BAB 42

859 104 9
                                    

Ketika cahaya mentari masuk menembus gorden putih yang ada di kamar mereka, Helene mengerjapkan kedua matanya. Ia merasakan sesuatu yang berat melingkari perut telanjangnya dan ia menangis. Hampir seluruh hidupnya bergantung kepada Liam Argent, sebelum Aiden datang menikahinya. Ironisnya, kebohongan ternyata menjadi awal pernikahan mereka.

"Len?" itu suara parau Aiden yang mungkin sudah terbangun karena tangisannya. Helene makin meringkuk di balik selimut, memastikan pria itu tidak dapat melihatnya. "Len, sayang," panggil Aiden lagi yang semakin membuat dirinya merasa lemah.

"Please make it stop," lirih wanita itu. Sekuat tenaga menahan dirinya untuk tidak pecah dalam kesedihannya. "Leave me alone," katanya kepada Aiden.

Aiden tidak akan memaksakan Helene untuk melihatnya. Ia menatap langit-langit kamar mereka dan menghembuskan napas lelahnya. "Hit me, if you want to hit me, Len. Aku tidak akan melarang kamu."

Bahu Helene semakin bergetar dan suara tangisannya tidak bisa ia tahan lagi. Ia tidak ingin menatap Aiden sama sekali. Karena semakin ia melihat pria itu, ia akan semakin membenci dirinya sendiri. "Go away, Aiden."

"Liam," ucap Aiden. "Kamu sangat mencintai Liam walaupun dia telah meninggalkan kamu. Kamu sangat mencintainya sampai kamu tidak memikirkan diri kamu sendiri. He is so lucky, Len. Liam sangat beruntung memiliki kamu yang terus mencintainya tidak peduli sesering apa kamu menangis karenanya."

Tidak ada jawaban. Yang ada hanya ringisan tangis yang tidak berhenti turun. Bahu yang bergetar mengingat masa lalunya. Cerita yang belum selesai, yang datang kembali mengahantuinya. Helene Allard tidak mengerti lagi mana yang benar dan mana yang salah. Mana ilusi dan mana kenyataan. Semuanya menjadi abu-abu.

"Apa yang kita lakukan belakangan ini, aku menyukainya, Len. Perhatian kamu, manjanya kamu, keras kepalanya kamu, aku menyukai semuanya, Len."

Helene Allard mengambil bantal dan menutup telinganya agar ia tidak bisa mendengar kelanjutannya. Ia membenci dirinya sendiri. "Stop, Aiden. Please just stop."

"Aku tidak akan melepaskan kamu."

"Please, Aiden!" mohon Helene. Ia membuka selimutnya dan menangis dihadapan pria itu. "Aku muak dengan kalimat itu dan aku muak dengan semua ini!"

"I have hope, Aiden. I have hope, ketika Liam hilang. Aku menunggunya, aku setia menunggunya  sebelum kamu datang dan melamar aku dengan alasan cinta bodoh itu. Kamu tidak pernah mencintai aku, Aiden Martin. Aku tidak tahu kenapa Liam ada di dalam kantor kamu, tapi aku tahu bahwa kamu membodohi aku sejak awal kita menikah."

"..."

Helene menutupi dirinya dengan selimut agar Aiden tidak dapat melihat tubuh telanjangnya ketika wanita itu kembali melanjutkan, "Ceraikan aku, Aiden. I'm going back to Liam. I still love him and i want him back."

"Tidak, Len."

Helene mengangkat tangannya dan memukul tubuh Aiden sekeras yang ia bisa ditengah kerapuhan dirinya. "Ceraikan aku, Aiden!"

"Aku tidak akan menceraikan kamu."

Aiden mendengar istrinya yang semakin terisak tangis dan ia membawa tubuh itu ke pelukannya meskipun dorongan keras dilakukan Helene ketika ia melakukannya. "Please, jangan siksa aku dengan perasaan ini, Aiden." tubuh Aiden sudah basah karena air mata wanita itu tapi Aiden tidak peduli. Ia malah makin mempererat pelukannya dan mendengarkan semua yang dikatakan Helene kepadanya.

"Rasanya sangat menyakitkan, Aiden. Aku masih menunggunya, aku masih mencintainya, dan Liam melupakan aku. How? Bagaimana bisa dia baik - baik saja sementara aku terus tersiksa dengan rasa ini?"

CHOOSE YOUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang