Bab 4

15.9K 2.5K 38
                                    

Didorong oleh rasa penasaran dan juga sedikit kepedulian, akhirnya Hanin memutuskan untuk menjemput anak-anak Hana. Dia pikir perkataan Perwira Raksa tempo hari ada benarnya, setidaknya kehadiran dua anak itu bisa membunuh kesepiannya. Singapura bukanlah tempat yang asing untuknya, dulu maskapai penerbangan tempatnya bekerja bermarkas di negeri yang terkenal dengan patung Merlionnya itu. Sudah lama sekali sejak Hanin berpergian, memasuki bandara membuatnya terasa asing padahal sebelum 5 tahun lalu tempat itulah yang menjadi tempatnya bekerja.

Tadinya Jo menawarkan diri untuk menemani Hanin dengan alasan takut Hanin tersesat mengingat 5 tahun terakhir dia hanya bolak-balik toko roti dan rumahnya saja. Meskipun rasanya sedikit tidak nyaman berpergian setelah lama mendekam dirumah, tapi Hanin tidak ingin merepotkan Jo lebih banyak. Pria setengah matang itu terlalu banyak membantu hidupnya. Firasatnya berkata jika sesuatu yang menunggunya di negeri yang pernah menorehkan banyak kenangan dihatinya itu akan sangat melelahkan. Hanin tidak ingin Jo terlibat sesuatu melelahkan yang akan dihadapinya nanti.

Sejak kakinya melangkah memasuki pesawat yang akan membawanya ke Singapura, tak henti-hantinya wanita 30an itu terus-terusan menghela napas berat. Waktu 1 jam 35 menit yang ditempuhnya untuk sampai ke Changi airport terasa sangat lama untuk Hanin. Banyak hal yang bergelayutan dalam kepalanya, mulai dari kenangan lama hingga apa yang harus dia lakukan ketika bertemu dengan anak-anak Hana nanti. Meskipun anak-anak Hana keponakannya, dia tidak pernah bertemu sekalipun dengan anak-anak itu. Hanin bingung apa yang harus dia katakan pada anak-anak itu terlebih mengajak mereka tinggal bersama.

Alamat apartemen yang diberikan Perwira Raksa hanya sekitar setengah jam dari bandara menggunakan taksi. Keluarga Raksa memang tidak main-main kayanya, mereka menempatkan keluarga Hana dikawasan aprtemen mewah dengan prosfek menjajnjikan. Wanita berperawakan masih sama indahnya seperti saat dia masih bekerja sebagai pramugari itu memperbaiki dadanannya yang mungkin berantakan karena perjalanan yang dilaluinya. Setelah memastikan penampilannya layak,Hanin memastikan tower apartemen dihadapannya sama persis dengan alamat yang dimilikinya. Sepertinya kakek tua itu sudah menyiapkan semuanya, dia memberikan Hanin kartu akses kunci apartemen hingga dengan mudah dia bisa memasuki apartemen tempat lantai keluarga Hana tinggal.

Hanin menarik napas berat sebelum dia membuka pintu apartemen dihadapannya. Dia belum mempersiapakan apa yang akan dia katakan pada anak-anak Hana saat mereka bertemu nanti . Rasa canggung meliputi hatinya, meskipun dia sudah terbiasa berkomunikasi dengan anak-anak dalam pekerjaannya. Hanin berjalan perlahan menuju pintu apartemen tempat keluarga Hana tinggal, entah kenapa perasaan tidak nyaman semakin menguasai hatinya. Lorong apartemen sangat sepi, dan entah hanya bayangannya atau bagaimana tempat ini terasa familiar baginya.

Setelah beberapa menit meyakinkan diri, Hanin menekan bel apartemen dihadapannya,rasanya tidak sopan bukan jika dia langsung membuka pintu meskipun dia punya kunci akses apartemen itu. Hanin sudah menekan bel sebanyak 3 kali tapi tidak ada satupun penghuni dalam apartemen itu membukakan pintu. Hanin mengetuk pintu apartemen itu berulang kali dan mendekatkan telinganya kedaun pintu. Entah pintu itu terlalu tebal atau memang tidak ada pergerakan didalam apartemen itu, karena Hanin tidak bisa mendengar apapun.

Hanin memutuskan untuk membuka pintu apartemen itu menggunakan kunci akses yang dia miliki. Dia terbatuk-batuk karena debu dan hawa pengaplah yang menyambutnya ketika kakinya melangkah memasuki apartemen itu. Ruang apartemen itu juga terlihat sangat gelap dengan bau pengap yang sangat menusuk.

"Mentari...Bintang..." panggil Hanin menyebut nama-nama anak Hana yang baru dia ketahui beberapa hari terakhir ini.

Hanin terus berjalan memasuki apartemen yang terasa sangat kosong itu, dia berjalan kearah saklar lampu dan menyalakannya. Hanin membulatkan matanya melihat kekacawan apartemen itu setelah lampu menerangi ruangan itu. Firasat buruk langsung menguasai hatinya melihat kekacaawan dihadapanya apalagi bau pengap yang begitu menyengat dan tidak ada pergerakan apapun meskipun dia berulang kali memanggil-manggil nama anak-anak Hana.Melihat kondisi apartemen ini yang kacau, kecil kemungkinan apartemen ini masih dihuni.

