komen dong, masih exited gak sama In My Feeling 2?
***
Janisha duduk di salah satu meja pojok di sebuah coffee shop sambil menyesap vanilla latte dingin. Layar laptopnya menunjukkan sebuah halaman kosong yang seharusnya diisi dengan kalimat-kalimat dari berbagai jurnal untuk memenuhi tugas papernya. Pikirannya terasa semrawut, tidak bisa digunakan berpikir hal lain kecuali pertanyaan Jeffrey kemarin, " What do you think about LDR?"
Filosofi bumi dan matahari bagai boomerang bagi Janisha sendiri. Matahari menyinari bumi sepanjang tahun meski kadang tertutup awan tebal atau bersembunyi di gelapnya malam. Kehangatan matahari sampai ke bumi bahkan dari jarak jutaan kilo meter. Dan filosofi-filosofi lainnya yang hanya ingin memperkuat pernyataan bahwa matahari tidak akan meninggalkan bumi.
Jarak, entah kenapa jadi menyeramkan bagi Janisha. Tidak, ia tidak sedang meragukan Jeffrey, melainkan meragukan dirinya sendiri. Pesan teks, panggilan telepon ataupun video itu semua hanya dunia maya. Hanya itu menegaskan bahwa ia ada tetapi tidak menunjukkan keberadaannya. Tanpa ingin munafik pada diri sendiri, Janisha butuh keberadaan Jeffrey yang lebih nyata. Bisa membuatnya merasa bahwa Jeffrey memang ada.
Ya, semuanya belum terjadi, namun kejadiannya merupakan suatu kepastian. Dan masalahnya adalah pada dirinya sendiri, pada pikirannya yang sudah terlalu jauh memikirkan nasib hubungan yang dibatasi jarak dan dibedakan waktu. Terkesan kekanak-kanakan, namun Janisha sendiri memang tidak pernah mengklaim bahwa dirinya sudah dewasa.
Kring...
Ia melirik ponselnya di atas meja. Daripada menjawab panggilan itu, ia melirik ke arah pintu masuk coffee shop dimana telah berdiri seorang cowok yang sejak tadi memenuhi pikirannya. Jeffrey melambaikan tangan sambil menghampirinya. Menyambut cowok itu dengan senyum manis yang kontras dengan keadaan hatinya beberapa detik lalu.
"Udah lama?" tanya Jeffrey sembari duduk pada kursi di hadapan Janisha.
"Sekitar tiga puluh menit," jawab Janisha kemudian lanjut bertanya, "Kak Jeffrey udah selesai?"
"Udah, tenang. Bulan depan semhas bisa kali ya? Biar bisa wisuda Mei nanti."
Janisha tersenyum bangga, "Gas pol!"
Jeffrey cepat wisuda artinya lebih cepat pula cowok itu terbang ke Amerika. Jadi ia harus senang atau justru semakin gelisah?
"Jan, kamu minum kopi?" Ujar Jeffrey begitu melirik minumannya.
"Latte doang,"
"Latte bukan kopi?"
"Kopi, tapi nggak strong kok."
"Minumannya ganti aja ya?" itu seperti perintah yang dibungkus dengan kalimat usul. Cowok itu berdiri untuk memesan minuman lain untuk Janisha. Kemudian kembali dengan signature chocolate di tangannya. Ia lalu menukar minuman baru itu dengan minuman Janisha sebelumnya.
Jeffrey berkata, "Jangan minum kopi ya cantik."
Dan seperti biasa untuk menutupi salah tingkahnya, Janisha menjawab, "Oke, buaya."
"Bilang pacar sendiri cantik kok buaya?" protes Jeffrey.
Janisha mengedikkan bahu, tidak ingin menjawab pertanyaan itu. Ia memilih menyesap minuman cokelatnya, membiarkan Jeffrey kesal seperti itu.
"Bentar-bentar," Jeffrey merogoh saku celana untuk mengambil ponselnya. Kemudian, "Jevano?"
Jeffrey mengernyit bingung lantaran adiknya itu selama seminggu terakhir masih mendiami dirinya. Tanpa lama ia pun menjawab panggilan tersebut, "Kenapa, No?"
KAMU SEDANG MEMBACA
In My Feeling
ФанфикJanisha Sabira, seorang mahasiswa tahun pertama jurusan ilmu komunikasi. Ketidakmampuannya menunjukkan perasaannya lewat kata, tindakan, bahkan ekspresi membuatnya terkesan dingin yang cenderung jutek. Ia bertemu dengan Jeffrey Adito, seorang kakak...