Bab 22

12.5K 2.1K 41
                                    

"Apa kau baik-baik saja?" Tanya Narendra sungkan.

Hanin hanya mendelik mendengar pertanyaan tidak penting dari Narendra. Bagaimana tidak, mereka sudah melewatkan beberapa jam sejak pembicaraan yang membuat matanya bengkak dan pria itu baru menanyakan kabarnya sekarang. Padahal mereka sejak tadi beraktifitas bersama, mulai dari mengurus anak-anak, sarapan bersama hingga membereskan meja makan.

"Seriuosly, kamu baru bertanya kabar sekarang?" Tanya Hanin tidak habis pikir.

"Daripada tidak bertanya sama sekali." Jawab Narendra enteng.

Sebenarnya Hanin tidak mengerti bagaimana hubungan yang terjalin diantara dirinya dengan si dokter kandungan itu. Jika melihat situasinya sekarang, mungkin orang berpikir jika mereka adalah keluarga bahagia. Dengan sepasang putra putri yang begitu menempel pada orangtuanya. Lihat saja, Bintang yang begitu anteng dalam pangkuan Narendra dan menyembunyikan wajahnya di perpotongan leher pria itu. Juga pemandangan Mentari yang membaringkan kepalanya di pangkuan Hanin dengan usapan halus dirambutnya oleh Hanin. Mereka terlihat seperti keluarga bukan, tapi kenyataannya mereka hanyalah orang asing yang baru dipertemukan oleh keadaan. Bahkan secara personal, mereka tidaklah mengenal satu sama lain.

Ketika bangun tidur tadi, Bintang langsung mengamuk mencari Narendra. Anak itu tidak bicara tapi tangisan serta berontakan anak itu menandakan jika dia belum bisa mencari orang yang dia anggap bisa melindunginya. Beruntung tidak berselang lama, Narendra datang dan menenangkan anak itu. Belum cukup disitu, drama Bintang berlanjut kala akan dimandikan karena anak itu menjerit-jerit ketika di bawa ke kamar mandi. Selama di rumah sakit memang Bintang cukup hanya di lap di tempat tidur saja. Tapi, Hanin tidak mungkin mengelap anak itu karena pampers yang digunakan anak itu bocor hingga membasahi pakaian yang dikenakan anak itu. Dengan terpaksa Hanin dan Narendra harus bergotong royong untuk memandikan anak itu. Lupakan tentang baju mereka yang basah juga pemandangan yang tercipta karena baju basah yang melekat. Mengurus anak terlalu menguras tenaga dan emosi hingga lupa jika mereka dua makhluk dewasa yang berbeda jenis kelamin.

Selama memandikan Bintang, Hanin juga harus menahan diri agar tangisnya tidak pecah. Beberapa luka yang membekas ditubuh Bintang membuat siapapun miris melihatnya. Entah apa yang dilalui kakak beradik itu hingga tubuh mereka dipenuhi bekas luka.

Dibandingkan mengurus Bintang, mengurus Mentari terasa lebih mudah sekarang. Mentari mulai merespon bahasa isyarat dari Hanin sehingga sedikit-sedikit mereka bisa berkomunikasi. Mentari juga tidak lagi histeris melihat Narendra dan tetap tenang ketika Hanin tinggalkan untuk berganti baju beberapa saat. Terima kasih pada Elang yang tidak lupa membawa kopernya saat pelarian semalam, sehingga dia tidak bingung ketika akan berganti pakaian. Terima kasih juga pada perhatian Narendra yang membelikan pakaian untuk kedua anak itu tanpa diminta.

"Jadi? Haw your feeling?" Tanya Narendra lagi.

"Ah, entahlah aku tidak tahu." Jawab Hanin seadaanya.

"Keadaan sekarang ini membuatku tak punya waktu untuk menangisi masa lalu. Mengingat apa yang kita lalui tadi malam, bernafas hari ini saja aku sudah bersyukur." Ucap Hanin lagi.

Narendra menghela nafas mendengar ucapan Hanin. Dia sepakat dengan apa yang wanita itu ucapkan, 'masih bernafas hari ini saja sudah bersyukur' mungkin adalah ungkapan yang tepat. Narendra cenderung hidup dalam keadaan stabil, hanya rumah dan klinik tempat prakteknya saja tempat hidupnya selama ini. Memang benar, hampir setiap hari dia berada dalam kondisi menegangkan ketika membantu persalinan seorang ibu, apalagi jika keadaan ibu itu sedikit berbeda dengan biasanya. Tapi, menjadi saksi seseorang mempertaruhkan nyawa, tentu saja berbeda dengan dia mempertarunkan nyawa sendiri.