"Mentari...Bintang..." teriak Hanin lagi tapi hanya ruang hampa yang menjawabnya.

Hanin memeriksa semua ruangan apartemen itu dan benar saja, tidak ada siapapun ditempat itu. Hanya barang-barang yang hancur dan berantakan saja yang dia dapati disemua ruangan apartemen itu. Seisi apartemen itu berantakan seperti bekas perkelahian atau bekas seseorang yang mengamuk besar. Lutut Hanin serasa lemas ketika mendapati ruangan paling kacau adalah ruangan yang sepertinya dulu difungsikan sebagai kamar. Apalagi bau busuk dan beberapa noda kehitaman dalam kain yang berserakan membuat Hanin yakin jika seseorang pasti terluka ditempat itu. Melihat kondisi sekelilingnya Hanin terasa diseret memasuki film-film thriller yang ditontonnya bersama Sammy.

Dalam film yang ditontonnya biasanya terjadi sesuatu yang mengerikan jika kondisinya seperti ini. Bisa jadi penculikan atau penyiksaan oleh psikopat. Atau terkadang ada serangan zombie atau semacamnya. Hanin menggelengkan kepalanya ketika pikiran aneh menguasai otaknya. Hanin memilih untuk keluar dari kamar yang berantakan itu dan mencari petunjuk lain yang ditinggalkan di apartemen ini tentang keberadaan anak-anak Hana. Sejahat-jahatnya kakek tua itu, Hanin berpikir tidak mungkin pria itu akan mengerjainya, atau bahkan menipunya.

Hanin mencari ponsel ditasnya untuk menghubungi kakek tua yang menyuruhnya menjemput anak-anak itu. Berulang kali Hanin menghubungi nomor kakek tua itu hingga usahanya ke 7 kali barulah seseorang mengangkat panggilan darinya. Hanin mengerutkan keningnya ketika seorang wanitalah yang mengangkat telepon darinya. Kerutan dikeningnya semakin menjadi ketika si wanita mengatakan jika dia salah sambung.

"Jelas-jelas itu nomor yang diberikan kakek tua itu, kenapa bisa salah sambung?" tanya Hanin pada dirinya sendiri heran. Sepertinya, Hanin melupakan satu hal yang dikatakan oleh pria asing tempo hari jika dia tidak boleh menghubungi Perwira Raksa terlebih dahulu.

**************

Hanin memilih untuk mencari hotel untuk istirahat, karena tidak menemukan apapun di apartemen itu. Hanya sebuah foto keluarga yang sudah hancur figuranya saja yang Hanin bawa dari apartemen itu. Hanin mengelus foto berisikan dua orang dewasa dan dua orang anak-anak itu. Hanin memandang lama foto anak perempuan Hana yang tidak asing baginya,karena berwajah persis seperti Hana waktu kecil. Ingatannya mengarah pada mimpi-mimpi buruk yang menghiasi malamnya, kalau dipikir-pikir anak dalam mimpinya bukanlah Hana melainkan lebih mirip dengan anaknya Hana.

Pertanyaannya kenapa dia mimpi buruk tentang anaknya Hana padahal dia belum pernah bertemu anak itu sama sekali? Hanin menggelengkan kepala mengusir pikiran-pikiran buruk yang mampir dikepalanya. Dia putuskan untuk berlibur dan menjelajahi Singapura saja mumpung dia sudah disini. Hanin bangkit dari pembaringannya dan berjalan-jalan sebelum dia pulang esok hari. Hatinya sedikit berharap jika di acara jalan-jalannya, dia bisa menemukan sesuatu tentang anak-anak Hana.

Berjalan-jalan sendiri diluar negeri membuat Hanin benar-benar merasa menjadi jomblo ngenes. Hanin memilih beberapa tempat wisata yang tidak jauh dari Changi karena dia memilih hotel didekat situ untuk tinggal sementara agar dia mudah saat pulang nanti. Saat Hanin mampir disebuah cafe untuk makan siang, dia merasa seseorang sedang memperhatikannya. Hanin beberapa kali melihat ke arah belakang tapi tidak ada siapapun yang terlihat mencurigakan untuknya. Hanin berpikir mungkin karena dia masih sedikit syok karena pemandangan bak setting film thriller di apartemen Hana tadi, membuatnya sedikit parno. Dia memilih mengabaikannya dan menyantap makan siangnya dengan khidmat meskipun sendirian.

Sebuah pesan masuk ke smartphonenya, menarik perhatian Hanin. Wanita itu membuka pesan whatsapp dari nomor asing. Keningnya berkerut ketika melihat foto seorang wanita kira-kira berusia pertengahan 20an yang ditampilkan di pesan itu.

"Pengasuh anak-anak?" tanya Hanin heran karena seingatnya dia pernah melihat foto itu disalah satu berkas dalam map yang diberikan Perwira Raksa.

Tepat saat Hanin melihat foto itu, ditempat lain wanita dalam foto itu sedang berlari ketakutan. Wanita itu berusaha terus berlari menjauh menghindar dari pria yang mengejarnya dengan senyuman yang tak luntur dari wajah pria itu.

"Please save me..." mohon wanita berwajah oriental itu, tapi si pria sepertinya tidak punya kebaikan hati.

Can You Hear Me?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang