Selepas makan malam, mereka memulai perjalanan mereka. Narendra memasang matras dibagian kursi penumpang belakang mobilnya, agar anak-anak bisa tidur dengan nyaman. Perjalanan mereka cukup panjang, membiarkan anak-anak tidur hanya di jok mobil pasti membuat mereka tidak nyaman. Hanya membutuhkan waktu kurang dari sejam menempuh perjalanan, anak-anak sudah tidur lelap. Menyisakan dua orang dewasa yang duduk tegang di tempat mereka masing-masing.
"Katakan sesuatu." Ucap Narendra memulai pembicaraan.
"Yah?" Tanya Hanin tidak mengerti.
"Katakan sesuatu, apa saja, menyetir di malam hari membutuhkan teman agar aku tidak mengantuk." Ucap Narendra mencuri pandang pada Hanin melalui ekor matanya.
"Apa yang harus aku katakan?" Tanya Hanin bergumam, tapi cukup jelas didengar oleh Narendra mengingat suasana begitu hening.
"Apa saja." Jawab Narendra.
"Seperti rencana masa depanmu mungkin?" Tanya Narendra.
Hanin menghela napas mendengar pertanyaan Narendra yang terdengar seperti omong kosong ditelinganya. Dulu masa depan keinginan Hanin adalah mengelola toko rotinya dan hidup dengan tenang sepanjang sisa usianya. Tapi, sekarang, setelah semua kegilaan yang menyerang hidupnya, dia tak yakin lagi apa impian masa depannya masih bisa terwujud. Dia meninggalkan Almira Bakery, hal yang paling berharga untuknya untuk menjadi pahlawan untuk anak-anak dari adiknya. Meskipun Hanin yakin Sammy dan Jo pasti menjaga milik berharganya itu dengan baik, tapi tetap saja tidak mengurusnya sendiri membuat perasaannya hampa. Hanin menengkan kepalanya ke belakang melihat kedua anak adiknya yang terlelap dengan wajah tanpa dosa mereka. Lagi, Hanin hanya menghela napas. Beberapa lama menghabiskan waktu dengan mereka, Hanin bahkan melupakan dirinya sendiri dan fokus pada keduanya.
"Kenapa kau terus menghela napas seperti itu?" Tanya Narendra.
"Entahlah, mungkin hidup tenang dengan anak-anak mungkin menjadi hal istimewa sebagai masa depan nanti. Aku ingin semua ini segera selesai dan hidup dengan tenang, mungkin itulah hal yang pasti aku pikirkan akhir-akhir ini." Jawab Hanin tidak yakin.
"Apakah ada aku di masa depanmu?" Tanya Narendra tiba-tiba tercetus begitu saja. Bahkan Narendra sendiri kaget dengan pertanyaan yang diajukannya.
"Maksudmu?" Tanya Hanin tidak paham.
"Itu..." jawab Narendra ragu bagaimana menjawabnya.
"Kau tahu aku tak yakin bisa membesarkan mereka berdua sendiri. Bukan hanya tentang finansial, tapi juga tentang banyak hal. Aku belum pernah menjadi ibu sebelumnya, aku juga tidak belajar banyak hal dari ibuku semasa beliau ada. Kau tahu tidak semua ibu seorang wonder women yang bisa lakukan apapun termasuk membagi kasih sayangnya sama rata diantara anak-anaknya. Apalagi jika pasanganmu tidak membantu apapun selain menyalahkanmu karena tidak melahirkan anak laki-laki." Ucap Hanin mendadak curcol.
"Seorang wanita yang mengaku mencintai anak-anak saja, bisa berubah menjadi monster untuk anaknya sendiri. Satu hingga dua bulan mungkin kasih sayang pada anak-anak itu besar, tapi bagaimana kedepannya, apa aku bisa menyayangi anak-anak dengan cara yang sama. Apalagi jika perjalanan hidup berjalan tidak sesuai dengan yang dibayangkan. Aku pikir, kau lebih waras daripada aku, ada baiknya jika kita tetap membesarkan mereka bersama-sama. Lagipula kita memulai semuanya dari awal bersama bukan, rasanya tidak bertanggung jawab jika di masa depan kau angkat tangan terhadap kewajibanmu untuk anak-anak. Secara susunan keluarga kau kakek mereka bukan? Karena ayah dan kakek kandung mereka tidak ada, kurasa kaulah yang harus bertanggung jawab." Ucap Hanin panjang lebar.
"Iya, kau benar, kita memulainya bersama dan sudah seharusnya kita hadapi ini bersama."
"Jika aku ada di masa depanmu, sepertinya kita harus memastikan satu hal."
"Apa yang harus di pastikan?" Tanya Hanin, dia pikir komitmen pria itu untuk berada di samping anak-anak sudah cukup. Tidak mungkinkan mereka harus membut perjanjian tertulis untuk memastikan mereka berdua memegang ucapan mereka.
"Pernikahan kita." Jawab Narendra mantap.
"Yah?" Tanya Hanin memastikan tidak salah mendengar.
"Pernikahan kita, kita harus memastikan pernikahan kita." Jawab Narendra yang membuat Hanin tertawa garing. Narendra meningatkan tentang status hukum diantara mereka, yang entah kenapa membuat Hanin merasa sedikit kesal. Meskipun harapannya akan sebuah pernikahan bahagia lenyap sejak perpisahannya dengan Kenan, tapi, tetap saja Hanin seorang wanita. Wanita manapun pasti memiliki impian pernikahan mereka sendiri. Dan tiba-tiba tercatat menikah di catatan sipil padahal belum pernah menikah tentu bukan salah satu impian wanita manapun.
"Apa penting kita membahasnya?" Tanya Hanin.
"Aku tahu ini bukan saat yang tepat, tapi kita tidak pernah tahu apa yang terjadi di masa depan. Kita harus memastikan semuanya berjalan dengan benar."
"Bukankah sudah pasti, suruhan Perwira Raksa sudah membereskan semuanya dan memastikan kita tercatat sebagai pasangan suami istri dan anak-anak menjadi anak kita. Aku yakin, tidak akan ada yang meragukan itu. Dan kita juga sudah memikirkan secara matang skanario tambahan tentang Mentari. Jika Mentari memang anak Aska dan Hana, tapi anak itu tercatat anak kita karena orangtua Aska tidak ingin Mentari tercatat sebagai anak dari putra mereka."
"Maksudku bukan itu, tapi ini murni tentang kita." Ucap Narendra. Pria itu menggaruk tidak gatal bagian belakang kepalanya, karena tidak tahu bagaimana menjelaskan apa maksudnya pada Hanin. Maksud hati, dia ingin memastikan pernikahan mereka sah bukan hanya secara hukum tapi secara agama juga. Narendra berpikir, mereka harus benar-benat menikah secara nyata, karena mereka akan tinggal bersama dan membesarkan anak-anak bersama. Narendra dan Hanin sama-sama dewasa, tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi pada mereka saat tinggal bersama dalam kurun waktu lama meski ada anak-anak diantara mereka.
"Maksudku ayo kita benar-benar menikah." Ucap Narendra akhirnya.
"Hah? Apa maksudmu?" Tanya Hanin tidak percaya. Apakah ucapan Narendra bisa di sebut sebagai sebuah lamaran. Di dalam mobil yang sedang melintasi jalan gelap dengan suara nafas anak-anak yang tertidur sebagai backsound?
"Ayo kita menikah...menikah dalam arti sebenarnya. Aku tahu mungkin ini bukan saat yang tepat, hanya saja keadaan kita sulit untuk di prediksi. Mari menikah dalam artian sebenarnya, maksudku disahkan secara agama juga." Ucap Narendra meninggalkan rasa ragu dan malu dalam hatinya.
"Apa itu perlu?" Tanya Hanin tidak yakin. Apa dia harus menikah dalam keadaan seperti sekarang ini?
"Aku tidak berpikir ini perlu atau tidak, hanya saja aku berpikir jika memang kita benar-benar menikah, tidak ada sekat norma yang dilanggar dalam kebersamaan kita. Kau tahu, aku cukup kolot mengenai hubungan antara pria dan wanita."
"Kau yakin hanya itu?" Tanya Hanin heran, apa Narendra bicara jujur padahal jelas profesi Narendra sebagai dokter kandungan. 'Sekat norma' itu bukan lagi hal yang perlu dia jaga atas nama profesional pekerjaannya.
"Aku sudah menyiapkan pernikahan kita secara agama di kota. Kita akan mampir disana sebentar untuk melaksanakan pernikahan kita secara agama. Aku minta maaf karena mungkin pernikahan ini tidak sesuai dengan impianmu. Ini adalah cara terbaik yang bisa kita lakukan untuk menjaga kita." Ucap Narendra memberanikan diri meraih tangan Hanin dan menggenggamnya.
"Kalau kau sudah memutuskannya kenapa juga pake basa basi mempertanyakannya padaku." Protes Hanin. Wanita itu membiarkan saja tangan keduanya saling bertautan. Karena tanpa dikatakan, Hanin tahu mereka sama-sama diliputi perasaan gelisah dan penuh ketidakpastian.
"Katakan." Ucap Hanin setelah beberapa lama mereka terjebak dalam keheningan.
"Katakan seberapa besar masalah yang akan datang." Pinta Hanin.
"Kita tidak pernah tahu, karena lawan kita adalah manusia hidup yang siapaun tidak pernah bisa membaca seperti apa isi kepala mereka."
KAMU SEDANG MEMBACA
Can You Hear Me?
Mystery / Thriller"Rintihan kesakitan itu terdengar nyata ditelingaku. Tatapan kosong dari anak perempuan yang meringkuk dalam ruangan itu benar-benar menghantui malam-malamku." Hanindiya Almira tidak tahu kenapa mimpinya akhir-akhir ini selalu sama. Parahnya mimpi b...