Meskipun Narendra terlahir sebagai pria, tapi dia tidak terbiasa dengan kekerasan. Masa mudanya dia lalui dengan belajar yang giat untuk membahagiakan ibunya. Setelah ibunya pergi untuk selamanya, dia belajar semakin giat untuk membenci kenyataan siapa ayah kandungnya. Sekarang, Narendra menertawakan dirinya sendiri, karena pada akhirnya justru dia mempertaruhkan nyawanya untuk membantu ayah yang dia benci.

"Kenapa tiba-tiba kau terkekeh seperti itu?" Tanya Hanin curiga. Nampaknya Narendra tidak menyadari jika dia melakukan apa yang terbersit dalam benaknya.

"Ah, tidak hanya saja aku merasa lucu dengan keadaan kita sekarang." Jawab Narendra dengan kekehannya.

"Lucu sebelah mananya? Dan sejak kapan kamu bicara beraku kamu ria denganku?" Tanya Hanin heran.

"Aku tahu keadaan ini mungkin membuatmu sedikit tidak waras. Tapi, bisakah kau menahan diri setidaknya sampai Bintang terbiasa denganku." Ucap Hanin lagi.

Narendra memilih tidak berkomentar, perhatian pria itu teralih pada smartphonenya yang bergetar. Sebuah nomor tidak dikenal tertera disana. Ragu-ragu Narendra mengangkat panggilan itu. Mendengar apa yang dikatakan orang disebrang telepon, membuat Narendra terbelak kaget.

"Bagaimana semua itu bisa terjadi?" Tanyanya gusar. Kegusaran Narendra sampai pada Bintang yang berada dalam pangkuannya. Anak laki-laki itu menangis merasa terganggu karena Narendra bergerak terlalu tiba-tiba merubah posisi duduknya.

"Aku akan segera kesana." Ucap Narendra pada lawan bicaranya ditelepon.

Narendra bangkit dari duduknya, dia tidak memperdulikan Bintang yang masih menangis dan menyerahkan Bintang ke pangkuan Hanin begitu saja. Beruntung Mentari sudah menegakan tubuhnya dari posisi berbaring di pangkuan Hanin, sehingga tidak tertimpa tubuh Bintang.

Secara naluriah Hanin meraih Bintang dan mengusap punggung anak itu agar berhenti menangis.

"Apa yang kau lakukan?" Tanya Hanin kesal.

"Tidak ada waktu menjelaskan." Jawab Narendra langsung bergerak menuju kamar yang tadi di tempatinya.

Hanin meminta Mentari menunggu, sementara dia menyusul Narendra ke kamar dengan Bintang yang masih menangis dalam gendongannya.

"Apa yang terjadi?" Tanya Hanin pada Narendra yang membereskan beberapa barangnya.

Pria itu tidak menjawab dan memilih segera berganti pakaian di depan Hanin. Karena keadaan panik, plus suara tangis Bintang yang belum berhenti, keduanya tidak menyadari jika berganti pakaian di depan orang asing bukanlah hal wajar.

Setelah selesai berganti pakaian dengan pakaian yang rapi, Narendra membuka dompetnya dan menyerahkan sejumlah uang pada Hanin.

"Aku tidak tahu berapa lama aku akan pergi, pergunakan uang ini untuk memenuhi kebutuhanmu dan anak-anak. Jangan keluar dari rumah dan pesan saja semua kebutuhan kalian melalui layanan pesan antar.Pakai kartu ini tapi usahakan pakai hanya ketika dalam keadaan terdesak saja dan jauh dari rumah ini." Ucap Narendra menyerahkan kartu ATM pada Hanin.

"Apa yang terjadi? Kemana kau akan pergi? Apa kau akan lepas tangan begitu saja pada anak-anak ini? Kalau kau mau lepas tangan, harusnya kau bilang dari kemarin, sehingga aku tidak harus ikut denganmu ke tempat asing ini." Cerca Hanin kesal.

"Aku tidak bisa menjelaskan apa yang terjadi, tapi aku pastikan aku akan kembali nanti. Aku tidak akan mungkin lepas tangan pada anak-anak itu. Percayalah padaku, jangan tinggalkan rumah ini. Tinggalah di rumah ini hingga aku kembali. Okay?"

"Bagaimana mungkin aku percaya padamu? Mengenalmu pun tidak." Bantah Hanin.

Sementara Hanin dan Narendra berdebat, di tempat lain beberapa orang meregang nyawa dihadapan seorang wanita yang tersenyum. Tak jauh dari tempat itu juga, seseorang hanya bisa menangis menyaksikan kekejaman wanita itu.

"Ini salah kalian yang sudah di kasih hati malah minta jantung. Seharusnya kalian belajar, keserakahan pada akhirnya hanya akan berujung pada kematian." Ucap Wanita itu tanpa rasa dosa sama sekali.

Can You Hear Me?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang