Bab 10

14.5K 2.2K 30
                                    

"Mimpi ini lagi." Gumam Hanin, karena untuk kesekian kalinya dia terdampar dalam ruangan gelap yang tidak dia kenali.

Kali ini berbeda dengan mimpi biasanya, suara sekelilingnya sangat senyap. Tidak ada suara longlongan maupun tangisan. Seberkas cahaya terlihat menyinari seseorang yang terbaring diatas lantai yang dingin. Hanin bisa mengenali anak itu sebagai anak yang sama dengan anak yang menghantui mimpinya. Anak itu memandang kosong ke arah cahaya itu, yang ternyata berasal dari jendela kecil  didinding rungan itu. Hanin mendekat kearah jendela kecil itu. Dia berpikir mungkin jika dia melihat sekeliling tempat itu, dia bisa mencari tempat ini didunia nyata. Itupun jika keyakinannya jika mimpinya adalah sebuah petunjuk itu benar.

Tidak banyak yang dapat dia lihat keluar dari jendela kecil itu. Beberapa benda yang sepertinya ditutupi terpal dan tanah yang kosong. Hanin melihat sekelilingnya, menjangkau apapun yang bisa ditangkap matanya. Kain merah...ada banyak kain merah yang terbentang dikejauhan.

"Hanin...Hanin..." panggil seseorang membuat Hanin tersedot menjauh dari ruangan gelap itu.

"Hey..." sapa Narendra ketika akhirnya Hanin membuka matanya. Mereka sedang dalam perjalanan kembali menuju ke kantor kepolisian Singapura. Narendra membagunkan Hanin karena wanita yang tertidur itu terlihat tidak nyaman dengan tidurnya.

Singapura bukan tempat yang asing bagi Narendra. Perwira Raksa lama menyembunyikannya ditempat ini setelah ibunya meninggal. Narendra menghabiskan waktu kuliahnya dinegeri ini, sehingga jalanan Singapura bukanlah tempat asing baginya. Adalah Brian, temannya semasa kuliah dulu yang tidak sengaja dia temui saat mencari anak-anak di rumah sakit. Pria bule-cina itu tahu tentang apa yang dicarinya saat ini, sehingga pria itu menawarkan mobilnya untuk dipakai dengan bebas oleh Narendra. Disinilah mereka, ditengah jalan Singapura menuju kantor polisi setelah mencari anak-anak Hana dari alamat buku telepon keluarga muda itu. Narendra tahu jika teman-teman keponakannya itu sedang berlibur berjamaah. Tapi dia masih memiliki harapan jika mungkin anak-anak itu ditinggalkan dirumah salah satu dari mereka.

"Kain merah." Ujar Hanin tiba-tiba.

"Ada apa dengan kain merah?" Tanya Narendra mengalihkan perhatiannya ke arah wanita bermuka sembab karena bangun tidur.

"Aku yakin anak perempuan Hana ada disana, ditempat dengan kain merah yang dibentangkan yang terlihat dari kejauhan." Ucap Hanin.

Narendra mengerutkan keningnya mendengar ucapan Hanin. Sepertinya wanita itu masih ngelantur pikirnya. Waktu sudah menunjukan jam 9 malam, seharian mereka berkendara kesana kemari setelah pertemuannya dengan Brian dirumah sakit tadi. Narendra paham jika mungkin saking lelahnya, Hanin menjadi melantur. Kalau saja pihak kepolisian tidak mengatakan jika mereka memiliki info penting, dia juga akan lebih memilih untuk pulang dan tidur.

"Narendra, kita harus mencari tempat itu." Ucap Hanin keukeuh.

"Hanin, saya tahu kamu lelah seharian ini, kita akan istirahat setelah mendengar kabar penting dari kepolisian." Ucap Narendra simpatik.

"Aku tidak selelah itu, aku melihatnya dalam mimpiku. Anak itu disekap dalam ruangan gelap dengan jendela kecil yang bisa melihat keadaan luar. Diluar tempat itu ada banyak kain merah yang dibentangkan." Ucap Hanin berapi-api.

"Kamu bilang apa tadi? Mimpi?" Tanya Narendra tidak percaya. Yang dijawab anggukan oleh Hanin.

"Apa kamu seorang cenayang atau sejenisnya? Bisa melihat lewat mimpi begitu?" Tanya Narendra heran.

"Aku bukan cenayang atau sejenisnya, aku juga tidak bisa melihat lewat mimpi. Itu hanya perasaanku saja karena sejak sebelum Hana meninggal aku sering memimpikan anak itu." Jawab Hanin.

Can You Hear Me?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang