta penjelasan. "Jelaskan kepada aku mengapa ada surat perceraian antara aku dan Helene di meja sekretaris aku, Davinna? Aku tidak mengerti lagi jalan pikiran kamu dan Liam karena kalian berdua sama saja. Kamu dan Liam meminta aku untuk menikahinya agar aku bisa melepaskannya dari keluarganya yang selalu memperlakukannya dengan buruk untuk menceraikanya ketika ia sudah percaya padaku?"

"..."

Aiden meremas ponselnya ketika pintunya terbuka dan menampakan Liam Argent dengan ponsel Davinna di telinganya. "Biar aku perjelas lagi bagaimana kita melakukan ini, Aiden Martin." Pria itu masuk disusul Davinna dibelakangnya yang menangis. "Yang pertama, aku tidak meminta kamu untuk jatuh cinta kepadanya. Yang kedua, aku tidak meminta kamu untuk membuat dia mempercayai kamu. Yang ketiga, she's mine, Aiden."

"..."

"Ceraikan Helene satu bulan lagi, Aiden. Sudah aku katakan mama ingin bertemu dengan kamu untuk membicarakan pernikahan kita berdua." Davinna berbicara dengan sisa tangisnya. Tapi Aiden tidak peduli. Ia tidak ingin menyakiti Helene maka dari itu ia menjawab.

"Aku tidak bisa."

"Aiden Martin, don't try me," kata Liam Argent.

"Jika kamu tidak mau menceraikannya, aku akan mengatakan kepada Liam bahwa kamu--" Davinna menjeda ucapannya ketika Aiden menatapnya dengan tatapan yang membuat nyalinya menciut.

"Apa yang ingin kamu katakan kepada aku Davinna?" tanya Liam dan Aiden berdiri dari duduknya dengan berkas yang sudah ia robek. "You both are the most selfish person i've known. Maafkan aku, Davinna. Aku tidak akan menceraikan Helene. Dan kamu, Liam, i'm so sorry bro, but she had enough. Aku tidak percaya kamu meninggalkan wanita yang kamu cintai hanya untuk bertunangan dengan Davinna."

"Aiden!" seru Davinna tidak terima sebelum Gina masuk untuk membawa kopi baru untuk Aiden. "Pak Aiden, ibu Helene baru saja tiba dan menunggu di depan untuk bertemu dengan bapak." Gina melihat Davinna yang menghapus air matanya dan ia menunduk. Ia tidak mau di pecat karena mencampuri urusan ini. "Saya permisi," kata Gina setelah meletakkan kopi di atas meja Aiden. 

Aiden Martin melepaskan dasinya dan kacamatanya lalu memijat pangkal hidungnya lagi. "Sekarang bagaimana, Liam? Kita bertiga akan mengaku sekarang kepadanya dan menyakitinya dengan cara paling egois." Aiden bertanya dan ia bisa melihat jika Liam terlihat berantakan. Pria  itu berdiri lalu menatap Davinna yang masih menangis sebelum berbicara kepada Aiden, "Please, Aiden. Satu bulan lagi, ya? Aku sudah sangat muak dengan semua ini, so please my friend, help me."

Aiden tidak mengerti apa yang membuat Liam dan Davinna tetap berdiri pada rencana bodoh ini. Ia menyayangi mereka berdua dan ia tidak ingin menyakiti Helene yang sama sekali tidak mempunyai satu kesalahan sama sekali. "Berikan aku satu alasan, Liam. Kalian berdua sangat bersikeras untuk ini, give me a reason. Why?"

Untuk yang kedua kalinya Liam menatap Davinna dengan tatapan yang tidak bisa Aiden mengerti. Liam Argent terlihat frustasi dan menjawab, "Satu bulan, Aiden. Aku janji satu bulan lagi dan ini semua akan berakhir."

Aiden menatap mereka berdua dalam diam dan tidak mengerti. "Satu bulan," jawab Aiden pada akhirnya dan berjalan keluar untuk menemui Helene. Tapi sebelum ia melakukannya, Aiden menatap wanita yang kini sedang memakai gaun kuning selutut dan kotak makanan untuknya sedang tersenyum kepadanya di depan pintu.

"Hai," sapa Helene kepadanya.

"..."

"Kamu meninggalkan kotak makanan kamu di meja. Jadi aku memutuskan untuk mengantarkan ini kepada kamu."

Aiden tidak bisa menemukan kata-katanya dan memilih untuk mendekat dan memeluk wanita itu dengan erat. "Maafkan aku," kata Aiden. Ia melepaskan pelukannya dan mengelus pipi wanita itu sekali lagi, "Maafkan aku."

Wanita itu tidak mengerti kenapa Aiden terus meminta maaf kepadanya hanya karena ia lupa membawa kotak makanannya. "Tidak apa-apa, Aiden. Aku sama sekali tidak keberatan membawa...." Helene Allard yakin jika ia kehilangan napasnya ketika ia melihat pria yang sedang duduk di sofa sembari membaca berkas di tangannya.

"Aku tidak mengerti..." Helene melepaskan pelukan mereka berdua dan ia berjalan untuk melihat lebih dekat. Ia mengenalinya, wajah itu sangat familiar. "Aiden, is that..." Helene yakin ketika ia menyebut nama Aiden, bibirnya bergetar. 

"Alright, Mr. Martin. I'll see you next week." Pria itu berjalan tepat dihadapan Helene untuk bersalaman dengan Aiden. Lututnya sangat lemas dan pandangannya berkunang-kunang ketika ia menyadari jika suara dan wajah pria itu membawanya kembali kepada masa lalunya. Menarik dirinya untuk kembali terjebak dengan rasa sakit itu. 

"Liam?" gumamnya hampir tidak terdengar. Ia akan jatuh saat ini juga jika Aiden tidak menahan tangannya. "Liam Argent?" Helene bertanya dengan kerinduannya yang menyatu dengan rasa sakitnya. 

"Excuse me?" Liam menatapnya, pria itu menatap lurus menembus iris birunya dan pada saat itu juga ia yakin jika ia telah kehilangan kesadarannya saat pria itu menatapnya dengan tatapan asing dan dingin. 

TBC

***

Note : Jika kalian menemukan typo/ kesalahan kata tolong ditandai ya. 

Sabar ya teman-teman konfliknya baru saja dimulai wkwk. Bisa dapat berapa vote nih untuk bab selanjutnya? 80 vote bisa ga nih? wkwk.

Love by, Ann

CHOOSE YOUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang