Bagian 17: Janisha, Jeffrey, dan Celine

9.9K 1.5K 28
                                    

Gimana nih ceritanya? Vote dan komen dong kalo suka!!!

***

"Hello, Sarah, lo inget gue kan? Inget kan? Enggak mungkin enggak!" Marissa yang baru saja datang langsung heboh setelah melihat Sarah yang kemarin kecelakaan.

"Makanya tuh kalo ditelepon, angkat. Jangan sok sibuk!" Ujar Janisha menyindir.

"Ya gitu kalo lagi kasmaran," celetuk Arka membuat semua menoleh padanya, menuntut Arka bertanggung jawab untuk memperjelas maksud ucapannya itu.

"Arka!" Desis Marissa agar Arka diam saja.

"Oh, jadi ada yang lagi deket sama cowok tapi enggak cerita? Oh, gitu ya sekarang main rahasia-rahasiaan, oke!" ucap Nadine.

"Enggak anjir!" Elak Marissa. "Kita back to Sarah lagi deh, coba ceritain kejadiannya?"

"Enggak tau, gue males."

"Sama," Nadine menimpali.

Marissa sontak menoyor bahu Arka, "Gara-gara mulut lemes lo nih!"

"Siapa suruh enggak nyogok gue?" sahut Arka.

Janisha bangkit dari duduknya kemudian menggandeng Nadine dan Sarah untuk ikut berdiri kemudian menarik kedua sahabatnya itu keluar kelas. Masih ada waktu lima belas menit sebelum kelas dimulai, sehingga mereka masih bisa berdiskusi.

"Gue bilang juga apa, Marissa pasti nyembunyiin sesuatu!" Ucap Janisha ketika mereka berada beberapa meter dari kelas.

"Kapan lo bilangnya?" Sahut Sarah yang merasa Janisha tidak pernah mengatakan hal tersebut.

"Enggak ya? Ah, pokoknya gitu deh!"

"Gue harus introgasi Arka nih," ucap Nadine.

Dari arah yang berlawanan di koridor ini datang dua orang senior yaitu Jeffrey dan Wira.

"Abis kelas?" Tanya Wira sebagai bentuk sapaan.

"Baru mau masuk, tapi cari angin dulu, " jawab Nadine yang memang akrab dengan mereka.

Kemudian Jeffrey turut bertanya, "Selesai kelas jam berapa?"

Namun sepertinya pertanyaan itu khusus untuk gadis yang sejak dua cowok itu datang hanya sibuk melihat kiri dan kanan sebagai upayanya tidak bertatapan dengan Jeffrey. Gemas menunggu jawaban Janisha yang berselang lama, Nadine pun menjawab, "Jam dua, Kak."

"Oh, semangat kelasnya," lalu lanjut pamit, "Yuk, Wir."

Janisha memandang punggung cowok yang perlahan menjauh itu dengan helaan napas berat. Ia menggerutu dalam hati, "Bisa enggak sih enggak usah senyum gitu?"

"Kak Jeffrey senyum tipis aja bisa buat dunia gonjang-ganjing, ya, Jan?" Nadine seraya menyenggol bahu Janisha untuk menggoda ia juga sedang mencemaskan kondisinya semakin gawat sekarang. Jika ikan yang sudah tahu bahwa mata pancing berbahaya juga masih bisa kena, maka Janisha yang sudah paham betul bahwa senyuman seperti tadi itu adalah jebakan juga mulai mengkhawatirkan nasibnya.

Setelah kelas, ia pulang sendiri. Teman-temannya yang lain juga sudah pulang. Dalam perjalanannya menuju gerbang depan fakultasnya, ponsel di tangannya berdering menandakan ada pesan masuk. Pesan dari orang yang cukup membuat matanya membulat sempurna saking bingungnya.

+62821*********:
Janisha, ini Juna.
Lo di kampus?

Perlu ribuan kali untuk berpikir apakah ia harus menjawab pesan itu atau tidak. Daripada dendam, ia lebih tidak ingin berhubungan lagi dengan cowok itu. Alasan logisnya, ia tidak punya urusan yang belum selesai atau yang harus diselesaikan.

In My FeelingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang