Hanin menghembuskan napas kasar ketika melihat Jo dan pamflat besarnya menyambut kedatangannya di bandara. Dengan lesu gadis awal 30an itu menyeret langkah kakinya mendekati sahabat setengah matangnya.
"Loh kok sendirian? Keponakan lo mana?" tanya Jo heran.
"Gue pusing Jo, nanti aja ceritanya." Jawab Hanin lesu.
3 hari berada di singapura membuat Hanin teramat lelah. Apalagi dia pulang tanpa membawa hasil dari maksud tujuan kepergiannya. Belum lagi mimpi-mimpi buruk yang menghantuinya semakin buruk ketka berada di negeri singa itu. Mimpi itu terasa semakin nyata dan longlongan kesakitan itu membuat telinganya sakit. Hanin sudah berulang kali menghubungi nomor yang diberikan Perwira Raksa juga nomor yang mengiriminnya foto gadis oriental itu, tapi hasilnya nihil. Kedua nomor itu tidak lagi bisa dia hubungi.
Sebenarnya Hanin masih ingin tinggal untuk mencari tahu apa yang terjadi pada anak-anak Hana. Apalagi dari rekaman CCTV di gedung apartemen hasil dari dirinya memelas pada pihak keamanan, Hana membawa anak-anaknya pergi lebih dari sebulan lalu. Yang menjadi pertanyaan dibenaknya adalah, kenapa Perwira Raksa memberikan alamat apartemen itu padanya padahal sudah lebih dari sebulan apartemen itu ditinggalkan. Apa mungkin Perwira Raksa tidak tahu kepergian cucu dan cicitnya dari apartemen itu? atau pria tua itu hanya ingin mengerjainya? Belum lagi wanita berwajah oriental yang katanya pengasuh anak-anak Hana ternyata sudah berhenti bekerja pada yayasan penyalur baby sister yang tertera di pakaian yang dikenakan wanita itu dalam foto. Hanin tidak tahu harus mencari kemana anak-anak Hana meskipun firasatanya mengatakan jika anak-anak Hana mungkin sedang membutuhkan pertolongannya.
Tekad Hanin untuk mencari tahu keberadaan anak-anak Hana langsung melempem ketika tanpa sengaja dia bertemu dengan orang-orang di masa lalunya. Dia langsung memutuskan untuk segera pulang daripada kembali harus mengingat masa lalunya. Dia memang sepengecut itu, dan lari adalah keahliannya. Seharusnya 5 tahun sanggup membuatnya merasa baik-baik saja ketika bertemu dengan orang yang mengetahui masa lalunya. Tapi ternyata dia masihlah Hanin yang sama, Hanin yang memilih meninggalkan dunianya karena tidak sanggup melihat tatapan mata orang untuknya.
"Sudah sampai..." suara halus Jo menyadarkan Hanin hingga otaknya tidak jadi memflashback masa paling mengerikan dihidupnya.
"Thanks Jo..." ucap Hanin lesu dan langsung turun dari mobil mewah milik Jo.
"Lo hutang penjelasan ke gue." Tuntut Jo.
"Nanti aja gue bayar hutangnya, hari ini gue capek." Pinta Hanin.
Jo mengangguk mendengar ucapan Hanin, pria itu mencoba untuk memahami sahabatnya. Wajah butek Hanin sudah menadakan jika hari yang dilaluinya selama di negeri orang bukanlah hari-hari yang baik. Meskipun jiwa keponya sudah meronta ingin tahu apa yang terjadi pada Hanin, tapi Jo berusaha untuk mengerti. Hanin sedang butuh waktu untuk sendiri dan dia akan memberikan waktu itu. Ketika Hanin cukup istirahat, dia akan kembali merecoki hidup perawan 30an itu sebelum gadis itu kembali merasa terpuruk sendirian.
************
Hanin berada disebuah padang rumput yang lapang dan angin sejuk menerbangkan rambutnya. Dia merasa sangat tenang saat ini seolah semua masalah yang menggeluti kepalanya berterbangan. Hanin merentengkan tangannya menghirup udara yang terasa sangat segar. Tangis seseorang mengalihkan perhatiannya. Tidak jauh dari tempatnya berpijak terlihat seseorang duduk dibawah pohon rindang mengenakan pakaian putih. Bahu orang itu naik turun seperti orang yang sedang menangis.
Hanin berjalan mendekat kearah orang itu membuatnya mendengar semakin jelas isak tangis yang sepertinya berasal dari orang itu. Bawah pohon, isakan dan baju putih itu terdengar seperti kombinasi hantu legendary Indonesia apalagi rambut panjang dari orang yang berpakaian putih itu membuatnya semakin yakin jika orang yang sedang menangis itu kuntilanak atau sejenisnya. Tapi melihat sekelilingnya yang terang benderang rasanya tidak munngkin kuntilanak aktif di siang hari.
KAMU SEDANG MEMBACA
Can You Hear Me?
Misterio / Suspenso"Rintihan kesakitan itu terdengar nyata ditelingaku. Tatapan kosong dari anak perempuan yang meringkuk dalam ruangan itu benar-benar menghantui malam-malamku." Hanindiya Almira tidak tahu kenapa mimpinya akhir-akhir ini selalu sama. Parahnya mimpi b...