Bintang hanyalah anak berusia 4 tahun yang belum bisa mengingat apa yang telah dilaluinya dengan baik. Hanin pikir ketika Bintang membahas pengasuhnya bernama Angel yang hilang entah kemana, akan ada lanjutan cerita dari anak itu. Nyatanya selain cerita rambut Angel yang ditarik, tidak ada lanjutan cerita lain. Di catatan harian yang Mentari tulis juga tidak ada cerita tentang Angel. Entah cerita Angel tidak terlalu penting untuk Mentari, atau bahkan Angel memang tidak hidup di kehidupan Mentari.
Selain mendiskusikan perkembangan Mentari, Hanin juga mendiskusikan tentang Bintang pada psikater Mentari. Hanin tidak tahu harus berbagi cerita pada siapa karena si bibi tidak tahu apa-apa selain kisah fiksi rancangan Narendra. Berdiskusi lewat telepon dengan Narendra juga bukan solusi yang tepat, karena pria itu sepertinya sangat sibuk hingga tidak punya banyak waktu untuk bicara banyak dengannya. Hanya dengan psikater Mentari yang tahu kejadian sebenarnya menimpa Mentari, Hanin bisa berbagi cerita.
"Jangan paksakan Bintang untuk mengingat apa yang terjadi padanya." Ucap Dahlia, wanita yang berpropesi sebagai psikater itu mengemukakan pendapatnya setelah mendengar cerita Hanin.
"Bintang hanya anak berusia 4 tahun, dia belum bisa mengingat jelas apa yang terjadi padanya apalagi dalam kondisi tidak baik-baik saja. Melihat dia bertingkah sesuai anak seusianya saja sudah anugrah jika mengingat apa yang pernah dilaluinya." Ucap Dahlia lagi.
Hanin mengangguk mendengar ucapan Dahlia, dia setuju dengan ucapan wanita itu. Melihat Bintang bersikap layaknya anak seusianya seharusnya Hanin sudah tenang. Mencari tahu tentang apa yang terjadi di masa lalu pada anak-anak membuatnya seperti berada di labirin tanpa ujung. Hanin membaca email yang Hana kirimkan padanya semasa hidup, tapi tidak ada petunjuk apapun yang di dapatnya selain Hana yang menceritakan jika dia bahagia menjadi ibu dari dua orang anak.
"Bagaimana dengan perkembangan Mentari?" Tanya Hanin mengalihkan pembicaraan.
"Sejauh ini, Mentari sudah banyak menceritkan apa yang terjadi padanya lewat buku hariannya. Hanya saja, sepertinya dia belum mau benar-benar terbuka dengan kejadian menyakitkan yang dia alami. Tulisannya menjadi kacau dan sulit dibaca pada akhir setiap tulisannya." Ungkap Dahlia sembari memperlihatkan catatan Mentari.
"Kemarin saya meminta dia untuk menceritakan hal membahagiakan apa yang pernah dia alami. Tapi Mentari tidak menuliskan satu kalimatpun di catatannya. Ketika saya tanya, seperti biasa Mentari tidak menjawabnya. Entah Mentari tidak merasakan hal bahagia selama ini. Atau semua rasa bahagianya tertutup oleh apa yang dia alami." Terang Dahlia.
Hanin hanya menghela napas mendengarnya. Jika di pikir-pikir selama ini, dia juga belum pernah melihat Mentari tersenyum sekalipun.
"Mengatasi anak dengan trauma berat itu membutuhkan waktu panjang. Apalagi dengan kondisi khusus yang Mentari alami." Ucap Dahlia menghibur wanita yang dia ketahui sebagai ibu dari pasiennya itu.
Perbincangan mereka berakhir karena Mentari datang. Hari ini memang jadwalnya Mentari terapi, tapi karena Dahlia tadi datang di jam tanggung, Hanin meminta Dahlia untuk membiarkan Mentari makan siang dulu.
"Makannya sudah sayang?" Tanya Dahlia ramah Mentari yang lagi-lagi tidak direspon oleh anak itu.
Hanin bangkit dari duduknya setelah memastikan Mentari duduk nyaman dengan Dahlia. Panggilan Bintang dari ruang makan sudah menggema memintanya untuk segera mendatangi pria kecil itu.
Sementara Mentari menjalani terapi dengan psikaternya, Hanin mengajak Bintang bermain di luar. Semakin hari Bintang semakin sehat, dan tentu saja seperti anak seusianya, Bintang senang beramin diluar dan mengeksplor banyak hal. Sepertinya lingkungan baru dengan cuaca bagus sangat cocok untuk anak itu. Biasanya setelah makan siang Bintang bermain di luar sebelum nanti dia tidur siang karena kelelahan bermain.
Saat sedang bermain di halaman depan, tiba-tiba sebuah mobil berhenti di depan pagar rumah. Selama mereka tinggal di sana, mereka hampir tidak pernah kedatangan tamu. Hanin mendekat ke arah gerbang utama karena Bintang berlari menuju kesana. Mata Hanin menyipit suara klakson mobil. Sepertinya mobil itu memang benar-benar menuju rumah ini. Tak berapa lama seseorang turun dari mobil dan membuka gerbang rumah sendiri.
"Narendra?" Tanya Hanin meyakinkan diri, melihat pria yang lebih dari sebulan pergi itu kembali.
