Bab 18

13.1K 2.2K 50
                                    

Mentari bangun dari efek obat tidurnya tepat saat mereka berada didepan rumah sakit. Anak itu langsung membelakan matanya, menjerit tanpa suara dan meronta karena berada digendongan Narendra. Hanin langsung mengambil alih Mentari dari gendongan Narendra dan mengelus punggung anak itu supaya tenang.

"Tidak apa-apa, dia bukan orang jahat..." ucap Hanin berulang kali ditelinga Mentari. Dan Mentari sama sekali tidak mendengarnya karena Hanin lupa jika dia melepaskan alat bantu dengar Mentari saat akan berangkat tadi.

Meskipun tubuh Hanin cukup tinggi tapi dia tetap kesusahan menggendong anak berusia hampir 10 tahun itu. Belum lagi Mentari yang berontak dalam gendongannya. Jika Narendra tidak menahan tubuh Hanin dari belakang mungkin wanita itu sudah terjerembab kebelakang. Tampaknya membawa Mentari ke tempat ramai adalah ide yang sangat buruk. Apalagi nitizen indonesia dengan tingkat ke kekepoan tinggi, membuat mereka menjadi pusat perhatian. Beruntung lift yang akan membawa mereka kelantai tempat Bintang dirawat segera terbuka, jadi mereka segera lepas dari tatapan ingin tahu semua orang.

Hanin menghela nafas berat, dalam hati dia memaki Narendra karena keputusan pria itu merepotkannya. Tentu saja mereka tidaklah memiliki hubungan cukup dekat untuk membuat Hanin bisa melontarkan makian pada pria itu secara gambalang. Apalagi sekarang Narendra menahan punggungnya agar tetap tegak meskipun menggendong beban berat. Aturan dia harus berterima kasih bukan malah memaki, meskipun yang menyebabkan dia mengalami hal ini juga Narendra sendiri.

Mentari sudah mulai tenang ketika mereka memasuki lift meskipun ada Narendra di sisinya. Sepertinya anak itu mengenali jika Narendra tidak akan menyakitinya. Mentari menyembunyikan wajahnya dileher Hanin. Tapi ujung matanya masih menatap kearah Narendra. Tangan Hanin mulai kesemutan menahan bobot badan Mentari. Sadar akan ringisan wanita yang berdiri didekatnya, Narendra beralih memegang tangan Hanin untuk menahan bobot berat tubuh Mentari juga. Jika diperhatikan sekilas, Narendra terlihat seperti memeluk Hanin dan Mentari secara bersamaan saat ini. Sebelah tangan memegang pinggang Hanin dan sebelahnya menahan tangan Hanib dibagian depan tubuh wanita itu.

Sampai diruang perawatan Bintang, anak itu ternyata sedang tidur. Dibantu Narendra, Hanin mendudukan tubuhnya di kursi disamping tempat tidur dengan Mentari yang masih berada dalam gendongannya. Hanin sedikit meregankan tangannya yang kebas dan menghela nafas berat.

"Mentari, lihat itu adikmu." Ucap Hanin tapi tidak mendapatkan respon apapun dari Mentari.

"Kamu belum memasang alat bantu dengarnya." Ucap Narendra menyela ucapan Hanin untuk membujuk Mentari karena percuma, Mentarinya tidak akan bisa mendengar.

"Ah, aku lupa, tolong ambilkan di tasku." Ucap Hanin, melupakan status Narendra yang hanya orang asing dan mengizinkan pria itu membuka tasnya padahal itu hal yang bersifat pribadi.

Tubuh Mentari mengkerut ketika Narendra mendekat dan menyentuhnya untuk memasangkan alat bantu dengar.

"Lihat...dia adikmu." Ucap Hanin lagi mengarahkan wajah Mentari pada anak balita yang masih terlelap.

Mentari tidak beraksi apapun, anak itu hanya memandang kosong ke arah anak laki-laki itu. Tidak berapa lama balita laki-laki itu membuka matanya. Anak itu melihat was-was kearah semua orang yang berkumpul diruangannya.

"Tata..." bisiknya parau ketika melihat Mentari, tapi lagi-lagi Mentari sama sekali tidak bereaksi apapun.

Anak bernama bintang itu menangis dan memanggil-manggil nama Abi dalam isakannya. Hanin melihat reaksi Meidina tapi lagi-lagi anak perempuan itu tidak menunjukan reaksi apapun.

Narendra berinisiatif membawa anak laki-laki itu ke gendongannya. Sepertinya pria itu cukup berpengalaman menghadapai anak kecil. Beberapa menit setelah digendong oleh Narendra, tangis anak itu berangsur-angsur mereda. Anak itu juga sepertinya mengenal bau Narendra dengan baik. Kini Bintang terlihat tenang dalam gendongan Narendra. Jika orang asing melihat mereka, mungkin mereka berpikir jika mereka sebuah keluarga dengan dua anak.

"Aku pikir ini sedikit aneh." Ucap Hanin memecah keheningan.

"Apanya yang aneh?" Tanya Narendra menanggapi ucapan Hanin. Sejujurnya dia tidak benar-benar ingin menanggapi ucapan wanita itu, hanya saja terjebak dalam keheningan rasanya sedikit tidak nyaman. Bintang dan Mentari kembali menutup mata mereka, keduanya tidak terlibat interaksi apapun selain panggilan 'Tata' yang diucapkan Bintang tadi. Kedua anak itu dibaringkan diranjang rumah sakit yang sama. Sekilas terlihat kemiripan diwajah mereka, hanya saja tidak terlalu dominan. Jika Hanin mengatakan Mentari adalah versi kecil Hana maka Bintang adalah versi kecil Arka.

"Mereka tidak terlihat seperti dua saudara kandung yang terpisah. Aku tahu Mentari sedang tidak sehat dan mentalnya juga tidak stabil. Tapi bagaimana dia tidak bereaksi apapun saat melihat adiknya padahal dia bereaksi ketika mendengar musik kesukaan ibunya." Ucap Hanin.

"Keduanya seperti tidak memiliki kedekatan apapun, padahal secara fisik sudah dipastikan mereka kakak beradik. Keduanya mirip dengan foto yang Hana kirimkan lewat email padaku, juga mirip dengan foto yang Perwira Raksa berikan." Ucap Hanin lagi.

"Sebenarnya bagaimana Hana dan Arka membesarkan anak-anaknya?" Tanya Hanin lagi.

Terkurung sendirian bersama Mentari yang tidak bisa bicara membuat Hanin menjadi banyak bicara. Dia membicarakan apa yang berada dalam kepalanya pada Narendra. Dan Narendra sang dokter kandungan yang sudah biasa mendengarkan keluhan ibu-ibu hamil, menjadi pendengar yang baik untuk Hanin.

"Omong-omong tentang Perwira Raksa, apa kakek tua itu sudah melihat cicitnya?" Tanya Hanin.

"Dia sudah melihat Bintang beberapa hari lalu, dan dia mengusulkan ide gila untuk menyelamatkan anak-anak itu." Jawab Narendra. Pria itu pikir, tidak ada salahnya mendiskusikan apa yang Perwira Raksa sarankan pada Hanin. Dia percaya Hanin wanita dewasa yang bisa berpikir logis untuk mengatasi masalah.

Anak-anak ini tidak bisa selamanya tinggal dirumah sakit. Secara fisik kesehatan mereka membaik meskipun secara fisikis jauh dari baik. Keduanya membutuhkan tempat tinggal dan keadaan yang kondusif untuk tumbuh kembang mereka. Narendra tidak mungkin tega membiarkan Hanin membesarkan mereka atau salah satu dari dua anak itu sendirian. Kata-kata Perwira Raksa yang mengatakan 'bahaya mungkin sedang mengincar mereka' membuat Narendra semakin tidak nyaman dengan semua ini. Dan diapun tidak yakin, mengikuti saran Perwira Raksa akan memberikan kenyamanan.


**************

Seorang wanita paruh baya terlihat bersantai dirumah besar yang terasa sangat kosong itu. Senyuman sinis terukir dari bibirnya setelah menerima laporan dari seseorang dibalik telepon.

"Sepertinya, memang sudah takdirnya orang jahat itu harus dihukum. Tanpa kita turun tangan, hukuman datang dari tangan orang lain." Ucap wanita itu dengan senyum sinisnya.

"Jangan gegabah, menggulingkan pria tua itu sekarang sama saja dengan membuat pria tua lain naik. Aku pikir si serakah Prabu akan sangat bahagia jika kakaknya kita gulingkan. Permainan belum selesai jangan terburu-buru. Kedua anak itu masih hidup, itu artinya masih ada turunan Perwira Raksa yang bernafas di bumi ini." Ucap Wanita itu lagi, sarat akan kebencian.

"Jangan khawatirkan mereka, aku rasa dua anak muda itu tidak akan bisa berbuat banyak. Lagipula wanita itu membenci keluarga Raksa, dia tidak akan tahan merawat anak-anak itu. Bukankah kau bilang apa yang menimpa anak itu masih terkait masa lalu wanita itu?"

"Gunakan itu untuk membuat wanita malang itu melepas kepeduliannya." Ucap Wanita itu dengan seringai mengerikannya.

Suara bantingan pintu dan teriakan seseorang menghentikan obrolan wanita paruh baya itu dengan lawan bicaranya.

"Aku harus membereskan tikus nakal itu." Ucap wanita itu serasa menutup telepon.

Wanita yang mungkin masih dikisaran usia 40an itu merubah ekspresi sinisnya dengan ekspresi senyum ramah. Dia berjalan terburu-buru menuju pintu depan dan mendapati tuannya dengan muka merah padam menahan amarah. Wanita itu tersenyum ramah dan mengambil alih kursi roda tuannya untuk dia dorong sendiri.

"Apa ada masalah berat dikantor tuan?" Tanya wanita itu perhatian.

Pria itu tidak menjawab tapi tangan pria itu mengepal di balik selimut yang menutupi kakinya. Perhatian wanita itu terdengar seperti ejekan ditelinganya. Tapi dia tidak bisa berbuat banyak karena dialah yang menciptakan monster dalam tubuh wanita itu.

Can You Hear Me?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang