Bagian 21: Sedang tidak percaya diri

10.1K 1.5K 32
                                    

vote dan komen, janlup:*

***

Jeffrey menyelesaikan urusan menebus obat untuk Om Danuarta, Papa Celine, yang dua hari ini dalam keadaan sangat drop seusai kemoterapi yang kesekian kalinya. Sudah hampir dua tahun ini, Om Danuarta digerogoti oleh kanker paru. Usaha terus dilakukan serta doa terus dipanjatkan demi kesembuhan Om Danuarta, satu-satunya keluarga yang dimiliki Celine.

Jika ditanya mengapa Jeffrey selalu ada di samping Celine, itu karena tanggung jawab. Pada awal Om Danuarta terserang penyakit keras ini, beliau pernah berpesan agar Jeffrey mau menemani putri sematawayangnya itu, bahkan jika beliau sudah tiada, beliau berharap Jeffrey selalu menjadi sahabat Celine.

Om Danuarta dan Celine adalah orang yang menolong Jeffrey saat kehilangan arah di awal perceraian orang tuanya. Om Danuarta yang membuat Jeffrey mampu mengerti bahwa semua manusia melakukan kesalahan sehingga ia bisa berdamai dengan Papi Adito. Sehingga tidak mungkin Jeffrey meninggalkan keduanya dalam keadaan seperti ini.

"Jeff, lo nggak kuliah lagi? Lo mau wisudanya bareng Arka, Leo?" ujar Celine saat Jeffrey meletakkan obat yang ia tebus tadi di meja kecil di samping Pak Danuarta.

"Sama lo juga 'kan?" balas Jeffrey karena Celine lebih banyak bolos daripada dirinya.

Celine memutar mata jengah atas kekeraskepalaan cowok itu. Namun ia masih belum menyerah untuk berkata, "Lo pulang aja, nanti gue kabarin kalau ada apa-apa."

"Yaudah deh, kabarin ya."

Jeffrey pun meninggalkan rumah sakit ini untuk pertama kalinya sejak dua hari ini. Tujuan pertamanya adalah rumah Janisha yang kemarin harusnya ia antar ke kampus, tetapi karena kondisi Pak Danuarta yang tiba-tiba drop, ia meminta tolong Leo untuk menggantikannya. Sejak hari itu ia belum mengabari Janisha, yang daripada hanya membaca ketikan singkat atau mendengar suara lewat telepon, Jeffrey lebih ingin menemuinya secara langsung.

Sesampainya di rumah Janisha, yang ia dapati adalah gadis itu turun dari sebuah mobil hitam, kemudian seorang cowok menyusulnya. Ia menyaksikan bagaimana cowok itu menatap Janisha tidak lepas hingga gadis itu masuk ke dalam rumahnya. Jeffrey menghela nafas pelan sembari memikirkan bagaimana seseorang menyerobot posisinya hanya dalam dua hari. Ia memutar motornya dengan perasaan sedang tidak baik-baik saja. Ia memutuskan untuk pulang karena tidak berpikir sekarang waktu yang tepat untuk menemui Janisha.

Jeffrey pulang ke rumah dengan keadaan risau yang lebih parah daripada saat ia yang kemarin meninggalkan Janisha. Wajah Jeffrey lesu, hasil kurang tidur dan ditambah pemandangan di depan rumah Janisha tadi cukup tidak mengenakkan. Walau siapapun cowok itu tidak akan membuatnya menyerah pada Janisha, jawaban pasti akan siapa cowok itu adalah sesuatu yang benar-benar ia butuhkan sekarang.

"Assalamualaikum," ucap seorang cowok yang duduk di kursi ruang tengah sambil menonton siaran pertandingan basket di televisi. Niatnya untuk mengingatkan Sang Kakak yang masuk tanpa menberi salam, namun Jeffrey malah menjawab salamnya itu.

"Waalaikumsalam."

"Dih?" Jevano melirik Jeffrey sadis. Ya, dibandingkan wajah Jeffrey yang beraura lembut dan ramah, wajah Jevano memang tegas cenderung dingin.

Jeffrey hanya menghela napas penat lalu menghampiri minibar di ruang tengah rumahnya ini untuk meneguk segelas air.

"Nginep dimana lo semalem?" Jevano bertanya.

"Rumah sakit,"

Jevano bergumam paham, lalu lanjut bertanya, "Gimana Om Danuarta?"

"Belum sadar, tapi udah cukup stabil."

In My FeelingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang