Kekosongan tentu saja akan dirasakan ketika kehidupan yang mulai terbiasa dijalani tiba-tiba berakhir. Mungkin itu juga yang akan Hanin rasakan ketika memilih untuk melangkah sendiri. Sejak awal mereka memutuskan untuk bersama karena ketidaksanggupan mereka untuk merawat kedua anak itu sendiri. Dan hingga hari ini, Hanin masih ragu pada dirinya sendiri, untuk membesarkan dua anak adiknya itu sendirian. Pada akhirnya mau tidak mau mereka harus bersama untuk bisa membesarkan kedua anak itu. Anggaplah itu alasan paling rasional ketika dia menjawab 'iya' pada ajakan Narendra. Mereka bisa menjadi team yang baik, dan Hanin rasa itu bukan ide yang buruk.
Banyak hal yang harus Narendra kerjakan sebagai buntut berakhirnya semua kekacauan ini, termasuk menjual rumah besar keluarga Raksa. Mempertahankan Raksa grup tidaklah mudah, meskipun masih banyak orang-orang yang loyal di perusahan tetap saja kerugian yang ditinggalkan Arini terlalu besar untuk bisa ditutupi sekalipun aset yang diambil wanita itu dikembalikan. Menjual rumah besar itu mungkin akan bisa membantu menyelamatkan perusahaan, mengingat betapa luasnya rumah itu, Haninpun tidak dapat membayangkan semahal apa harga rumah itu.
Tinggal di rumah kenangan milik orang lain terasa canggung begitupun untuk Hanin. Karena tidak memungkinkan untuk membawa Mentari kembali ke rumah yang meninggalkan trauma untuknya, dengan terpaksa mereka tinggal di rumah Narendra setelah keluar dari rumah keluarga Raksa. Lebih tepatnya rumah milik Narendra yang berisi kenangannya dengan alamrhum istri pria itu.
Hubungan antara Hanin dan Narendra tidaklah terlalu dekat untuk bisa berbagi cerita kehidupan masing-masing. Jika mereka tidak pindah ke rumah itu mungkin Hanin juga tidak pernah tahu jika pria yang berbagi kehidupan dengannya akhir-akhir ini pernah menjadi suami orang. Mungkin Narendra ini juga tipe orang gagal move on karena semua barang-barang di rumah ini seolah dua oranglah yang tinggal di rumah itu. Padahal katanya istrinya telah pergi untuk selamanya dengan anak dalam kandungannya bertahun-tahun lalu. Meskipun merasa tidak nyaman, pada akhirnya Hanin tidak bisa melakukan apapun selain menyamankan diri.
Mentari tidak terlalu peduli dengan sekelilingnya, setelah Narendra menunjukan kamar untuknya, anak itu sibuk dengan buku catatannya dan diam di kamar. Sedangkan Bintang, anak itu masih balita, pindah ke rumah dan lingkungan baru lagi membuatnya sedikit rewel. Rumah milik Narendra tidak seperti rumah keluarga besar Perwira Raksa atau rumah ibunya yang terletak di pinggir kota. Tidak ada halaman luas yang bisa dipakai untuk anak bermain. Rumah ini berpagar kayu tinggi, membuat siapapun tidak bisa melihat apa yang terjadi di dalam, begitupun sebaliknya dari dalampun tidak dapat melihat apapun yang terjadi di luar. Anak yang biasanya bermain berlari kesana kemari itu, sekarang hanya ingin bersandar di pangkuan Hanin, mungkin anak laki-laki itu merasa terisolasi di rumah ini.
"Mau pulang..." rengek Bintang ketika malam menjelang, sedangkan Mentari sudah terlelap sejak jam 8 malam. Meskipun keadaan Mentari sudah jauh lebih baik, Mentari masih mengonsumsi obat yang diresepkan Dahlia untuknya. Salah satu obat yang dikonsumsinya membuatnya cepat tidur dan memungkinkan tidurnya tidak terganggu hingga pagi menjelang. Psikiater itu mengatakan, untuk sementara membuat Mentari merasa nyaman dengan sekelilingnya dan membuat anak itu beristirahat dengan baik adalah yang utama.
"Bintang mau pulang kemana?" tanya Hanin, ini kali ketiga mereka pindah rumah sejak bertemu dan kali kedua Bintang rewel karena lingkungan baru untuknya.
Tidak pernah terpikir oleh Hanin sepanjang hidupnya jika dia akan merasakan apa yang dia rasakan sekarang. Bahkan ketika dia masih percaya akan kekuatan cintanya dan Kenan, mereka tidak pernah bermimpi memiliki anak bersama. Impian mereka justru berkeliling dunia dan mengunjungi tempat-tempat yang menarik. Tidak pernah dia membayangkan akan mengeyong anak yang tidak bisa tidur di gendongannya.
"Hei, kenapa jagoan?" tanya Narendra, pria itu sepertinya baru pulang sejak kepergiannya tadi pagi. Pria itu mengambil alih Bintang ke pangkuannya dan menepuk-nepuk punggung anak yang berada dalam mood buruk itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Can You Hear Me?
Mystery / Thriller"Rintihan kesakitan itu terdengar nyata ditelingaku. Tatapan kosong dari anak perempuan yang meringkuk dalam ruangan itu benar-benar menghantui malam-malamku." Hanindiya Almira tidak tahu kenapa mimpinya akhir-akhir ini selalu sama. Parahnya mimpi b...