Narendra melambaikan tangannya menyapa Bintang dan Hanin. Layaknya seorang ayah yang baru pulang kerja. Berpisah lebih sebulan nyatanya membuat Bintang kembali asing dengan Narendra. Bukannya mendekat ke arah Narendra, anak laki-laki itu malah berbalik berlari menuju Hanin dan mengulurkan tangannya minta digendong.
Hubungan Hanin dan Narendra bukanlah hubungan romantis apalagi hubungam layaknya suami istri. Berhadapan setelah tingkah memalukan Narendra yang dia sendiri bingung kenapa bersikap seperti itu dihadapan Hanin dan Bintang tadi, terasa sangat canggung. Dua orang dewasa itu berdehem dan menganguk canggung sebagai salam satu sama lain.
"Aku akan memasukan mobil terlebih dahulu." Ucap Narendra setelah mereka terlibat kecanggungan sesaat, dengan Bintang yang mengintipnya dari pangkuan Hanin.
Hanin hanya mengangguk dan memilih membawa Bintang untuk masuk ke rumah. Terakhir kali mereka bertukar pesan beberapa hari lalu, Narendra hanya menanyakan tentang keadaannya dan anak-anak tanpa mengatakan jika pria itu akan pulang segera. Bertukar pesan atau bicara telepon, Hanin tidak pernah merasa canggung, tapi saat bertemu entah kenapa dia merasa sedikit canggung. Mungkin karena mereka lama tidak bertemu.
Hanin meminta bibi untuk menyiapkan makan siang untuk Narendra. Pria itu sudah melewati perjalanan panjang untuk sampai ke rumah ini dan tentu saja mungkin pria itu pasti lapar.
"Mau makan dulu atau istirahat dulu?" Tanya Hanin, meskipun rasanya canggung, Hanin tetap menanyakan pertanyaan itu pada Narendra. Terlihat jelas Narendra juga kaget mendengar pertanyaan tawaran dari Hanin. Terbiasa hidup sendiri, membuatnya asing dengan pertanyaan bernada perhatian itu.
"Aku mau makan dulu saja, perutku lapar." Jawab Narendra berjalan menuju ruang makan. Sementara Hanin memilih ke kamar untuk menidurkan Bintang yang mulai mengantuk dalam gendongannya. Lagi-lagi mereka hanya bertukar senyum sopan ketika wajah mereka berpandangan. Perasaan waktu mereka tinggal bersama sesaat sebelum berpisah mereka tidak canggung seperti sekarang. Entahlah mereka mendadak canggung dan salah tingkah satu sama lain saat ini.
Menidurkan anak kadang orang yang berniat hanya untuk menidurkan juga ikur tertidur. Begitupun Hanin yang baru terbangun karena suara pintu di buka.
"Hai...terapinya sudah selesai?" Tanya Hanin dengan suara serak bangun tidurnya ketika Mentari memasuki kamar. Anak itu mengangguk lalu beranjak menyimpan alat tulisnya di atas meja.
Anak itu ikut berbaring di samping adiknya. Melepaskan alat bantu dengar dari telinganyanya dan menutup matanya. Hanin heran melihat Mentari ikut tidur siang karena biasanya anak itu tidak suka tidur siang. Biasanya dia akan menghabiskan waktu dengan menonton televisi. Hanin ingat ada Narendra di rumah, apa mungkin Mentari tidak nyaman pada Narendra setelah lebih dari sebulan tidak bertemu. Ketakutan Mentari akan makhluk berjenis kelamin laki-laki masih sangat besar. Bahkan dengan suami dari bibi yang membantu-bantu di belakang dan menjaga rumah, Mentari tidak mau keluar jika pak Amin berada di sekelilingnya.
Hanin ingat Narendra ada di rumah, dia bangkit dari pembaringannya setelah memastikan kedua anak itu masih terlelap. Meskipun pertemuannya dengan Narendra terasa canggung, tapi dia harus menghadapinya. Banyak hal yang harus mereka bahas terutama tentang anak-anak. Sebagai patner hidup, ah angahplah seperti itu, banyak hal yang harus mereka diskusikan bersama.
Narendra sepertinya sedang berbincang dengan dr. Dahlia ketika Hanin melihatnya. Tidak ingin mengganggu, Hanin memilih untuk ke dapur. Dia baru ingat, dia belum makan siang dan memilih mengisi perutnya dahulu. Mungkin inilah yang dirasakan semua ibu, ribut menyuruh anak-anaknya makan, dianya sendiri lupa untuk makan.
"Dokter Dablia sudah pulang?" Tanya Hanin ketika mendapati Narendra sendirian di ruang televisi.
Narendra mengangguk sebagai jawaban. Pria itu mengisyaratkan Hanin untuk mendekat. Narendra memulai obrolan tentang anak-anak. Dan ajaib dua orang dewasa yang belum mendeklarasikan mereka sebagai pasangan itu bicara lancar jika menyangkut tentang anak-anak. Mungkin karena sejak awal kedekatan mereka dimulai dari anak-anak.
"Sebenarnya aku pulang memiliki tujuan lain." Ucap Narendra setelah beberapa menit mereka diam tidak tahu harus membicarakan apa lagi.
"Perwira Raksa ingin bertemu denganmu dan anak-anak."
![](https://img.wattpad.com/cover/146959994-288-k949585.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Can You Hear Me?
Misterio / Suspenso"Rintihan kesakitan itu terdengar nyata ditelingaku. Tatapan kosong dari anak perempuan yang meringkuk dalam ruangan itu benar-benar menghantui malam-malamku." Hanindiya Almira tidak tahu kenapa mimpinya akhir-akhir ini selalu sama. Parahnya mimpi b...