Bab 2

18.2K 2.7K 30
                                    

Rumah mewah bak istana itu masih terlihat sama angkuhnya seperti 10 tahun lalu. Rumah megah bercat putih dengan pagar tinggi itu tidak berubah sama sekali, hanya kehadiran bendera yang terpasang di ujung pagar saja yang membuat suasana rumah itu terlihat berbeda. 10 tahun lalu saat Perwira Raksa menjadi salah satu pejabat penting negeri ini, bendera merah putihlah yang berkibar, sekarang bendera kuninglah yang terpasang. Hanin menarik napas berat sebelum turun dari mobil Jo yang sudah terparkir berbaur bersama beberapa mobil lain di pelataran rumah mewah itu.

"Ini rumahnya?" tanya Jo tidak percaya.

Jo memang tidak tahu apapun tentang Hana, karena pertemuan Hanin dan Jo terjadi setelah kepergian Hana. Nama Hana menjadi nama yang tabu disebut apalagi saat ibu masih hidup. Orangtua mana yang tidak terluka harus berpisah dengan anaknya begitupun Ibu. Setiap mendengar nama Hana, ibu akan menangisi nasib putri bungsunya itu.Oleh karena itu, nama Hana terhapuskan begitu saja dalam keluarga Hanin, karena tidak ada satupun yang menyebutnya, ataupun mengingat keberadaan wanita yang meninggalkan keluarganya untuk tinggal dikeluarga lain disaat usianya masih belasan tahun.

Melangkahkan kaki ke kediaman keluarga Raksa membuat Hanin teringat dengan kejadian 10 tahun lalu. Bahkan makian dari Stevia Rakarsa istri dari Ardian Rakarsa alias ibu dari Arka masih terdengar jelas ditelinganya, beradu dengan suara tangisan dan permohonan Hana. Tempat ini adalah saksi bagiamana keluarganya merendahkan diri untuk meminta pertanggung jawaban dari cucu si pemilik rumah.

Beberapa pria berpakaian jas rapi mendekat saat Hanin baru melangkahkan kakinya menuju gerbang kediaman keluarga pemilik perusahaan waralaba terkenal itu. Melihat penampilan Hanin yang mengenakan terusan berwarna hitam juga selendang hitam yang menutupi kepalanya, seharusnya mereka tahu jika Hanin hendak melayat. Tapi birokrasi orang kaya memang beda, pria-pria itu menahannya dipintu masuk dan menanyakan kepentingannya.

"Katakan pada Tuan Perwira Raksa jika Hanin ingin melihat jenazah Hana." Ucap Hanin kesal karena pria itu tidak begitu saja mengizinkannya masuk dan menuduhnya sebagai wartawan. Salahkan dandanan necis Jo juga godaan tidak penting pria itu pada pria-pria kekar dihadapan mereka, hingga membuat pria-pria berjas itu sulit percaya padanya. Salah Hanin juga, membawa Jo ke sarang tempat banyak pria berbadan tegap, yang membuat pria setengah matang itu khilap.

Seorang pria berpakaian sama rapihnya dengan beberapa pria yang menahanya, keluar dari rumah besar itu. Hanin mengenali pria itu sebagai Hendi adik dari Tia. Pria yang seusia dengan Hana itu mendekat kearahnya dan langsung menuntunnya masuk setelah berbicara dengan beberapa rekannya.Tampaknya Tia sudah menginformasikan kedatangannya pada keluarga ini.

Hanin diam mematung ketika sampai ke ambang pintu, dia masih tidak bisa percaya ketika melihat dua jenazah terbaring diruangan itu dan salah satunya adalah Hana.

"Hanin, masuklah." Ucap seorang pria paruh baya yang duduk diatas kursi rodanya.

Hanin menatap kearah pria berusia 70an itu, Perwira Raksa terlihat jauh lebih tua dari yang Hanin ingat. Apalagi kursi roda yang dikenakan pria itu menandakan jika waktu sudah berlalu sangat cepat dan meninggalkan Perwira Raksa yang gagah menjadi seorang pria tua.

"Setidaknya kamu harus memberikan penghormatan terakhir pada adikmu, meskipun hubungan kalian tidak baik." Ucap pria tua itu lagi, sepertinya meskipun fisiknya berubah kakek satu itu tetaplah pria angkuh yang sama. Seingat Hanin, 10 tahun lalu pria tua itu sama sekali tidak berkomentar apapun atas drama Hana dan Arka. Tapi, tatapan seolah pria itu bosan terekam diingatan Hanin.

"Kenapa? Kenapa bisa berakhir seperti ini?" tanya Hanin.

"Kita bicarakan itu nanti, sekarang beri penghormatan terakhirmu sebelum jenazah di kuburkan." Ucap Pria tua itu seraya membelokan kursi rodanya menjauh.

Can You Hear Me?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang