"Apa yang kau lakukan pada tanganmu?' Tanya Hanin panik.
Hanin melebarkan tangan Mentari dan menahannya, agar anak itu tidak lagi menyakiti dirinya sendiri. Narendra segera membantu menenangkan Mentari yang mulai mengamuk. Narendra membawa Mentari ke ruangan lain setelah menitipkan Bintang yang sedang sarapan pada Elang yang dia bangunkan secara paksa.
Hanin memeluk tubuh Mentari yang mulai menangis meraung. Sedangkan Narendra mengambil peralatan medisnya yang selalu dia sediakan dalam mobil. Hanin mengelus-elus Mentari agar anak itu tenang. Tubuh 10 tahun Mentari yang berontak cukup banyak menguras energi Hanin. Butuh beberapa menit hingga Narendra kembali dengan peralatan medisnya, dan sekembalinya Narendra, Mentari sudah tenang. Itupun karena Mentari berhasil meyikut perut Hanin dan membuat wanita itu menjerit. Entahlah, mungkin karena bersalah telah meyakiti Hanin, Mentari berhenti mengamuk.
"Pinjam tangannya." Pinta Narendra berjongkok dihadapan dua wanita berbeda generasi itu. Mentari malah menjauhkan tangannya dari jangkauan tangan Narendra.
"Kasih tangannya untuk di obati yah." Bujuk Hanin menarik halus tangan Mentari agar bisa di obati Narendra. Mentari menatap kearah Hanin lama seolah mencari keyakinan.
"Tidak apa-apa, om dokternya tidak akan memyakitimu." Ucap Hanin. Hanin melihat ke telinga Mentari dimana alat bantu dengar itu terpasang disana. Hanin terus membujuk Mentari karena yakin anak itu pasti mendengarmya.
Mentari masih menatap Hanin, tapi kali ini anak itu tidak menolak ketika tangannya di pegang Narendra untuk di obati. Anak itu masih menatap Hanin dengan wajah polosnya tanpa ekspresi kesakitan sama sekali padahal Narendra sedang membersihkan lukanya. Baik Hanin maupun Narendra sama-sama bingung karena Mentari sama sekali tidak menunjukan ekspresi kesakitan waktu lukanya dibersihkan hingga selesai di perban. Padahal luka cakaran kuku di lengan Mentari cukup dalam, dan dapat dibayangkan betapa perihnya luka itu ketika di siram alkohol untuk dibersihkan bukan. Mentari juga tetap diam memandang ke arah Hanin ketika Narendra memotong kuku jari anak itu.
"Kamu tidak merasa kesakitan?" Tanya Hanin pada Mentari. Anak itu tidak bereaksi apapun dan masih diam memandang Hanin.
"Sepertinya dia tidak merasa sakit sama sekali." Ucap Hanin kali ini ditujukan pada Narendra.
"Dia mengalami trauma berat, kehilangan indra perasanya mungkin saja terjadi. Apa yang dilalui olehnya pasti sangat menyakitkan." Ucap Narendra dengan helaan napas berat. Pria itu mengelus rambut panjang Mentari lalu beranjak menjauh memasuki kamar yang ditempatinya.
Hanin menarik Mentari ke pelukannya lalu mengelus punggung anak itu dengan sayang. Mengingat apa yang telah dilalui anak itu, membuat Hanin tak kuasa untuk tidak merasa kasihan. Mengingat apa yang telah di lalui anak itu membuat Hanin bertekad untuk menjaga anak itu dari orang-orang yang akan menyakitinya. Tapi, tekad Hanin belumlah sekuat itu, karena terkadang dia masih frustasi pada hidupnya yang tidak menentu sekarang ini.
"Mentari..." panggil Narendra dengan buku gambar,sekotak crayon, beberapa buku tulis dan pensil di tangannya. Narendra berjalan mendekat dan meletakan barang bawaannya ke atas meja.
"Jangan menyakiti dirimu lagi... jika kamu merasa ingin menyakiti dirimu, lampiaskan pada buku-buku ini. Kamu boleh mencorat-coret buku-buku ini ataupun merobek-robekmya. Terserah padamu asal jangan lagi kamu menyakiti dirimu sendiri seperti itu." Ucap Narendra tapi Mentari tak meresponnya sama sekali.
Mentari menyembunyikan wajahnya diperpotongan leher Hanin, tapi Hanin yakin anak itu mendengarkan ucapan Narendra. Beberapa saat mereka terjebak dalam keheningan hingga suara tangis Bintang mengalihkan mereka. Narendra berinisiatif untuk melihat anak itu karena tahu jika Hanin tidak bisa berdiri dengan keberadaan Mentari di pangkuannya.
"Apa yang kau lakukan padanya?" Tanya Narendra melihat Elang yang seperti orang bingung.
"Dia membuat gelasnya tumpah dan refleks aku berdecak, tiba-tiba dia menangis." Jawab Elang.
Narendra membawa Bintang ke gendongannya dan menepuk-nepuk punggung anak itu lembut untuk menenangkannya. Untuk anak seusia Bintang, seharusnya sudah bisa bicara dan menyuarakan keinginan mereka. Tapi, keadaan Bintang yang tidak biasa terkadang membuat Narendrapun kebingungan. Dia tidak berpengalaman dengan anak, merawat anak-anak ini adalah hal baru baginya.
Jika orang lain melihat, mungkin orang akan berpikir mereka adalah sebuah keluarga bahagia. Anak-anak yang menempeli kedua orangtuanya dan orang tua yang tidak berhenti mengelus sayang kedua anaknya. Lupakan keberadaan Elang yang sibuk dengan beberapa kertas yang dia keluarkan dari tasnya.
Sejujurnya sejak tadi Elang hanya pura-pura sibuk saja, padahal kenyataannya ada banyak hal yang perlu dia diskusikan dengan Narendra. Melihat dua orang dewasa memangku anak sambil melihat tekevisi, membuat Elang merasa menjadi pengganggu jika berada diantara mereka. Apalagi pembicaraan serius yang akan dia sampaikan, apakah baik-baik saja di sampaikan di depan anak-anak.
"Sampai kapan kita akan seperti ini?" Tanya Hanin memecah keheningan. Tangannya masih mengusap kepala Mentari yang perlahan menutup matanya.
"Sampai kapan kita tinggal bersembunyi di tempat ini tanpa melakukan kegiatan apapun?" Tanya Hanin lagi. Wanita itu memandang bosan ke arah televisi yang menayangkan acara kartun yang entah sudah berapa kali di ulang. Selama Narendra pergi, dia sudah muak dengan kegiatan membosankan ini. Dia merindukan hidupnya yang dulu.
Narendra memilih untuk tidak menjawab pertanyaan Hanin. Apa wanita itu pikir hanya wanita itu saja yang merasa muak dengan semua ini. Dia juga merasakan kemuakan yang sama. Dia juga merindukan semua kesibukan dan kebebasannya. Karena semua ini dia juga tidak bisa lagi mengunjungi tempat peristirahatan terakhir wanita yang dicintainya. Padahal setidaknya seminggu sekali, dia akan selalu berkunjung kesana.
"Maaf mengganggu kalian, tapi saya rasa kalian harus melihat ini." Ucap Elang mengambil kesempatan menyampaikan tujuannya.
Narendra dan Hanin sama-sama melihat kertas yang di berikan Elang.
"Saya rasa jika kalian setuju dengan semua itu, kalian bisa melanjutkan aktifitas kalian seperti biasa dan tentu saja anak-anak bisa menjalani kehidupan normal layaknya biasa." Ucap Elang mempengaruhi dua orang dewasa itu. Elang membawa misi dari Perwira Raksa agar kedua orang dewasa itu menyetujui rencana yang sudah dibuat Perwira Raksa.
"Apakah ini tidak berlebihan? Surat-surat ini, bukankah sama saja dengan pemalsuan identitas?" Tanya Hanin.
"Kedua anak tuan Arka dan nona Hana kelahirannya tidak terdaftar di Indonesia. Bisa di bilang identitas itu, adalah identitas satu-satunya kedua anak itu. Yang palsu hanya status pernikahan kalian dan status kalian sebagai orangtua kedua anak itu."
"Kami juga sudah pastikan jika pemalsuan identitas ini tidak akan mendatangkan masalah ke depannya. Untuk memvalidkan identitas itu, kalian hanya perlu membuat orang-orang sekitar kalian percaya. Akan lebih baik lagi, jika status kalian di realisasikan." Ucap Elang menjelasakan dengan suara mengecil di akhir karena mendapat pelototan tajam dari orang itu. Pernikahan adalah hal yang mustahil bagi mereka berdua. Yang benar saja, mana mungkin mereka harus menikah karena keadaan seperti ini. Sekalipun Hanin bisa di bilang sedikit melewati usia wajar wanita indonesia menikah, tetap saja dia tidak berniat menikah dengan alasan gila seperti keadaan mereka saat ini.
"Bukankah di awal, rencananya kedua anak itu akan menjadi pewaris Perwira Raksa. Bukankah akan ada masalah jika identitas mereka di ganti?" Tanya Narendra.
"Justru mereka akan semakin dekat dengan warisan mereka. Karena status mereka berubah menjadi cucu Perwira Raksa."
"Apa maksudnya itu?" Tanya Hanin.
"Identitas tuan Narendra sebagai putra dari Perwira Raksa memang rahasia. Tapi status itu tercatat dalam hukum. Meskipun anda tidak ingin menerima harta dari keluarga Raksa, tapi anda tetaplah pewaris utamanya." Ucap Elang pada Narendra yang membuat Hanin terbelak kaget.
"Jadi maksudmu, pria itu adalah anak Perwira Raksa juga?" Tanya Hanin menunjuk ke arah Narendra.
"Betul...apa anda tidak tahu akan hal itu?" Tanya Elang polos yang langsung mendapat pelototan dari Narendra.
KAMU SEDANG MEMBACA
Can You Hear Me?
Mystery / Thriller"Rintihan kesakitan itu terdengar nyata ditelingaku. Tatapan kosong dari anak perempuan yang meringkuk dalam ruangan itu benar-benar menghantui malam-malamku." Hanindiya Almira tidak tahu kenapa mimpinya akhir-akhir ini selalu sama. Parahnya mimpi b...