Bagian 50: Akar masalah

7K 1.1K 25
                                    

Hello again!
So sorry bcs beberapa minggu terakhir bener-bener sibuk dan gak bisa update🙏🏻

***

Papi:
Maaf Papi baru liat panggilan kamu
Ada apa Jeff?

Jeffrey:
Cuma mau ngabarin Papi
Jeffrey udah dapat panggilan sempro, Pi

Papi:
That's good
Tinggal beberapa langkah lagi kamu lulus

Jeffrey:
Iya Pi

Papi:
Jadi gimana, mau S2 di Amerika?

Jeffrey:
Baru juga sempro, Pi

Papi:
Yang namanya plan kedepannya harus ada dong?
Laki-laki harus berpendidikan biar kelak bisa membina keluarganya

Jeffrey:
Ya, but I don't think this is a good time to talk about it

Papi:
Oke, let's talk after you graduate

Jeffrey menaruh ponsel di atas kasur dan meninggalkannya untuk mandi. Entah mengapa akhir-akhir ini Papi Adito selalu membahas tentang S2-nya disaat S1-nya pun belum selesai. Mungkin Jeffrey harusnya bersyukur memiliki orang tua yang mau mendukungnya untuk melanjutkan pendidikan ketingkat yang lebih tinggi. Namun, meninggalkan Jakarta, kota dimana ia tumbuh dan berkembang juga kota dimana orang-orang terkasihnya tinggal, rasanya begitu memberatkan Jeffrey.

Tok tok tok

Seseorang mengetuk pintu kamar mandinya. Ia menyahut, "Apa?"

"Pinjem HP dong, mau pesen makanan."

"HP lo kenapa?"

"Enggak ada e-money-nya,"

"Sialan," Jeffrey yang tahu dirinya akan dimanfaatkan. Namun kemudian ia berkata, "Yaudah."

"Thank you traktirannya!" pekik Jevano dari luar membuat Jeffrey agak heran lantaran ia tidak berkata ingin meneraktir, adapun Jevano bisa memesan makanan dengan uangnya itu karena ia telah dipalak.

Lima belas menit kemudian, Jeffrey keluar dari kamar mandi. Ia telah siap dengan kaos oblong dan jersey basketnya untuk melepas kesuntukan tugas akhir sore ini. Namun tatapan tajam Jevano yang masih duduk di ujung kasur membuat Jeffrey bertanya, "Udah?"

"Kenapa sih lo mau selalu nurutin kata dia?" tanya Jevano dengan nada dinginnya.

Sementara Jeffrey yang tidak paham itu mengernyit bingung, "Hah?"

"Dia minta maaf lo maafin, dia minta lo nganterin dia ke Amerika lo iyain, dia suruh lo ini-itu lo turutin, sekarang dia mau lo S2 disana. Dia enggak berhasil buat gue kuliah disana, sekarang mau suruh lo juga. What the ambition is that?"

"Apa dia bilang? Laki-laki harus berpendidikan biar bisa bina keluarganya?" Jevano terkekeh singkat, "Dia aja gagal."

"Papi, No. Dia masih Papi lo," sela Jeffrey tidak ingin Jevano begitu dingin pada Papi.

Jevano menghela napas kasar, "Gue udah enggak punya ayah sejak tiga tahun lalu."

"Lo kelewatan," nada suara ikut Jeffrey mendingin.

"Dia yang kelewatan, dikasih hati minta jantung."

"Lo enggak mau maafin Papi, fine. Tapi untuk ucapin kata-kata itu, Mami aja mungkin kecewa dengernya." Ujar Jeffrey masih berusaha tenang.

"Terus tinggal bareng orang itu dan perempuan yang udah hancurin semuanya lo pikir bakal buat Mami seneng?"

"Jevano!" Jeffrey membentak. Emosi yang telah ia tahan bertahun-tahun berharap suatu saat nanti adiknya itu akan mengerti akhirnya meledak juga. Rahang Jeffrey mengeras, tatapannya berubah menjadi serius. Mata Jevano tidak kalah tajamnya, tidak ingin kalah karena tidak merasa salah. Sampai akhirnya Jeffrey memutuskan untuk pergi. meninggalkan ketegangan yang jika dibiarkan mungkin tidak akan menjadi baik-baik saja.

In My FeelingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang