Bagian 43: Feel accepted

6.9K 1.1K 15
                                    

vote dan komen ya sahabat

***

"Enggak enak tapi nyomot terus ya?" cibir Janisha atas kelakuan Leo dan Arka yang tadi menghina piscoknya kemanisan, terlalu berminyak, dan kecil, namun mereka bahkan hanya menyisakan pemiliknya dua biji.

"Beginilah hidup mahasiswa, enak enggak enak sikat aja."

Janisha hanya bisa memutar mata jengah, sudah kehabisan kata pada spesies manusia seperti itu.

"Gue beli minum dulu ya," ucap Arka.

Seperti biasa jika ada yang ingin membeli sesuatu, maka, "Nitip dong!"

"Gue es teh ya," Janisha mengulurkan selembar uang lima puluh ribu.

"Es teh sekecamatan ini mah lima puluh ribu," ucap Arka.

"Di dunia ini ada yang namanya kembalian, Ka."

"Iya sih, tapi Ibu es tehnya males kali, belanja cuma lima ribu tapi bawa duit lima puluh ribu."

Leo menceletuk, "Jadi bagusnya beliin gue juga, Jan."

"Nah, itu maksud gue!" timpal Arka, "Lo satu, Leo satu, gue satu."

Bisa banget tuh otak licik lo," Janisha mencibir, "Ya udah sana."

"Weh, alhamdulillah. Pak Bos dan Bu Bos emang murah hati," ujar Leo lebay.

Kedua cowok itupun pergi. Setidaknya pendengaran menjadi lebih tenang dan emosi menjadi lebih stabil tanpa dua cowok riweh itu.

Sarah berkata, "Keenakan mereka lo traktir mulu, Jan."

"Daripada pengang telinga gue denger mereka," jawab Janisha.

"Emang serasi lo sama Kak Jeffrey," kekeh Nadine.

Kening Janisha mengernyit, "Karna?"

"Suka traktir tuh dua bocah,"

Janisha mendesis, "Jangan bahas serasi-serasi ya, gue masih kepikiran."

"Kepikiran apa sih?" heran Marissa.

"Banyak. Tentang gue dan dia yang gue enggak ngerti apa maksud semesta membuat gue bareng dia kalau gue malah dibuat cemas gini?"

Ketiganya tertawa. Marissa berkata, "Lo mencemaskan apa?"

"Lo tau maksud gue, Ca."

"Keluarganya 'kan? Tapi 'kan lo udah ketemu nyokap bokap dia dan mereka semua ramah sama lo. Apalagi?"

"Itu 'kan mereka belum tau keluarga gue gimana?"

"Emang keluarga lo gimana? Keluarga lo baik-baik aja," ucap Nadine.

"Maksud gue, ya bedalah keluarga gue sama keluarga dia."

Marissa berdesis, "Otak lo tuh sinetron banget tau enggak? Lo pasti sekarang mikir gimana kalau orang tuanya nyuruh dia sama cewek kaya juga, gitu 'kan?"

"Ya..., kurang lebih sih," Janisha yang tidak bisa membantah ucapan Marissa. "Tapi itu realitanya 'kan?"

"Realita itu hal yang nyata dan udah kejadian. Nah, sekarang ini lo cuma berasumsi."

Waktu menunjukkan pukul 6 sore. Tiang-tiang lampu yang menghiasi parkiran Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik membantu penerangan. Pada jam ini suasana kampus terbilang masih ramai dari mahasiswa yang baru selesai kuliah sore ataupun mahasiswa yang masih punya kegiatan di kampus. Janisha dan kawan-kawan sendiri baru selesai kelas sekitar pukul 5 sore tadi.

In My FeelingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang