Bagian 2: Dia Janisha

18.4K 2.2K 155
                                    

Komen dong, harapan untuk versi revisi ini🥺

***

"Janisha berangkat dulu ya, Assalamualaikum!" Pamit gadis itu yang lebih pantas disebut kabur dari tanggung jawabnya setelah membuat keponakannya, Deva, menangis lagi pagi ini.

Sembari memasang sepatunya di depan teras rumah, terdengar pula pekikan dari sang Mama, "Kamu ngapain Deva lagi?"

"Nggak diapa-apain juga, Deva-nya aja yang cengeng!" Sahutnya lalu lanjut kabur setelah memasang sepatunya dengan benar. Alasan yang bisa dibilang benar, tetapi Janisha memang selalu memanfaatkan kecengengan Deva untuk membuatnya menangis.

Ia pun berangkat ke kampus untuk memenuhi kelas pagi hari ini dengan perasaan yang biasa-biasa saja. Hari-harinya ia jalani dengan tidak terlalu senang dan tidak terlalu sedih, sebab baginya yang terlalu itu tidak baik. Dunianya benar-benar biasa saja.

Sekitar lima belas menit perjalanan, ia kemudian sampai di kampus, tepatnya gedung departemen ilmu komunikasi. Ia melewati parkiran fakultas yang tentu saja ramai oleh mahasiswa lain. Sebagai mahasiswa baru yang tidak ingin mencari gara-gara atau mencolok, jurus andalannya adalah berjalan sambil menunduk.

Dari sudut lain parkiran, seorang cowok yang mengenakan bomber bermotif army baru saja memarkirkan motornya dengan benar kemudian bersiap untuk masuk, menuju kelas paginya hari ini. Dalam kegiatannya itu, matanya tertarik oleh seorang gadis yang berjalan menunduk menuju arah yang akan ia tuju juga.

Jeffrey berjalanan di belakang gadis yang mengenakan kardigan berwarna putih gading itu, namun bukan dengan maksud sengaja, sebab seperti yang ia katakan sebelumnya bahwa arah tujuan mereka kebetulan sama.

"Janishaaaa, tungguin gue!" Suara pekikan cewek dari arah belakangnya cukup membuat cowok itu terkejut. Cewek itu berlari menghampiri orang yang ia sebutkan namanya tadi.

"Janisha?" Jeffrey bergumam mengulang nama itu lalu mengulas senyum setelahnya. Kini Jeffrey mengetahui namanya.

Kembali pada Janisha yang sekarang sudah berjalan tidak sendirian lagi setelah Marissa datang menyusulnya dengan cara yang cukup membuat beberapa orang ikut menoleh ke arah mereka berdua.

"Kurang keras, Ca, coba pake toa' aja." Sindir Janisha.

"Hari ini kita jadi diskusi kelompok 'kan?" Marissa mengingatkan selaku untuk mata kuliah ini mereka ada di kelas yang sama.

"Kelompok apa ya?"

"Kelompok yang isinya, gue, lo, Nadine, Sarah, Arka, Leo."

"Pantesan gue lupa,"

"Maksud lo?" Marissa berujar sewot membuat Janisha tertawa. Marissa memang mudah tersulut emosi alias sumbu pendek.

Kantin menjadi tempat rapat dadakan bagi kelompok yang berisikan Janisha, Nadine, Sarah, Marissa, Arka, dan Leo setelah mengisi kelas. Mereka beremuk untuk mendiskusikan tugas kelompok. Namun, sejak tiga puluh menit lalu mereka belum menemui satu kesimpulan atas argumen masing-masing, sehingga menyulitkan Sarah selaku sekertaris yang bingung akan apa yang harus ia ketik. Pembicaraan yang terjadi tentu bukan hanya perihal tugas kelompok tanpa kebacotan dari Arka dan Leo.

"Gimana kalo lo berdua aja yang kerjain ini?" Kalimat itu meluncur indah dari mulut Janisha. Pelan, namun terdapat penekanan yang membuat kedua cowok dalam kelompok itu terdiam. Gadis itu memang tidak perlu berkalimat panjang untuk mengomel, sebab hanya dengan sorotan dari sepasang matanya saja sudah cukup untuk membuat Arka dan Leo saling menyikut.

"Ah, Jani, sensitif gitu deh!" Goda Leo mencoba mencairkan suasana.

"Lucu?" Sahut Janisha membuat Arka kembali menyikut Leo sebagai kode agar cowok itu diam saja.

In My FeelingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang