Bagian 14: Kabarin kalau udah nyaman

10.5K 1.6K 76
                                    

Gimana nih ceritanya? Komen dong!
Jangan lupa vote jugak
Jangan lupa follow twitter ku @hello_fuzy atau bisa klik di bioku. Lets be friend!

***

Sore hari yang sepi tanpa Deva yang bisa Janisha usik sampai menangis dan mengadu pada Mama atau Mba Vivi. Sejak tadi, selepas pulang kuliah, ia hanya selonjoran di atas tempat tidur tanpa melakukan apa-apa. Matanya pun sudah terlalu lelah menatap layar ponsel atau menonton drama di laptop. Hingga ia memutuskan beranjak dari posisi paling nyaman ini lalu seketika mendengar bunyi tulang belakangnya.

"Anjir, osteoporosis dini gue rasa," ucapnya.

Untuk itu, ia melakukan pemanasan kecil selama beberapa detik. Kemudian, ia menghampiri jendela kamar untuk melihat cuaca di luar sana. Sore yang cerah untuk bersepeda, pikirnya. Sudah lama ia tidak melihat lingkungan sekitar tempat sudah ia tinggali sejak lahir ini.

Janisha pun pergi bersepeda, mengelilingi kompleks perumahan yang dulu mampu ia sambangi dengan hanya berjalan kaki bersama teman-temannya. Sedikit bernostalgia ketika masa sekolah dasar, ketika ia dan teman-teman masa kecilnya masih akrab dan sering bermain. Sekarang, mereka semua sudah beranjak dewasa dan punya kesibukan sendiri. Bahkan juga sudah ada yang pindah karena sudah berkeluarga.

Janisha melewati sekolah dasar tempatnya menuntut ilmu selama enam tahun lamanya, kemudian, "Stop, stop!" ia menekan rem mendadak untuk menghentikan laju sepedanya. Sebab, pertigaan di depan sana merupakan jalanan menuju rumah Jeffrey. Ia tidak ingin dikira sengaja untuk mencari perhatian atau menemui cowok itu, sehingga memutuskan untuk memutar balik.

Saat ia memutar balik, sebuah motor trail berwarna merah melaju dengan cukup kencang dan menyerempetnya dari belakang hingga terpental ke aspal. Sejenak ia merasa malaikat pencabut nyawa sudah bersiap menjemputnya. Namun dengan kaki kanan engkel, lutut, sikut, dan telapak tangan lecet saat ini menjadi hal yang bisa disyukuri. Cowok pengendara motor itu berhenti, kemudian menghampiri Janisha yang masih tersungkur. Terlebih dahulu ia menyingkirkan sepada lipat yang menimpa kaki kanan gadis itu, lalu membantunya berdiri.

"Bentar-bentar," tahan Janisha karena merasa kesakitan saat menggerakkan kaki kanannya.

"Maaf banget, Kak, gue enggak liat lo tiba-tiba muter."

"Iya-iya," ucap Janisha juga menyadari kesalahannya.

"Harus ke rumah sakit enggak?"

"Enggak, enggak usah."

"Rumah lo dimana? Gue anter pulang ya?"

"Di kompleks sebelah. Enggakpapa, gue bisa kok."

"Lo berdiri aja enggak bisa,"

"Atau kita ke rumah gue dulu? Obatin luka lo sedikit, terus gue anter pulang. Rumah gue di pertigaan sana kok," usul cowok itu karena merasa bersalah, "Bentar gue minta tolong abang gue buat bawain sepeda lo."

Janisha hanya membiarkan cowok itu menolongnya, karena ia pun tidak bisa apa-apa sekarang. Gadis itu meringis, meratapi nasib sialnya. Sepertinya ia memang lebih cocok selonjoran di rumah daripada belagak olahraga yang berujung celaka seperti ini.

Cowok itu menyelesaikan panggilannya, kemudian kembali pada Janisha. Ia bertanya, "Bisa berdiri enggak?"

"Bisa," jawabnya seraya berusaha melawan nyeri di pergelangan kaki kanannya.

"Kenapa, No?" Suara berat itu membuat Janisha ikut menoleh ke asal suara. Dilihatnya seorang cowok yang ia kenal bernama Jeffrey itulah yang datang menghampiri mereka. Ia meringis lagi, kali ini karena dirinya yang menghindari rumah Jeffrey, tetapi malah diserempet oleh adik Jeffrey itu sendiri dan berakhir bertemu dengan cowok itu juga.

In My FeelingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang