kayaknya kalian lebih seneng manggil dia jamal😌🔫
***
Mami Meisha sedang menyusun keperluan dapur untuk satu bulan ke depan. Di meja akan yang berjarak beberapa meter di depannya duduk putra pertamanya, Jeffrey, yang sedang menyendok makan siang dengan tenang.
Sembari mengatur barang-barang itu, Mami berujar, "Jeff, kamu coba ngomong sama Jevano dulu."
"Iya, nanti Jeffrey tanyain."
Seperti yang diketahui bahwa Jevano baru saja lulus SMA dan sedang mendaftar di perguruan tinggi. Cowok yang menyukai pelajaran fisika dan punya minat di bidang infrastruktur itu mantap memilih jurusan Teknik Sipil. Namun, hasil pengumuman seleksi perguruan tingginya yang diperoleh Jevano tidak sesuai yang diharapkan. Mami sebagai orang tua pun sudah menanyakan langkah apa yang ingin diambil anaknya itu kemudian, tetapi belum dijawab, sehingga merasa perlu bantuan Jeffrey sebagai kakak yang lebih dekat dengan adiknya.
"Oh iya, katanya Pak Danuarta sudah keluar dari rumah sakit?" tanya Mami meninggalkan topik tentang Jevano.
"Emang iya?" Jeffrey mengernyit karena tidak tahu apa-apa, "Celine enggak ngabarin."
"Kalian udah jarang kabar-kabaran akibat sibuk ya?" terka Mami karena biasanya Jeffrey selalu tahu tentang kehidupan Celine.
Hari minggu siang ini menjadi hari terakhir event basket yang dituanrumahi oleh fakultasnya. Walau tahun ini tidak bisa berpartisipasi, bahkan tidak hadir di upacara pembukaan, namun ia akan menghadiri upacara penutupannya. Sebelum berangkat gor kampus, ia menyempatkan mampir ke rumah Celine untuk memastikan informasi dari Mami.
Kawasan perumahan yang selalu sepi karena rata-rata pemilik rumahnya berangkat kerja pagi-pagi buta untuk menghindari kemacetan Ibu Kota. Rumah yang sejak dua puluh satu tahun lalu itu tidak berubah, bahkan ayuan tali di bawah pohon mangga di halaman rumah tersebut masih tergantung meski sudah gerogoti tumbuhan menjalar. Ia menoleh pada rumah di seberang jalan, rumah ketika keluarga masih utuh tiga tahun lalu. Sejenak Jeffrey mengenang masa kanak-kanaknya di lingkungan ini.
"Jeff?" sapa suara lembut dari pintu rumah.
Tanpa basa-basi Jeffrey langsung bertanya, "Bokap lo katanya udah boleh pulang ke rumah ya?"
"Iya," jawab Celine. "Tapi bulan depan harus balik lagi buat kemo."
Jeffrey menemui Om Danuarta sebentar sebelum pamit melanjutkan perjalanan ke tujuan utamanya pagi ini. Pria berusia pertengahan empat puluh tahunan yang dulu begitu gagah semakin hari semakin lemah. Namun hal itu tidak membuat Jeffrey berputus asa untuk melihatnya kembali seperti dulu lagi.
"Gue berangkat ya?" pamit Jeffrey pada Celine.
"Iya, hati-hati."
Namun Jeffrey belum bergerak dari posisinya. Cowok itu menatap Celine yang membuatnya ditanyai, "Apa sih?"
"Lo baik-baik aja 'kan?" ucap Jeffrey.
Celine terkekeh kecil, "Jangan pikir gue patah hati ya?"
"Enggak," Jeffrey menghela napas sejenak, "Maksud gue, jangan pernah merasa sendiri. Gue akan tetap jadi sahabat lo sampai kapan pun, jadi jangan pernah enggak enak minta tolong sama gue."
"Iya, Jeff, gue tau. Tapi gue beneran baik-baik aja kok. Seiring berjalannya waktu, bahkan hal-hal yang gue pikir enggak akan bisa gue lalui sendiri pun akhirnya berlalu juga."
"Dan, ngomong-ngomong," Celine merasa ini waktu yang tepat untuk membicarakannya pada Jeffrey agar tidak terus terjadi kesalahpahaman di antara mereka, "Apa yang lo tau tentang perasaan gue emang enggak salah. Gue sayang sama lo, berbeda dari rasa sayang yang lo maksud. Tapi saking sayangnya sama lo, walaupun gue bisa, gue enggak mau memiliki lo."
KAMU SEDANG MEMBACA
In My Feeling
FanfictionJanisha Sabira, seorang mahasiswa tahun pertama jurusan ilmu komunikasi. Ketidakmampuannya menunjukkan perasaannya lewat kata, tindakan, bahkan ekspresi membuatnya terkesan dingin yang cenderung jutek. Ia bertemu dengan Jeffrey Adito, seorang kakak...